Pastika Deklarasi Anti Hoax Bersama Elemen Masyarakat
Versi Gubernur Pastika, upaya memberantas hoax terkendala karena masih bebasnya orang membuat dan memakai akun palsu. Selama akun palsu marak digunakan, sulitlah memerangi hoax
Hadiri Peringatan Hari Pers Nasional 2017 dan ke-71 PWI Tingkat Provinsi Bali
DENPASAR, NusaBali
Gubernur Bali Made Mangku Pastika berkomitmen pemerangi berita bohong atau hoax, dengan menandatangani deklarasi ‘Jaringan Masyarakat dan Wartawan Bali Anti Hoax’, Senin (20/3). Penandatangani deklarasi dilakukan bersama Pangdam IX/Udayana Mayjen TNI Kustanto Widiatmoko, Kapolda Bali Irjen Petrus Reinhard Golose, kalangan pers, akademisi, mahasiswa, serta elemen lainnya saat puncak acara Hari Pers Nasional 2017 dan HUT ke-71 PWI Tingkat Provinsi Bali yang digelar di Hotel Inna Bali, Denpasar.
Gubernur Pastika meminta langkah konkret, bukan sekadar deklarasi, untuk memerangi hoax. Sebab, deklarasi tanpa disertai langkah konkret, akan percuma. “Maraknya penyebaran berita hoax sekarang tidak hanya melalui media sosial, tapi juga sudah merambah media cetak. Bukan saya pesimis, tapi memerangi hoax tidak cukup dengan deklarasi ini,” ujar mantan Kapolda Bali 2003-2005 ini.
Menurut Pastika, kesulitan memberantas hoax adalah karena masih bebasnya orang membuat dan memakai akun palsu. Selama akun palsu masih marak digunakan, maka sulit untuk memerangi hoax. “Orang berani karena anonim. Karena namanya bukan dia, fotonya juga bukan dia, makanya berani. Kalau terang-terangan, siapa yang berani menyebarkan berita bohong? Mau seribu kali deklarasi juga, kalau se-lama akun itu masih boleh palsu, tidak akan bisa menyelesaikan masalah hoax itu,” papar Pastika.
Pastika bahkan ‘curhat’ dirinya beberapa kali menjadi korban hoax. Namun, tidak ada yang bisa dilakukannya untuk memerangi informasi-informasi bohong itu. “Saya juga beberapa kali menjadi korban hoax, tapi saya tidak bisa berbuat apa-apa. Kita cuma bisa bersandar kepada hukum. Hukum harus benar-benar serius, tegas, dan keras,” tandas Gubernur asal Desa Sanggalangit, Kecamatan Gerokgak, Buleleng ini.
Pastika berpendapat, akhir-akhir ini masyarakat dibingungkan antara demokrasi dan populisme. Kedua-duanya atas nama rakyat, namun keduanya berbeda. Populisme sendiri adalah filsafat politik yang berpihak kepada hak-hak dan kepentingan orang banyak, alih-alih berpihak kepada elite dan pemerintah. Sebagian gerakan politik di seluruh dunia diketahui mempromosikan cita-cita populis.
Sedangkan demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warga negara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. “Keduanya bersama rakyat, tapi saya kira sangat berbeda struktur dan alami. Demokrasi juga bersama rakyat, populisme juga bersama rakyat,” katanya.
“Pers memegang perang penting untuk menyeleksi ini. Karena saat demokrasi dianggap tidak mampu menjalankan tugas demokrasinya dengan baik, maka populisme akan tumbuh. Jika populisme tidak terkendali, akan menimbulkan anarkhi,” terang Pastika.
Para ahli politik juga diminta menulis di media, untuk secara gamblang menyampaikan populisme dan demokrasi yang dimaksud. Hal ini agar masyarakat tidak keliru, mengingat keduanya sama-sama tumbuh dalam kehidupan sosial masyarakat. Apalagi, masyarakat Bali menghadapi Pilgub Bali 2018, Pilkada Gianyar 2018, dan Pilkada Klungkung 2018.
“Kapan populisme mendapat tempat, dan bagaimana populisme diarahkan agar tidak merusak tatanan demokrasi yang sudah ada? Mungkin agak berat, tapi saya harapkan para pemikir di media mulai melihat ini sebagai titi pengancan, sepat siku-siku kita dalam memilih pemimpin nantinya tahun 2018,” pesan mantan Kalakhar BNN berpangkat Komisaris Jenderal Polisi (Purn) ini.
Bagi Pastika, pers yang merupakan pilar keempat demokrasi adalah partner pemerintah. Keberhasilan pembangunan daerah sangat ditentukan tingkat dukungan yang diberikan oleh pers, dengan berita proposrsional. Sebaliknya, berita yang tendensius menyebababkan masyarakat terjebak dalam opini yang tidak terarah, yang tidak saja mengundang polemik, tapi juga memunculkan perbedaan dan pertentangan.
“Saya selalu terbuka dengan media untuk berpartisipasi aktif dalam pembangunan daerah. Dengan keterbukaan, akan terbangun sinrergitas. Seperti tadi (kemarin, Red) saya baca koran yang mewartakan masyarakat miskin. Ini bagus. Makin sering diberitakan, makin lengkap kita punya data,” ceritanya sembari menyebut berita tersebut dibaca di Harian Umum NusaBali.
Pastika juga mengingatkan, pers di Bali turut menentukan karakter masyarakat Bali. Kualitas, idealisme, peran, dan partisipasi yang dijalankan oleh lembaga dan para insan pers, akan menentukan Bali ke depan. “Saya mengajak PWI Bali dan segenap insan pers untuk memerangi hoax yang meracuni masyarakat, bahkan memecah belah keutuhan bangsa dan negara,” ujarnya.
Sedangkan Ketua PWI Bali, IGMB Dwikora Putra, mengajak jajaran pers dan masyarakat untuk tetap berpegang erat menjalin kerja sama dan kemitraan. “Marilah kita menampilkan berita-berita yang bukan hoax. Jangan sampai justru kita menjadi penyebar berita bohong," ujar Wwikora Putra dalam sambutannya.
Sementara itu, Peringatan Har Pers Nasional 2017 kemarin diisi sarasehan dengan tema ‘Membangun Kesadaran Bersama Melawan Hoax’. Seusai sarasehan, dilanjutkan dengan penandatangan deklarasi yang menyepakati beberapa hal tentang memerangi hoax. Antara lain, menuntut pemerintah pusat untuk bersikap tegas terhadap perusahaa-perusahaan media sosial seperti facebook, youtube, twittwer dan yang lain yang berperan besar dalam penebarluasan hoax (Selengkapnya, lihat boks). * in
DENPASAR, NusaBali
Gubernur Bali Made Mangku Pastika berkomitmen pemerangi berita bohong atau hoax, dengan menandatangani deklarasi ‘Jaringan Masyarakat dan Wartawan Bali Anti Hoax’, Senin (20/3). Penandatangani deklarasi dilakukan bersama Pangdam IX/Udayana Mayjen TNI Kustanto Widiatmoko, Kapolda Bali Irjen Petrus Reinhard Golose, kalangan pers, akademisi, mahasiswa, serta elemen lainnya saat puncak acara Hari Pers Nasional 2017 dan HUT ke-71 PWI Tingkat Provinsi Bali yang digelar di Hotel Inna Bali, Denpasar.
Gubernur Pastika meminta langkah konkret, bukan sekadar deklarasi, untuk memerangi hoax. Sebab, deklarasi tanpa disertai langkah konkret, akan percuma. “Maraknya penyebaran berita hoax sekarang tidak hanya melalui media sosial, tapi juga sudah merambah media cetak. Bukan saya pesimis, tapi memerangi hoax tidak cukup dengan deklarasi ini,” ujar mantan Kapolda Bali 2003-2005 ini.
Menurut Pastika, kesulitan memberantas hoax adalah karena masih bebasnya orang membuat dan memakai akun palsu. Selama akun palsu masih marak digunakan, maka sulit untuk memerangi hoax. “Orang berani karena anonim. Karena namanya bukan dia, fotonya juga bukan dia, makanya berani. Kalau terang-terangan, siapa yang berani menyebarkan berita bohong? Mau seribu kali deklarasi juga, kalau se-lama akun itu masih boleh palsu, tidak akan bisa menyelesaikan masalah hoax itu,” papar Pastika.
Pastika bahkan ‘curhat’ dirinya beberapa kali menjadi korban hoax. Namun, tidak ada yang bisa dilakukannya untuk memerangi informasi-informasi bohong itu. “Saya juga beberapa kali menjadi korban hoax, tapi saya tidak bisa berbuat apa-apa. Kita cuma bisa bersandar kepada hukum. Hukum harus benar-benar serius, tegas, dan keras,” tandas Gubernur asal Desa Sanggalangit, Kecamatan Gerokgak, Buleleng ini.
Pastika berpendapat, akhir-akhir ini masyarakat dibingungkan antara demokrasi dan populisme. Kedua-duanya atas nama rakyat, namun keduanya berbeda. Populisme sendiri adalah filsafat politik yang berpihak kepada hak-hak dan kepentingan orang banyak, alih-alih berpihak kepada elite dan pemerintah. Sebagian gerakan politik di seluruh dunia diketahui mempromosikan cita-cita populis.
Sedangkan demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warga negara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. “Keduanya bersama rakyat, tapi saya kira sangat berbeda struktur dan alami. Demokrasi juga bersama rakyat, populisme juga bersama rakyat,” katanya.
“Pers memegang perang penting untuk menyeleksi ini. Karena saat demokrasi dianggap tidak mampu menjalankan tugas demokrasinya dengan baik, maka populisme akan tumbuh. Jika populisme tidak terkendali, akan menimbulkan anarkhi,” terang Pastika.
Para ahli politik juga diminta menulis di media, untuk secara gamblang menyampaikan populisme dan demokrasi yang dimaksud. Hal ini agar masyarakat tidak keliru, mengingat keduanya sama-sama tumbuh dalam kehidupan sosial masyarakat. Apalagi, masyarakat Bali menghadapi Pilgub Bali 2018, Pilkada Gianyar 2018, dan Pilkada Klungkung 2018.
“Kapan populisme mendapat tempat, dan bagaimana populisme diarahkan agar tidak merusak tatanan demokrasi yang sudah ada? Mungkin agak berat, tapi saya harapkan para pemikir di media mulai melihat ini sebagai titi pengancan, sepat siku-siku kita dalam memilih pemimpin nantinya tahun 2018,” pesan mantan Kalakhar BNN berpangkat Komisaris Jenderal Polisi (Purn) ini.
Bagi Pastika, pers yang merupakan pilar keempat demokrasi adalah partner pemerintah. Keberhasilan pembangunan daerah sangat ditentukan tingkat dukungan yang diberikan oleh pers, dengan berita proposrsional. Sebaliknya, berita yang tendensius menyebababkan masyarakat terjebak dalam opini yang tidak terarah, yang tidak saja mengundang polemik, tapi juga memunculkan perbedaan dan pertentangan.
“Saya selalu terbuka dengan media untuk berpartisipasi aktif dalam pembangunan daerah. Dengan keterbukaan, akan terbangun sinrergitas. Seperti tadi (kemarin, Red) saya baca koran yang mewartakan masyarakat miskin. Ini bagus. Makin sering diberitakan, makin lengkap kita punya data,” ceritanya sembari menyebut berita tersebut dibaca di Harian Umum NusaBali.
Pastika juga mengingatkan, pers di Bali turut menentukan karakter masyarakat Bali. Kualitas, idealisme, peran, dan partisipasi yang dijalankan oleh lembaga dan para insan pers, akan menentukan Bali ke depan. “Saya mengajak PWI Bali dan segenap insan pers untuk memerangi hoax yang meracuni masyarakat, bahkan memecah belah keutuhan bangsa dan negara,” ujarnya.
Sedangkan Ketua PWI Bali, IGMB Dwikora Putra, mengajak jajaran pers dan masyarakat untuk tetap berpegang erat menjalin kerja sama dan kemitraan. “Marilah kita menampilkan berita-berita yang bukan hoax. Jangan sampai justru kita menjadi penyebar berita bohong," ujar Wwikora Putra dalam sambutannya.
Sementara itu, Peringatan Har Pers Nasional 2017 kemarin diisi sarasehan dengan tema ‘Membangun Kesadaran Bersama Melawan Hoax’. Seusai sarasehan, dilanjutkan dengan penandatangan deklarasi yang menyepakati beberapa hal tentang memerangi hoax. Antara lain, menuntut pemerintah pusat untuk bersikap tegas terhadap perusahaa-perusahaan media sosial seperti facebook, youtube, twittwer dan yang lain yang berperan besar dalam penebarluasan hoax (Selengkapnya, lihat boks). * in
Komentar