Berderet-deret Hari Raya
GALUNGAN menjadi hari raya paling berkesan, paling meriah. Inilah hari raya yang disambut dengan sejumlah persiapan.
Hanya Galungan, hingga kini, yang ditunggu-tunggu dengan perasaan kangen. Ia dirindukan seperti umat menanti Lebaran atau Natal. Siapa saja yang tak bisa merayakan Galungan, karena cuntaka misalnya, akan bersedih, karena Galungan dijadikan saat berkumpul bersama keluarga. Anak-anak bersekolah di luar Bali diminta oleh orangtua mereka pulang. Mereka bahagia berkumpul ketika Galungan.
Hari raya memang lebih banyak dimanfaatkan orang untuk menghibur diri. Dulu, sebelum kita mengenal internet, jika Galungan dan Kuningan, gedung-gedung bioskop akan kebanjiran penonton. Film-film bagus diputar, dengan cerita yang benar-benar menghibur. Yang nonton berduyun-duyun sampai kehabisan karcis.
Di tanah Jawa, menjelang Lebaran, orang-orang nyekar. Di Bali pemeluk Hindu punya adat yang mirip. Hari raya, antara lain, untuk berkunjung ke makam. Maka dalam setahun, karena orang Hindu di Bali punya banyak hari raya, kunjungan ke makam pun bisa sering. Itu pertanda kesedihan bisa muncul begitu acap mengenang almarhum.
Orang Bali punya terlalu banyak hari raya, berderet-deret. Kadang ada hari suci tertentu yang penghayatannya secara fisik berbeda di lain tempat di Bali. Ada daerah yang merayakan hari Pagerwesi demikian meriah, seperti Galungan, sementara di kabupaten lain dirayakan sederhana saja. Sebelum diseragamkan tahun 1973 oleh Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), penyelenggaraan Hari Raya Nyepi berbeda-beda di lain kabupaten. Sebuah desa di Bali Timur tak merayakan Nyepi lengang (sipeng), orang boleh hilir mudik di jalan-jalan, sementara di kabupaten lain, siapa saja yang keluar rumah, justru didenda, dituduh serius melanggar aturan adat dan agama.
Hari raya berarti biaya. Meneruskan kebiasaan-kebiasaan leluhur, melakoni tradisi, memerlukan sajen, butuh banyak uang. Semua bahan untuk sesajen harus dibeli, harganya semakin mahal, karena raka-raka seperti kates, mangga, pisang, tak dipetik di pekarangan. Tak mungkin cukup lahan untuk menanam pohon-pohon itu di perkotaan. Bahan-bahan sesajen itu disediakan oleh orang desa. Hasil penjualan mereka belikan baju baru, perabotan rumah atau perhiasan baru.
Menjelang hari raya pasar sangat ramai, harga-harga pangan pun melambung. Padahal yang dijual dan dibeli kebutuhan sehari-hari: beras, daging, tepung, buah. Hari raya membuat harga suka menggila. Harga seekor ayam kampung melonjak tiga kali lipat, pisang harganya naik sepuluh kali. Nenas, mangga, begitu cepat habis, atau menghilang entah ke mana. Bahan-bahan untuk membuat penjor, seperti sampian, bertingkah, melejit mahal. Padahal semua ini tak perlu terjadi jika orang menyadari hakikat hari raya.
Hari raya semestinya dihayati sebagai hari suci, bukan hari untuk berpesta. Pesta bisa dilangsungkan lain kali, ketika sudah cukup punya uang, dan bahan makanan untuk pesta tak diserbu orang di pasar-pasar seperti menjelang hari raya. Tapi hari raya terlanjur diresapi sebagai hari untuk menikmati minuman dan makanan enak sebanyak-banyaknya. Sampai mabuk, buat hiburan. Maka menjadi wajar jika muda-mudi di banjar-banjar menyelenggarakan bar atau bazar. Orang pun mengumpulkan uang untuk merayakan hari raya dengan meriah oleh kenikmatan makanan.
Dulu, hari raya lebih sering disebut sebagai hari suci. Tapi ketika sepeda motor dan mobil kian gampang bisa dimiliki banyak orang, hari raya adalah hari plesir, tak lagi hari suci untuk merenung. Bagi kalangan tertentu, hari raya lebih bermakna sebagai hari istirahat, hari libur, bukan hari besar, tak pula hari suci. Bagi kanak-kanak dan remaja, hari raya adalah hari bahagia: jumpa teman-teman, dan diperkenankan bermain sesuka hati oleh orangtua. Bagi orangtua, hari raya menjadi hari paling merepotkan, saat-saat paling sibuk, menegangkan, karena harus memenuhi sekian tuntutan anak-anak. Tak heran, mereka yang sudah ratusan kali menikmati deretan hari raya dalam beraneka kondisi, suka berbisik, “Kalau bisa, jangan terlalu sering ada hari raya.”
Tapi, apa mungkin Bali mempersedikit jumlah hari raya? Sehingga tak timbul kesan, orang Bali sebenarnya hidup, mencari penghidupan, memburu uang, untuk berhari raya. Tidak untuk menyekolahkan anak-anak, tidak untuk piknik. Bukan pula buat bekal hari tua.
Kemegahan Bali memang terlanjur diukur dari kemeriahan berbagai upacara dan hari raya yang diselenggarakan masyarakatnya. Inilah hari buat bergembira. Seseorang pernah berujar, “Aku takut disebut tak bertuhan kalau malas berhari raya.”
Di Bali, kekhusukan melangsungkan upacara adat dan agama, kemeriahan menghaturkan sesaji ketika hari raya, menjadi ukuran ketakwaan seseorang pada Sang Pencipta. Semua orang tahu, pendapat seperti ini tak sepenuhnya benar. Tapi, begitulah yang terjadi di Bali. *
Aryantha Soethama
Hari raya memang lebih banyak dimanfaatkan orang untuk menghibur diri. Dulu, sebelum kita mengenal internet, jika Galungan dan Kuningan, gedung-gedung bioskop akan kebanjiran penonton. Film-film bagus diputar, dengan cerita yang benar-benar menghibur. Yang nonton berduyun-duyun sampai kehabisan karcis.
Di tanah Jawa, menjelang Lebaran, orang-orang nyekar. Di Bali pemeluk Hindu punya adat yang mirip. Hari raya, antara lain, untuk berkunjung ke makam. Maka dalam setahun, karena orang Hindu di Bali punya banyak hari raya, kunjungan ke makam pun bisa sering. Itu pertanda kesedihan bisa muncul begitu acap mengenang almarhum.
Orang Bali punya terlalu banyak hari raya, berderet-deret. Kadang ada hari suci tertentu yang penghayatannya secara fisik berbeda di lain tempat di Bali. Ada daerah yang merayakan hari Pagerwesi demikian meriah, seperti Galungan, sementara di kabupaten lain dirayakan sederhana saja. Sebelum diseragamkan tahun 1973 oleh Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), penyelenggaraan Hari Raya Nyepi berbeda-beda di lain kabupaten. Sebuah desa di Bali Timur tak merayakan Nyepi lengang (sipeng), orang boleh hilir mudik di jalan-jalan, sementara di kabupaten lain, siapa saja yang keluar rumah, justru didenda, dituduh serius melanggar aturan adat dan agama.
Hari raya berarti biaya. Meneruskan kebiasaan-kebiasaan leluhur, melakoni tradisi, memerlukan sajen, butuh banyak uang. Semua bahan untuk sesajen harus dibeli, harganya semakin mahal, karena raka-raka seperti kates, mangga, pisang, tak dipetik di pekarangan. Tak mungkin cukup lahan untuk menanam pohon-pohon itu di perkotaan. Bahan-bahan sesajen itu disediakan oleh orang desa. Hasil penjualan mereka belikan baju baru, perabotan rumah atau perhiasan baru.
Menjelang hari raya pasar sangat ramai, harga-harga pangan pun melambung. Padahal yang dijual dan dibeli kebutuhan sehari-hari: beras, daging, tepung, buah. Hari raya membuat harga suka menggila. Harga seekor ayam kampung melonjak tiga kali lipat, pisang harganya naik sepuluh kali. Nenas, mangga, begitu cepat habis, atau menghilang entah ke mana. Bahan-bahan untuk membuat penjor, seperti sampian, bertingkah, melejit mahal. Padahal semua ini tak perlu terjadi jika orang menyadari hakikat hari raya.
Hari raya semestinya dihayati sebagai hari suci, bukan hari untuk berpesta. Pesta bisa dilangsungkan lain kali, ketika sudah cukup punya uang, dan bahan makanan untuk pesta tak diserbu orang di pasar-pasar seperti menjelang hari raya. Tapi hari raya terlanjur diresapi sebagai hari untuk menikmati minuman dan makanan enak sebanyak-banyaknya. Sampai mabuk, buat hiburan. Maka menjadi wajar jika muda-mudi di banjar-banjar menyelenggarakan bar atau bazar. Orang pun mengumpulkan uang untuk merayakan hari raya dengan meriah oleh kenikmatan makanan.
Dulu, hari raya lebih sering disebut sebagai hari suci. Tapi ketika sepeda motor dan mobil kian gampang bisa dimiliki banyak orang, hari raya adalah hari plesir, tak lagi hari suci untuk merenung. Bagi kalangan tertentu, hari raya lebih bermakna sebagai hari istirahat, hari libur, bukan hari besar, tak pula hari suci. Bagi kanak-kanak dan remaja, hari raya adalah hari bahagia: jumpa teman-teman, dan diperkenankan bermain sesuka hati oleh orangtua. Bagi orangtua, hari raya menjadi hari paling merepotkan, saat-saat paling sibuk, menegangkan, karena harus memenuhi sekian tuntutan anak-anak. Tak heran, mereka yang sudah ratusan kali menikmati deretan hari raya dalam beraneka kondisi, suka berbisik, “Kalau bisa, jangan terlalu sering ada hari raya.”
Tapi, apa mungkin Bali mempersedikit jumlah hari raya? Sehingga tak timbul kesan, orang Bali sebenarnya hidup, mencari penghidupan, memburu uang, untuk berhari raya. Tidak untuk menyekolahkan anak-anak, tidak untuk piknik. Bukan pula buat bekal hari tua.
Kemegahan Bali memang terlanjur diukur dari kemeriahan berbagai upacara dan hari raya yang diselenggarakan masyarakatnya. Inilah hari buat bergembira. Seseorang pernah berujar, “Aku takut disebut tak bertuhan kalau malas berhari raya.”
Di Bali, kekhusukan melangsungkan upacara adat dan agama, kemeriahan menghaturkan sesaji ketika hari raya, menjadi ukuran ketakwaan seseorang pada Sang Pencipta. Semua orang tahu, pendapat seperti ini tak sepenuhnya benar. Tapi, begitulah yang terjadi di Bali. *
Aryantha Soethama
Komentar