DLH Target 9 Bank Sampah Unit di 2022
Pembentukan rumah pengelolaan sampah itu untuk mempercepat pengurangan sampah plastik dan sampah daur ulang di Buleleng.
SINGARAJA, NusaBali
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Buleleng, menargetkan membentuk 9 Bank Sampah Unit (BSU) tahun ini. Kepala DLH Buleleng Gede Melandrat, Kamis (16/6), mengatakan saat ini di Buleleng sudah terbentuk ratusan bank sampah unit. Bank sampah ini tersebar di sembilan kecamatan di Buleleng, yang dibentuk oleh desa, komunitas, kelompok pecinta lingkungan, hingga Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Lingkup Pemkab Buleleng.
“Setiap tahun kami dorong pembentukan BSU, untuk mempercepat pengurangan sampah anorganik terutama sampah plastik dan daur ulang,” kata mantan Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Perikanan (DKPP) Buleleng ini.
Hal ini sesuai dengan Kebijakan dan Strategis Daerah (Jakstrada) Pengurangan Sampah di Buleleng menargetkan 24 persen dari volume sampah yang ada. Namun dari hasil evaluasi di akhir tahun 2021 lalu, realisasi pengurangan sampah baru tercapai 22 persen.
“Setiap hari sampah yang masuk ke TPA sebanyak 130 ton. Target pengurangan sampah tahun lalu memang belum tercapai maksimal, sehingga terus kami dorong salah satunya dengan pembentukan BSU. Karena dari 129 desa dan 19 kelurahan belum semua punya bank sampah,” imbuh dia.
Selain menyasar desa, bank sampah juga diupayakan ada di tingkat RT/RW termasuk di Desa Adat yang belum tersentuh sama sekali. Menurutnya semakin banyak bank sampah akan semakin cepat pencapaian target pengurangan sampah di Buleleng.
Sementara itu yang masih menjadi kendala saat ini dalam pengelolaan sampah, mengubah pola pikir masyarakat untuk mengolah sampah rumah tangganya masing-masing. Melandrat mengatakan hal terpenting yang harus ditanamkan dan disadari masyarakat, ada beberapa jenis sampah yang memiliki nilai ekonomis.
Bahkan jika dipilah dan dibersihkan dengan baik, harga jualnya pun dapat meningkat dua kali lipat. Dia mencontohkan gelas air mineral. Jika tidak dibersihkan dengan plastik penutup di atasnya per kilogramnya terjual dengan harga Rp 3.000. Namun jika dibersihkan plastik penutup dan dikumpulkan sesuai jenisnya maka dapat terjual dengan harga Rp 10.000 per kilogram.
“Hal ini yang harus kita tanamkan di masyarakat. Selama ini perspektifnya barang yang tidak terpakai itu sampah. Padahal kalau dikelola dengan baik itu bisa mendatangkan penghasilan yang cukup menjanjikan,” jelas pejabat asal Desa/Kecamatan Kubutambahan ini. *k23
“Setiap tahun kami dorong pembentukan BSU, untuk mempercepat pengurangan sampah anorganik terutama sampah plastik dan daur ulang,” kata mantan Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Perikanan (DKPP) Buleleng ini.
Hal ini sesuai dengan Kebijakan dan Strategis Daerah (Jakstrada) Pengurangan Sampah di Buleleng menargetkan 24 persen dari volume sampah yang ada. Namun dari hasil evaluasi di akhir tahun 2021 lalu, realisasi pengurangan sampah baru tercapai 22 persen.
“Setiap hari sampah yang masuk ke TPA sebanyak 130 ton. Target pengurangan sampah tahun lalu memang belum tercapai maksimal, sehingga terus kami dorong salah satunya dengan pembentukan BSU. Karena dari 129 desa dan 19 kelurahan belum semua punya bank sampah,” imbuh dia.
Selain menyasar desa, bank sampah juga diupayakan ada di tingkat RT/RW termasuk di Desa Adat yang belum tersentuh sama sekali. Menurutnya semakin banyak bank sampah akan semakin cepat pencapaian target pengurangan sampah di Buleleng.
Sementara itu yang masih menjadi kendala saat ini dalam pengelolaan sampah, mengubah pola pikir masyarakat untuk mengolah sampah rumah tangganya masing-masing. Melandrat mengatakan hal terpenting yang harus ditanamkan dan disadari masyarakat, ada beberapa jenis sampah yang memiliki nilai ekonomis.
Bahkan jika dipilah dan dibersihkan dengan baik, harga jualnya pun dapat meningkat dua kali lipat. Dia mencontohkan gelas air mineral. Jika tidak dibersihkan dengan plastik penutup di atasnya per kilogramnya terjual dengan harga Rp 3.000. Namun jika dibersihkan plastik penutup dan dikumpulkan sesuai jenisnya maka dapat terjual dengan harga Rp 10.000 per kilogram.
“Hal ini yang harus kita tanamkan di masyarakat. Selama ini perspektifnya barang yang tidak terpakai itu sampah. Padahal kalau dikelola dengan baik itu bisa mendatangkan penghasilan yang cukup menjanjikan,” jelas pejabat asal Desa/Kecamatan Kubutambahan ini. *k23
1
Komentar