Berbekal Nasi Kuning ke Kahyangan
SEBULAN lalu ayah dan anak itu berpelukan erat di Bandara Ngurah Rai. Mereka tersedak haru, air mata mengambang, ayah harus melepas anak lanangnya ke Turki untuk bekerja di rumah makan.
“Kasihan Bapak sekarang mengurus rumah sendiri,” ujar si anak. “Belum lagi Bapak sudah keluar banyak uang untuk ongkos saya berangkat, bayar paspor, bayar surat-surat. Saya ganti nanti, Pak, kalau sudah gajian.”
“Tak usah pikir itu, yang penting kita selamat dan sehat. Rajin-rajin menabung, jangan boros, biar kamu punya modal buat usaha di Bali sini, di tanah kelahiranmu.”
“Berat sekarang tugas Bapak. Jaga kesehatan ya Pak. “
“Ada dua adikmu bisa membantu.”
Anak laki-laki itu tersenyum getir, melepas pelukan. “Mereka masih kecil-kecil, Pak, justru mereka harus diurus. Kakek juga sudah renta, Bapak harus mengurusnya.”
Si ayah menghela napas. “Berangkatlah dengan tenang, Nak. Segera berkabar kalau sudah sampai.”
Si anak berpikir, kalau ibunya masih ada tentu tak seberat sekarang tugas sehari-hari si bapak yang membiayai keluarga dengan menjadi tukang bangunan. Si ibu meninggal dua tahun silam, urusan rumah tangga pun dilakoni anak laki itu. Tamat SMK jurusan tata boga, dia bercita-cita bekerja di restoran luar negeri. Dia terkesan jika setiap hari Kuningan si ibu memasak nasi kuning, dikukus, tidak mau pakai magic jar. Bagi anak laki-laki itu, Kuningan menjadi istimewa karena ada nasi kuningnya, sehingga baginya lebih khas Kuningan dibanding Galungan.
Setelah si ibu tiada, anak lelaki itu mengambil tugas-tugas merayakan Galungan dan Kuningan. Sejak kecil dia sering disuguhi cerita tentang Galungan Kuningan oleh kakek. Kakek bilang, Galungan dan Kuningan adalah hari buat mengenang dan memuja leluhur. Jika Galungan leluhur datang ke bumi menyambangi anak-cucu-kumpi, saat Kuningan mereka balik ke Kahyangan. Keturunan mereka di bumi mengantarnya dengan sesaji dan persembahan. Si ibu selalu berkisah, ruh para leluhur itu kembali ke kahyangan berbekal nasi kuning. “Karena itu, nasi kuning harus selalu kita suguhkan ketika Kuningan.”
Si kakek yang mendengar alasan itu terkekeh. Si anak malah sangat yakin akan kisah itu. “Yang dibawa ke kahyangan itu tidak nasi kuning seperti yang kita santap,” jelas si kakek. “Mereka menghisap sari-sarinya.” Menurut si kakek, semua orang Bali kalau sudah meninggal, menjadi atman, akan datang ketika Galungan menjenguk keturunannya, kembali ke kahyangan ketika Kuningan.
“Kakek juga akan begitu kalau sudah meninggal?”
Si kakek mengangguk. “Kamu juga, cucuku. Kelak kamu akan menjadi jiwa yang kekal, ruhmu akan datang ke bumi ketika Galungan, dan balik ke kahyangan saat Kuningan.”
“Berbekal nasi kuning juga?”
“Ya, sari-sari nasi kuning.”
Dari Turki di hari Kuningan anak lanang itu melakukan video call dengan ayah dan kakeknya. Dia minta maaf tidak bisa ikut ngelawar dan membuat nasi kuning. “Kasihan ibu kembali ke kahyangan tidak berbekal nasi kuning,” sapa anak lanang itu. Si ayah menjelaskan, mereka tetap masak nasi kuning, tapi tidak dikukus seperti yang biasa dilakukan si anak dan ibunya. “Kami memasaknya dengan magic jar. Kanggoang,” jelas si ayah.
“Di Turki sini saya buat sesaji dengan nasi kuning, Pak. Siapa tahu Ibu datang menjenguk saya. Biar saya bahagia bisa memberi bekal buat Ibu kembali ke kahyangan.”
“Jika kamu berdoa meminta ibumu datang ke Turki, dia akan datang,” jelas kakek. “Bukankah kakek sering ceritakan, ruh itu bisa ada di mana-mana, gampang ke mana mereka suka. Harus kita rayakan Galungan dan Kuningan ketika berada di mana pun, karena kawitan akan berkunjung. Berdoalah, ibumu akan datang.”
Di Turki nun di sana, anak lanang itu merasa ikut merayakan Hari Kuningan, turut mengantar ibu yang sangat dia kasihi kembali ke kahyangan, berbekal nasi kuning. *
Aryantha Soethama
1
Komentar