Tradisi Ngerebong di Kesiman, Puluhan Krama Kerauhan dan Ngunying
DENPASAR, NusaBali
Ngerebong di Pura Agung Petilan Pangrebongan, Desa Adat Kesiman, Denpasar Timur pada Redite Pon Medangsia, Minggu (26/6), kembali dipadati pamedek.
Ratusan orang dengan mengusung pralingga, tapakan, barong, maupun rangda kembali terlibat setelah aturan protokol kesehatan Covid-19 dilonggarkan.
Dalam Ngerebong tersebut, saat turun tangga menuju madya mandala puluhan krama kerauhan dan dibopong oleh dua orang pengabih. Setelah turun tangga, peserta menuju ke arah utara mengelilingi wantilan dengan putaran melawan arah jarum jam (Ngidet Bhuana) sebanyak tiga kali.
Peserta berbaris dan puluhan orang baik lelaki maupun perempuan berteriak histeris, menangis. Sementara itu, di sekeliling wantilan sudah ada ribuan krama yang menanti. Gamelan terdengar bertalu-talu dan ketika ketukan gamelan semakin cepat, teriakan histeris semakin keras terdengar.
Para pengabih yang berjumlah dua orang atau lebih memegang punggung mereka yang kerauhan. Di samping mereka seorang pengayah membawa keris dan pengayah lain membawa sarung keris.
Ketika putaran sampai di depan tangga pintu masuk utama mandala mereka yang kerauhan utamanya yang lelaki berteriak lalu meminta keris. Setelah keris diserahkan mereka kemudian menusuk (Ngunying) bagian dada maupun leher mereka sekuat-kuatnya.
Tradisi Ngerebong yang digelar setiap enam bulan sekali (sesuai kalender Bali, Red) ini digelar mulai pukul 16.00 Wita dan berakhir sekitar pukul 19.00 Wita.
Bendesa Adat Kesiman I Ketut Wisna mengatakan, sebelumnya dalam proses ngubeng, beberapa pemangku mengalami kerauhan. Dikatakannya, krama atau pamedek yang datang tak hanya dari Kesiman saja, namun juga ada beberapa dari luar seperti dari Pemogan maupun wilayah Sanur. “Kami di Desa Adat Kesiman terdiri dari 32 banjar adat dan juga ada beberapa krama dari luar Kesiman,” kata Jero Wisna.
Untuk kelancaran proses Ngerebong ini, digelar rekayasa lalu lintas di Jalan WR Supratman mulai pukul 09.00 hingga 19.00 Wita. “Terkait rekayasa lalu lintas, kami sudah berkoordinasi dengan pihak terkait seperti kepolisian dan Dinas Perhubungan,” katanya.
Dalam hal pengamanan pihaknya juga menerjunkan 200 pecalang. Budayawan yang juga tetua Desa Adat Kesiman I Gede Anom Ranuara mengatakan Ngerebong pada intinya merupakan sebuah peringatan suksesnya atau kejayaan raja-raja pada zamannya yang dikemas dengan sistem religi untuk memperkuat dan mengeksistensi keberhasilan raja saat itu.
“Karena dilihat dari Pura Petilan ini adalah center tempat upacara besar di Kesiman. Ini ritual atau pengilen atau prosesi dari sejarah kejayaan itu. Dimana Raja Kesiman sempat melaksanakan ekspansi ke Sasak, Lombok,” ujarnya.
Ekspansi tersebut dilakukan dengan tiga tahap yakni penyerangan, penggempuran, dan keberhasilan. Untuk keberhasilan penggempuran ada beberapa ritual di Pura Uluwatu yang dilakukan raja dan ada beberapa kaul untuk dapat kesuksesan.
Pertama raja memohon ke Pura Uluwatu dan dianugerahi keris yang bernama Ki Cekle. Dengan menggunakan keris itu Sasak pun ditaklukkan. “Sasak tak mau mengalah dan meminta diadakan adu jangkrik. Raja menerima dan menggunakan jangkrik betulan tapi di sana menggunakan jangkrik siluman sehingga sempat kalah dan kembali ke Uluwatu biar menang adu jangkrik,” jelas Anom Ranuara.
Saat itu konon ada sapta sesuhunan di Pura Uluwatu yang meminta raja ngereh lemah atau ngereh siang hari. Raja menyanggupi dan setelah itu raja diminta mengambil pemicu (pengilitan) jangkrik di Pura Muaya Jimbaran, mencari makanannya di Pura Dalem Kesiman berupa jepun putih, dan jangkrik berupa jangkrik kuning diambil di Padanggalak.
“Jangkirik diadu di sana dan berubah jadi Banaspati dan mengalahkan jangkrik siluman dan terbakar. Sebelum diadu ada perjanjian kalau Kesiman kalah akan diambil Sasak dan jika Kesiman menang, Bugis dan Sasak akan dibawa ke Kesiman,” imbuh Anom Ranuara.
Ekspansi tersebut terjadi sekitar tahun 1860 dan sejak saat itu dilaksanakan upacara ngerebong yang merupakan upacara syukuran dan awalnya dilakukan di Puri Kesiman sebelum dipindah ke Pura Petilan Pengerebongan.
Dan berdasarkan catatan Belanda, era tahun itu kendali politik Bali dan Lombok memang berada di Kesiman. Akan tetapi saat adanya Puputan Badung, pelaksanaan ngerebong sempat berhenti beberapa waktu.
Tahun 1937 ngerebong kembali digelar dan dilakukan di Pura Petilan karena saat itu pura ini selesai dibangun. Pada pelaksanaannya tahun 1937, prosesi ini dikemas dalam tiga tahapan yang tidak bisa terpisahkan.
Pertama saat Umanis Galungan yang disebut ngebek, kedua saat Pahing Kuningan yang disebut dengan ritual mapag, dan yang ketiga yakni ngerebong. Pada 2018 lalu tradisi ini masuk dalam warisan budaya tak benda. *mis
Komentar