Bumbu Bali Serbaguna
KETUT Tedun selalu marah besar, kesal tak ketulungan, jika masih ada orang yang menyebut-nyebut orang Bali menyembah banyak Tuhan.
“Mereka itu orang pandir,” ujarnya berulang-ulang. “Bali itu selalu berujung pada satu, tidak ada dua. Jika sebelumnya muncul tri, panca, sad, akhirnya berakhir dengan eka, tunggal.”
Tedun menjelaskan, dalam urusan makanan pun orang Bali punya yang tunggal itu. “Bumbu untuk memasak yang dikenal oleh orang Bali cuma satu, itulah dia basa genep yang juga sering disebut bumbu rajang, merupakan inti dari segala bumbu. Dirajang artinya dicincang, tentu beda rasanya yang dicincang dengan yang diulek.”
Menurut Tedun, untuk mengolah masakan apa pun bumbu rajang itu cocok. Tergantung cara mengolahnya, pintar-pintar mengatur racikan dan jumlahnya dalam adonan, bumbu rajang itu pasti pas. Lazimnya bumbu rajang itu paling pas sempurna untuk adonan lawar. “Tapi jangan remehkan kalau bumbu rajang itu juga enak banget buat memasak nasi goreng,” ujarnya.
Wayan Landuh yang mendengar teori Tedun basa genep buat memasak nasi goreng tertawa terpingkal-pingkal. Lama dia tertawa, sampai tubuhnya terguncang-guncang dan matanya berair. Sempat dia diam sejenak menarik napas panjang, kemudian terbahak lagi.
“Baru kali ini aku dengar basa genep buat masak nasi goreng,” ujarnya masih di sela tawa.
“Tidak cuma untuk nasi goreng, basa genep tetap enak buat bikin mie kuah,” jelas Tedun yang membuat Landuh menahan tawanya, terperanjat kaget.
“Ini resep ajaib. Bikin mie kuah dengan basa genep.”
“Aku mencobanya dulu berkali-kali, lezat dan mantap.”
Tedun berkisah, ketika dia dan tiga saudaranya kos di sebuah rumah di Jalan Plawa Denpasar, seputar akhir 1970-an, sering memasak mie kuah basa genep. Kendati keluarga mereka tinggal di Ubud, cuma sejam perjalanan kalau naik motor, tapi di zaman itu Denpasar – Ubud terasa jauh. Lalu lintas sepi. Biasanya salah seorang di antara mereka berempat sekali sepekan naik sepeda mengambil lauk yang dimasak ibu. Tapi, karena kali ini mereka sibuk menghadapi ulangan dan ujian, tak ada yang sempat pulang kampung menjemput lauk itu. Mereka pun bikin mie kuah, kalau tidak ingin pingsan karena kelaparan.
Di zaman itu tidak ada mie bungkus instan seperti sekarang. Yang ada mie bungkus tanpa bumbu. Yang paling lezat cap mie telor. Karena yang ada tersisa cuma basa genep, mereka pun bikin mie rebus dengan bumbu rajang itu. “Sangat enak, sampai sekarang aku terkesan dengan rasa lezat itu,” kenang Tedun. “Rasanya nendang, ada pedes, rasa kunyit, dengan rasa terasi dan pala yang menyodok ke langit-langit mulut.”
“Ha-ha-ha…. Itu enak karena kalian kelaparan,” seru Landuh kembali terpingkal-pingkal.
“Belakangan aku suka diam-diam bikin mie kuah dengan basa genep itu. Istri dan cucu-cucuku tertawa, tapi aku acuh tak acuh aja. Biarin, gak usah dipikir, itu masakan sehat dan lezat.”
Orang Bali memang sangat akrab dengan basa genep, bumbu yang diaduk dari bawang merah, bawang putih, sere, isen, pala, kunyit, jahe, merica, dan sebagainya, yang jumlahnya sampai 48 item. Bahan-bahan itu dicincang, diaduk, dan digoreng. Selain digoreng, bumbu-bumbu itu, seperti bawang putih, cekuh, merica, juga disangrai, dijadikan serbuk. Bawang putih dan cekuh juga ada yang diulek. Ketika untuk membuat adonan lawar, basa genep ini memang diolah dengan tiga perlakuan: goreng, sangrai, ulek. Karena dicincang butirannya jadi kasar, tidak teratur. “Ketidakteraturan itu yang bikin enak,” jelas Tedun yang membuat Landuh tadi tertawa kini manggut-manggut. Dia yakin babi guling itu sedap, karena diolah dengan basa genep.
Maka jadilah basa genep ini bumbu serbaguna bagi kuliner Bali. Membuat babi guling, sate, lawar, betutu, masakan berkuah gerang asem, sup seperti komoh, tum (pepes), bumbunya cuma satu: basa genep yang dirajang itu. Jika kini masakan Bali digemari oleh wisatawan, itu pertanda mereka suka bumbu rajang.
Landuh kemudian diam-diam ingin mencoba bikin mie rebus dan nasi goreng dengan bumbu rajang. “Jangan-jangan nasi goreng daging kambing cocok diolah dengan basa genep,” katanya dalam hati. *
Aryantha Soethama
Komentar