Klasik dan Langka, Penonton Antusias
Pementasan Wayang Wong Griya Jelantik Sanur
Tampil 2,5 jam, pementasan kesenian wayang wong mengusung kisah epos Ramayana, dengan mengambil judul Setubanda.
DENPASAR, NusaBali
Klasik dan langka, terpancar jelas ketika beberapa topeng wayang wong klasik hadir di Kalangan Ayodya Taman Budaya (Art Centre), Denpasar, Sabtu (2/7) sore. Meski yang dibawa adalah duplikat, topeng-topeng klasik itu sebelum dipentaskan, diawali dengan prosesi upacara di tengah kalangan, di mana beberapa topeng yang dipundut dihaturkan sesaji, dipimpin oleh seorang pemangku. Sontak saja, salah satu pengiring sempat tidak sadarkan diri, alami kerauhan, tidak saja di dalam kalangan, satu pengiring lainya di luar panggung juga ada yang kerauhan.
Itulah, sajian seni wayang wong yang memang tergolong kesenian klasik dan langka, kental aura magis senantiasa mendapat ruang setiap kali PKB digelar. Tahun ini, Griya Jelantik Delod Pasar Desa Sanur Kauh Duta Seni Kota Denpasar, tampil memikat dengan gerak gerik penari klasik, tanjek, angsel wayang nan khas, dipadukan iringan gender wayang dengan cekatan disajikan para seniman Sanur Kauh.
Tampil 2,5 jam, pementasan kesenian wayang wong mengusung kisah epos Ramayana, dengan mengambil judul Setubanda. Dikisahkan, perjalanan Sang Rama menuju Alengka dengan pasukan wanara (kera) dipimpin Raja Sugriwa telah sampai di Gunung Mehendra. Sri Rama memerintahkan Nala dan Nila untuk membangun jembatan. Nala dan Nila sangat bangga akan kepercayaan ini, dan segera merancang konstruksi jembatan yang dibantu oleh beribu-ribu kera demi melayani cita-cita Sri Rama.
Di Kerajaan Alengka, Raja Rawana merasa gelisah akan kedatangan dan keberhasilan Sri Rama membangun jembatan, oleh karena itu beliau segera memanggil Detya Seraba untuk menghancurkan jembatan tersebut. Titah Rahwana segera dilaksanakan oleh Detya Seraba yang merupakan raksasa berkepala buaya penguasa laut, dengan dalih pembangunan jembatan itu sangat mengusik kehidupannya di tengah lautan.
Tanggap dengan kejadian rusaknya jembatan itu, Palawaga dan para wanara segera mencari tahu penyebabnya. Setelah diselidiki oleh Palawaga dan para wanara ternyata mereka mendengar nama yang merusak jembatan Setubanda adalah I Seraba. Di dalam kelompok wanara, ada seekor wanara bernama Kapi Seraba. Para wanara curiga dengan Kapi Seraba, dan seluruh wanara menyerbu serta mengeroyok Kapi Seraba.
Mengetahui hal tersebut, Anoman segera menengahi permasalahannya, dan menyelidiki dengan batinnya, ternyata ada raksasa bernama Detya Seraba bersama pengikutnya yang menghancurkan konstruksi jembatan. Anoman segera memerintahkan seluruh wanara untuk menangkap Detya Seraba.
Meski cerita yang dibawakan cukup berat, antusias penonton tampak setia menyaksikan pergelaran klasik yang dibanggakan masyarakat Sanur itu. Dari awal hingga berakhir para pengunjung yang memadati kalangan sebelah Timur itu tetap duduk manis menonton hingga pertunjukan berakhir.
Membanggakan, karena pementasan kali ini, benar-benar menampilkan para seniman muda. Mereka dipersiapkan cukup lama, mulai mencari bibit, dipilih menjadi penari hingga dirasa cukup memiliki kemampuan menjadi pragina atau tokoh yang memainkan wayang wong. Proses Panjang menetapkan seorang penari diakui melalui perjuangan berat. Hal ini diakui pembina Tari I Ketut Suteja didampingi Ketua Sekaa Wayang Wong Griya Jelantik Ida Bagus Wahyu Sudhiatmika.
“Saya rasakan cukup berat proses menampilkan tokoh -tokoh wayang wong ini, karena memang gerakanya klasik dan khas, tanjek, angsel yang berbeda dengan tarian lain, sangat susah memunculkan karakter ekspresi yang dipertontonkan, syukur seniman muda kita mulai mengambil alih, karena generasi tua sudah tidak aktif bahkan ada beberapa tokoh yang telah mendahului kita,” ungkap Suteja yang juga dosen ISI Denpasar itu.
Ia menceritakan, wayang wong Sanur ini sejak 2009 mulai bangkit. “Kita lakukan rekonstruksi wayang wong di Sanur tahun 2009, pasca direkonstruksi, sambutan masyarakat luar biasa, karena banyak pula yang tidak mengenal keberadaan wayang wong yang kini tersimpan rapi di Griya Jelantik Delod Pasar,” ucapnya.
Mengulik sedikit kisah Wayang Wong Sanur ini, konon kesenian langka ini ditemukan sekitar tahun 1800-an. Menurut lontar Pengratep Barong, dalam literasi itu menyebutkan pembuatan barong di Taman dan wayang wong di Griya Jelantik di depan pasar karya Ida Ketut Banjar. Artinya kesenian ini cukup lawas, bahkan Ketut Suteja menyebut ada peneliti dari Inggris yang datang khusus ke Bali hanya menanyakan keberadaan wayang wong apakah benar ada di Sanur. “Peneliti ini mengetahui keberadaan wayang wong cukup bersejarah, dia hanya datang untuk kepentingan disertasinya,” terangnya.
Hal senada juga diungkapkan Ida Bagus Sudhiatmika yang membenarkan keberadaan lontar tersebut. “Berdasarkan catatan literasi yang tersimpan di griya memang disebutkan angka tahun 1800, pembuatan barong dan wayang wong di griya kami, dari data penglingsir keberadaan wayang wong memang sudah ada kurang lebih pada tahun 1800-an, jadi memang cukup tua,” ucap Sudhiatmika.
Selain di Sanur, kesenian wayang wong keberadaannya juga ditemukan di Kabupaten Badung di Desa Adat Bualu, Kuta Selatan serta di Buleleng terdapat di Desa Tejakula. “Kalau kemunculannya tak jauh beda pada abad-abad tersebut, sekitar tahun 1800-an," tambah Guru Anom Ranuara salah satu seniman yang ikut berpartisipasi menarikan Wayang Wong di sela pementasan. *cr78
Itulah, sajian seni wayang wong yang memang tergolong kesenian klasik dan langka, kental aura magis senantiasa mendapat ruang setiap kali PKB digelar. Tahun ini, Griya Jelantik Delod Pasar Desa Sanur Kauh Duta Seni Kota Denpasar, tampil memikat dengan gerak gerik penari klasik, tanjek, angsel wayang nan khas, dipadukan iringan gender wayang dengan cekatan disajikan para seniman Sanur Kauh.
Tampil 2,5 jam, pementasan kesenian wayang wong mengusung kisah epos Ramayana, dengan mengambil judul Setubanda. Dikisahkan, perjalanan Sang Rama menuju Alengka dengan pasukan wanara (kera) dipimpin Raja Sugriwa telah sampai di Gunung Mehendra. Sri Rama memerintahkan Nala dan Nila untuk membangun jembatan. Nala dan Nila sangat bangga akan kepercayaan ini, dan segera merancang konstruksi jembatan yang dibantu oleh beribu-ribu kera demi melayani cita-cita Sri Rama.
Di Kerajaan Alengka, Raja Rawana merasa gelisah akan kedatangan dan keberhasilan Sri Rama membangun jembatan, oleh karena itu beliau segera memanggil Detya Seraba untuk menghancurkan jembatan tersebut. Titah Rahwana segera dilaksanakan oleh Detya Seraba yang merupakan raksasa berkepala buaya penguasa laut, dengan dalih pembangunan jembatan itu sangat mengusik kehidupannya di tengah lautan.
Tanggap dengan kejadian rusaknya jembatan itu, Palawaga dan para wanara segera mencari tahu penyebabnya. Setelah diselidiki oleh Palawaga dan para wanara ternyata mereka mendengar nama yang merusak jembatan Setubanda adalah I Seraba. Di dalam kelompok wanara, ada seekor wanara bernama Kapi Seraba. Para wanara curiga dengan Kapi Seraba, dan seluruh wanara menyerbu serta mengeroyok Kapi Seraba.
Mengetahui hal tersebut, Anoman segera menengahi permasalahannya, dan menyelidiki dengan batinnya, ternyata ada raksasa bernama Detya Seraba bersama pengikutnya yang menghancurkan konstruksi jembatan. Anoman segera memerintahkan seluruh wanara untuk menangkap Detya Seraba.
Meski cerita yang dibawakan cukup berat, antusias penonton tampak setia menyaksikan pergelaran klasik yang dibanggakan masyarakat Sanur itu. Dari awal hingga berakhir para pengunjung yang memadati kalangan sebelah Timur itu tetap duduk manis menonton hingga pertunjukan berakhir.
Membanggakan, karena pementasan kali ini, benar-benar menampilkan para seniman muda. Mereka dipersiapkan cukup lama, mulai mencari bibit, dipilih menjadi penari hingga dirasa cukup memiliki kemampuan menjadi pragina atau tokoh yang memainkan wayang wong. Proses Panjang menetapkan seorang penari diakui melalui perjuangan berat. Hal ini diakui pembina Tari I Ketut Suteja didampingi Ketua Sekaa Wayang Wong Griya Jelantik Ida Bagus Wahyu Sudhiatmika.
“Saya rasakan cukup berat proses menampilkan tokoh -tokoh wayang wong ini, karena memang gerakanya klasik dan khas, tanjek, angsel yang berbeda dengan tarian lain, sangat susah memunculkan karakter ekspresi yang dipertontonkan, syukur seniman muda kita mulai mengambil alih, karena generasi tua sudah tidak aktif bahkan ada beberapa tokoh yang telah mendahului kita,” ungkap Suteja yang juga dosen ISI Denpasar itu.
Ia menceritakan, wayang wong Sanur ini sejak 2009 mulai bangkit. “Kita lakukan rekonstruksi wayang wong di Sanur tahun 2009, pasca direkonstruksi, sambutan masyarakat luar biasa, karena banyak pula yang tidak mengenal keberadaan wayang wong yang kini tersimpan rapi di Griya Jelantik Delod Pasar,” ucapnya.
Mengulik sedikit kisah Wayang Wong Sanur ini, konon kesenian langka ini ditemukan sekitar tahun 1800-an. Menurut lontar Pengratep Barong, dalam literasi itu menyebutkan pembuatan barong di Taman dan wayang wong di Griya Jelantik di depan pasar karya Ida Ketut Banjar. Artinya kesenian ini cukup lawas, bahkan Ketut Suteja menyebut ada peneliti dari Inggris yang datang khusus ke Bali hanya menanyakan keberadaan wayang wong apakah benar ada di Sanur. “Peneliti ini mengetahui keberadaan wayang wong cukup bersejarah, dia hanya datang untuk kepentingan disertasinya,” terangnya.
Hal senada juga diungkapkan Ida Bagus Sudhiatmika yang membenarkan keberadaan lontar tersebut. “Berdasarkan catatan literasi yang tersimpan di griya memang disebutkan angka tahun 1800, pembuatan barong dan wayang wong di griya kami, dari data penglingsir keberadaan wayang wong memang sudah ada kurang lebih pada tahun 1800-an, jadi memang cukup tua,” ucap Sudhiatmika.
Selain di Sanur, kesenian wayang wong keberadaannya juga ditemukan di Kabupaten Badung di Desa Adat Bualu, Kuta Selatan serta di Buleleng terdapat di Desa Tejakula. “Kalau kemunculannya tak jauh beda pada abad-abad tersebut, sekitar tahun 1800-an," tambah Guru Anom Ranuara salah satu seniman yang ikut berpartisipasi menarikan Wayang Wong di sela pementasan. *cr78
Komentar