Penerapan KRIS BPJS Kesehatan Diundur
Seluruh rumah sakit baru siap terapkan kebijakan KRIS pada semester 2 2024
JAKARTA, NusaBali
Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) mengungkapkan penerapan Kelas Rawat Inap Standar Jaminan Kesehatan Nasional (KRIS JKN) BPJS Kesehatan alias kelas standar di seluruh rumah sakit (RS) dapat selesai pada 2024. Padahal, sebelumnya lembaga tersebut mengatakan akan diberlakukan kelas standar atau satu tarif pada 1 Juli 2022.
Dengan demikian, pada tahun tersebut tidak ada lagi kelas iuran BPJS Kesehatan 1, 2, dan 3. Tetapi, semuanya menjadi satu kelas saja.
"Pada semester II (2024), 100 persen rumah sakit atau seluruhnya telah siap untuk mengimplementasikan kebijakan KRIS," ungkap Ketua Komisi Kebijakan Umum DJSN Mickael Bobby Hoelman dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi IX DPR RI, seperti dilansir CNNIndonesia.com, Senin (4/7).
Ia menuturkan untuk saat ini, DJSN baru melakukan uji coba KRIS tersebut pada lima RS vertikal atau milik pemerintah. Adapun kelima RS tersebut adalah RSUP Kariadi Semarang, RSUP Surakarta, RSUP Dr. Tadjuddin Chalid Makassar, RSUP Dr. Johannes Leimena Ambon, dan RSUP Dr. Rivai Abdullah Palembang.
Mickael menyebut RSUP Surakarta menjadi RS vertikal yang relatif paling siap dan dapat menjadi model percontohan bagi implementasi KRIS.
Ia menyebut pada semester I 2023, 50 persen RS vertikal siap mengimplementasikan KRIS. Sementara, pada semester II 100 persen RS vertikal dapat mengimplementasikan kebijakan tersebut. Selain itu, pada waktu yang sama, 30 persen RS lainnya dalam hal ini RS umum daerah, RS TNI/Polri, dan RS swasta juga telah siap menerapkan KRIS.
Selanjutnya, pada semester I 2024 diharapkan 50 persen RS umum daerah, RS TNI/Polri, dan RS swasta dapat mengimplementasikan kelas standar. Lalu, pada semester II semua RS di Indonesia sudah bisa menerapkan kebijakan kelas standar itu.
Sebelumnya, Pps Kepala Humas BPJS Kesehatan Arif Budiman menyatakan selama proses uji coba ini tarif iuran BPJS Kesehatan masih sama dengan ketentuan BPJS sebelumnya.
Dengan kata lain, tarif iuran masih tetap berdasarkan pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020 Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Dalam perpres itu dijelaskan iuran peserta kelas III ditetapkan sebesar Rp35 ribu per bulan mulai 1 Januari 2021 sampai sekarang. Kemudian, iuran peserta kelas II sebesar Rp100 ribu per bulan dan kelas I sebesar Rp150 ribu per bulan.
Ada beberapa catatan terkait biaya iuran BPJS Kesehatan. Arif menerangkan peserta Pekerja Penerima Upah (PPU) atau pekerja formal baik penyelenggara negara, seperti ASN, TNI, Polri dan pekerja swasta, besaran iuran sebesar 5 persen dari upah.
Rinciannya adalah 4 persen dibayarkan oleh pemberi kerja dan 1 persen oleh pekerja. Dia pun menyatakan ada batas atas dan batas bawah untuk dasar perhitungan iuran BPJS Kesehatan.
"Untuk perhitungan iuran ini berlaku pula batas bawah, yaitu upah minimum kabupaten/kota dan batas atas sebesar Rp12 juta," terang Arif.
"Perhitungan iuran dari penghasilan seseorang hanya berlaku pada jenis kepesertaan PPU, pekerja formal yang mendapat upah secara rutin dari pemberi kerjanya," sambungnya.
Acuan perhitungan iuran BPJS tetap pada batas atas Rp12 juta. Bila seorang pekerja memiliki gaji di atas Rp12 juta, misalnya saja Rp 13 juta, maka iuran yang dibayar tetap 5 persen dari Rp 12 juta. *
Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) mengungkapkan penerapan Kelas Rawat Inap Standar Jaminan Kesehatan Nasional (KRIS JKN) BPJS Kesehatan alias kelas standar di seluruh rumah sakit (RS) dapat selesai pada 2024. Padahal, sebelumnya lembaga tersebut mengatakan akan diberlakukan kelas standar atau satu tarif pada 1 Juli 2022.
Dengan demikian, pada tahun tersebut tidak ada lagi kelas iuran BPJS Kesehatan 1, 2, dan 3. Tetapi, semuanya menjadi satu kelas saja.
"Pada semester II (2024), 100 persen rumah sakit atau seluruhnya telah siap untuk mengimplementasikan kebijakan KRIS," ungkap Ketua Komisi Kebijakan Umum DJSN Mickael Bobby Hoelman dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi IX DPR RI, seperti dilansir CNNIndonesia.com, Senin (4/7).
Ia menuturkan untuk saat ini, DJSN baru melakukan uji coba KRIS tersebut pada lima RS vertikal atau milik pemerintah. Adapun kelima RS tersebut adalah RSUP Kariadi Semarang, RSUP Surakarta, RSUP Dr. Tadjuddin Chalid Makassar, RSUP Dr. Johannes Leimena Ambon, dan RSUP Dr. Rivai Abdullah Palembang.
Mickael menyebut RSUP Surakarta menjadi RS vertikal yang relatif paling siap dan dapat menjadi model percontohan bagi implementasi KRIS.
Ia menyebut pada semester I 2023, 50 persen RS vertikal siap mengimplementasikan KRIS. Sementara, pada semester II 100 persen RS vertikal dapat mengimplementasikan kebijakan tersebut. Selain itu, pada waktu yang sama, 30 persen RS lainnya dalam hal ini RS umum daerah, RS TNI/Polri, dan RS swasta juga telah siap menerapkan KRIS.
Selanjutnya, pada semester I 2024 diharapkan 50 persen RS umum daerah, RS TNI/Polri, dan RS swasta dapat mengimplementasikan kelas standar. Lalu, pada semester II semua RS di Indonesia sudah bisa menerapkan kebijakan kelas standar itu.
Sebelumnya, Pps Kepala Humas BPJS Kesehatan Arif Budiman menyatakan selama proses uji coba ini tarif iuran BPJS Kesehatan masih sama dengan ketentuan BPJS sebelumnya.
Dengan kata lain, tarif iuran masih tetap berdasarkan pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020 Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Dalam perpres itu dijelaskan iuran peserta kelas III ditetapkan sebesar Rp35 ribu per bulan mulai 1 Januari 2021 sampai sekarang. Kemudian, iuran peserta kelas II sebesar Rp100 ribu per bulan dan kelas I sebesar Rp150 ribu per bulan.
Ada beberapa catatan terkait biaya iuran BPJS Kesehatan. Arif menerangkan peserta Pekerja Penerima Upah (PPU) atau pekerja formal baik penyelenggara negara, seperti ASN, TNI, Polri dan pekerja swasta, besaran iuran sebesar 5 persen dari upah.
Rinciannya adalah 4 persen dibayarkan oleh pemberi kerja dan 1 persen oleh pekerja. Dia pun menyatakan ada batas atas dan batas bawah untuk dasar perhitungan iuran BPJS Kesehatan.
"Untuk perhitungan iuran ini berlaku pula batas bawah, yaitu upah minimum kabupaten/kota dan batas atas sebesar Rp12 juta," terang Arif.
"Perhitungan iuran dari penghasilan seseorang hanya berlaku pada jenis kepesertaan PPU, pekerja formal yang mendapat upah secara rutin dari pemberi kerjanya," sambungnya.
Acuan perhitungan iuran BPJS tetap pada batas atas Rp12 juta. Bila seorang pekerja memiliki gaji di atas Rp12 juta, misalnya saja Rp 13 juta, maka iuran yang dibayar tetap 5 persen dari Rp 12 juta. *
1
Komentar