Digitalisasi Tak Terelakkan
DIGITALISASI merupakan pengalihan data yang sudah ada dari format analog ke bentuk digital. Transformasi digital adalah sebuah keharusan, efek dari perubahan yang tidak bisa dihindarkan.
Minimnya literasi teknologi membuat banyak orang menganggap transformasi digital sebatas benda rumit tak kasat mata, seperti kecerdasan buatan, komputasi awan, internet of things, dan semacamnya. Padahal, di sana juga terdapat nilai, kecepatan, cara pandang, hingga budaya. Menurut Klaus Schwab, seorang pakar Revolusi Industri 4.0, bahwa transformasi digital adalah momentum peningkatan produktivitas dan efisiensi dalam hidup manusia. Menurutnya, salah satu nilai penting adalah ‘multitasking’.
Multitasking adalah cara menyelesaikan beberapa pekerjaan sekaligus, berlaku dalam waktu yang bersamaan atau berpindah antara satu tugas ke tugas lain, secara bergantian dengan waktu yang terbilang singkat. Dalam pepatah Melayu, ‘sekali mendayung, dua tiga pulau terlewati’. Bagaimana nilai ini diimplementasikan dalam pembelajaran? Misalnya, peserta didik dirangsang untuk menemukan jawaban secara kreatif dari pertanyaan, “Kenapa tidak hujan walau mendung?”.
Pertanyaan demikian akan mendorong anak bersikap kritis dan kreatif mencari jawaban dari berbagai sumber, jangan bersikap sabar menanti jawaban dari guru. Cara dan proses berpikir anak harus ditransformasi secara digital agar anak kreatif berselancar di dunia maya. Tunjukkan alternatif sumber digital, tiada satu sumber terpercaya tetapi ada seribu lainnya yang lebih dipercaya.
Para mahasiswa milenial harus lebih transformatif ketimbang anak usia dini. Mereka harus dapat mentransformasi untaian puitis, seperti, ‘Yang lalu biarlah berlalu, tidak mungkin dapat diulang, tetapi ia sungguh indah untuk dikenang’.
Generasi Z memiliki kualitas intelektual yang baik karena bisa menelusur berbagai sumber pengetahuan secara digital. Mereka juga lebih bersikap terbuka terhadap segala persoalan melalui perbandingan antarsara atau intrasara. Umumnya, mereka memiliki akses untuk mendapatkan informasi yang lebih banyak, motivasinya juga semakin tinggi terhadap suatu hal atau barang.
Generasi Z seharusnya lebih produktif dan efisien dalam menyelesaikan tugas dan kewajiban dalam satu waktu. Siapa yang tidak menyukai seorang yang bisa melakukan apa saja, dalam artian pekerjaan dan bakat? Orang yang memiliki kemampuan mengerjakan dalam waktu singkat dengan ragamnya masih terbatas jumlahnya. Bakat dan kemampuan demikian menjadi incaran. Namun, di balik semua itu tentu ada tantangannya.
Multitasking sering dapat memicu stres, karena dituntut untuk bisa mengerjakan semua hal dan dalam waktu yang singkat. Apabila seseorang tidak terbiasa dengan kegiatan ini, maka kemungkinan dirinya diterpa stres ringan sampai berat. Orang yang melakukan banyak jenis pekerjaan dalam waktu yang singkat tentu akan menguras tenaga juga otak. Apabila kedua organ tubuh tersebut tidak diistirahatkan, maka kondisi seseorang akan menurun. Rasa lelah dan capek yang berlebihan, akibat terkurasnya tenaga dan otak pasti berefek buruk. Jika seseorang melakukan pekerjaan yang banyak bersamaan waktu akan mengurangi daya konsentrasi.
Keseimbangan antara tubuh, tenaga, dan juga otak harus dijaga agar tetap seimbang. Sehingga konsentrasi atau fokus menjadi lebih baik, karena hal ini akan memengaruhi hasil akhir. Kadang pula multitasking dapat memicu kecerobohan karena ketergesaan, tingkat keawasan, dan fokus menurun.
Bagaimana cara mengelak sesuatu yang tak terelakkan, seperti kram otot terjadi saat otot berkontraksi dengan sendirinya. Kram biasanya terjadi karena suatu alasan. Jika tidak mengalami ketegangan otot, mungkin karena otot lelah atau terlalu banyak digunakan atau tubuh mengalami dehidrasi? Atau, mungkin tidak mendapatkan cukup elektrolit, seperti kalium atau magnesium. Mineral akan membantu otot bekerja lebih lancar, dan cairan membantu tubuh memroses mineral tersebut. Semoga. 7
Prof Dewa Komang Tantra MSc, PhD
Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya
Komentar