Krama Tejakula Pentaskan Wayang Wong Sakral
Kesenian sakral Wayang Wong dipentaskan krama Desa Pakraman Tejakula, Kecamatan Tejakula, Buleleng saat Umanis Galungan pada Wraspati Umanis Dunggulan, Kamis (6/4) sore.
Sebagai Tari Wali Saat Umanis Galungan di Pura Maksan
SINGARAJA, NusaBali
Kesenian sakral yang baru saja mendapat sertifikat sebagai ‘Warisan Budaya Dunia Tak Benda’ dari United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) ini hanya dipentaskan setahun sekali di Pura Maksan.
Pementasan kesenian sakral Wayang Wong dilaksanakan di Pura Mak-san, Desa Pakraman Tejakula, karena memang wajib dipentaskan sebagai tarian wali di sana. Maklum, Pura Maksan merupakan tempat penyimpanan topeng Wayang Wong asli. Selain di Pura Maksan, kesenian sakral ini dipentaskan di Pura Kahyangan Tiga wewidangan Desa Pakraman Tejakula.
Topeng yang disimpan di Pura Maksan yang dipercaya sebagai topeng asli Wayang Wong, berjumlah sekitar 100 karakter. Topeng-topeng ini merupakan warisan leluhur yang diyakini sudah ada sejak sejak abad ke-17. Hanya saja, yang sering digunakan untuk menari hanya berkisar 50-60 topeng.
“Kalau topeng aslinya, hanya bisa dipentaskan di pura saja. Sedangkan kalau untuk pemetasan di acara lain (yang bukan sakral), menggunakan topeng duplikat,” jelas salah seorang prsginsa (penari) Wayang Wong, I Gede Komang, kepada NusaBali, di sela pementasan kemarin sore.
Saat ini, ada sekitar 75 penari Wayang Wong di Desa Pakraman Tejakula. Termasuk di antaranya Gede Komang sendiri, birokrat yang kesehariannya menjabat Kepala Dinas Sosial Buleleng. Saat pentas skral di Pura Maksan kemarin sore, Gede Komang ikut tampil mengenakan topeng Wayang Wong asli.
Kesenian sakral Wayang Wong Tejakula adalah tradisi budaya cukup tua, yang diperkirakan sudah ada sejak pertengahan abad ke-17, melalui proses kelahiran yang mistis. Ketika itu, salah seorang kepercayaan Ida Batara yang berstana di Pura Maksan mendadak kerauhan (kerasukan). Melalui raga orang kepercayaannya yang kerauhan ketika itu, Ida Batara meminta harus ada kesenian Wayang Wong yang dipentaskan di Pura Maksan dan pura-pura lainnya wewidangan Desa Pakraman Tejakula.
Pasca muncul permintaan secara niskala melalui proses kerauhan itu, para tokoh seni di Desa Pakraman Tejakula kemudian berkumpul, lalu sepakat membuat sebuah kesenian sakral Wayang Wong. Dibuat kemudian ratusan topeng yang terbagi dalam beberapa kelompok, seperti Kelompok Rama, Kelompok Laksmana, Kelompok Sugriwa, Kelompok Wibisana, Kelompok Rahwana, Kelompok Kumbakarna, Kelompok Raksasa, hingga Kelompok Punakawan.
Ratusan topeng warisan abad ke-17 itu kini disimpan di Pura Maksan dan hanya digunakan di waktu-waktu tertentu ketika pementasan sakral di pura-pura. Uniknya, kesenian sakral Wayang Wong wajib dimainkan secara bersambung, karena tidak bisa dimainkan terpenggal atau dimulai di bagian-bagian tertentu. Semuanya haru ditampilkan utuh. Misalnya, jika dalam piodalan di Pura Desa dimainkan bagian pertama epos Ramayana, maka dalam pementasan selanjutnya di pura lain harus dimainkan bagian kedua epos Ramayana. Begitu seterusnya, hingga cerita tamat. Jika sudah tamat, cerita dimulai lagi dari bagian pertama.
Dalam pentas di Pura Maksan kemarin sore, tarian sakral Wayang Wong mengambil Kanda pertama dari epos Ramayana, yakni Balakanda yang berjudul ‘Sander Sita’. Cerita ini mengisahkan Sang Patih Marica yang menyamar menjadi Kijang Kencana untuk menarik perhatian Dewi Sita. Kemudian, Dewi Sita meminta suaminya, Raja Rama, mengejar Kijang Kencana tersebut.
Maka, Raja Rama pun menjauh dari Dewi Sita dan berusaha memanah kijang siluman itu. Kemudian, Patih Marica yang cerdik berteriak minta tolong, suaranya mirip Raja Rama. Dewi Sita pun meminta adiuk iparnya, Laksmana, mencari Raja Rama yang dikiranya tengah menghadapi masalah. Saat Laksmana menyusul Raja Rama itulah, Dewi Sita diculik oleh Rahwana.
Menurut Gede Komang, tidak sembarang orang bisa menjadi pragina (penari) tarian sakral Wayang Wong. Warisan untuk ngigel (menarikan) Wayang Wong biasanya datang melalui garis keturunan dari ayah ke anak atau kakek ke cucu. Ada kalanya datang dari garis keturunan yang lebih panjang lagi. Seorang pragina Wayang Wong tidak hanya dituntut pintar dalam menari, tapi juga harus lihai dalam berbahasa Kawi serta menguasai kakawin.
Gede Komang mengisahkan, semula dirinya sama sekali tidak pernah menarikan kesenian Wayang Wong. Jangankan ngigel, menonton pentas tarian Wayang Wong saja dia tidak pernah. Tapi, karena sudah waktunya harus ngayah, dia dengan sendirinya bisa ngigel Wayang Wong.
Menurut Gede Komang, semuanya berawal dari proses niskala melalui mimpi. “Saya mendadak bermimpi harus menarikan Wayang Wong Tejakula. Mimpi itu terjadi di pengujung era 1990-an lalu. Begitu habis bermimpi, saya terpanggil untuk ngigel Wayang Wong dan ternyata bisa,” kenang Gede Komang.
Gede Komang mengisahkan, dirinya memang lahir dan dibesarkan di tengah keluarga keturunan pragina Wayang Wong. “Dulu buyut saya yang menari Wayang Wong Tejakula. Karena sudah waktunya, maka saya yang mewarisi jadi pragina. Kalau warisan niskala ini ditolak, kami percaya akibatnya bisa fatal. Bisa saja kami mimpi buruk terus menerus atau mungkin sakit menahun. Ini kepercayaan yang memang terjadi pada kami,” jelas Gede Komang.
Sedangkan Kelian Sekaa Wayang Wong Desa Pakraman Tejakula, I Gede Putu Tirta Ngis, dalam suatu kesempatan dengan NusaBali mengatakan, mengaku sama sekali tidak tahu siapa leluhurnya yang pernah menarikan Wayang Wong. Namun, tokoh sepuh yang bertndak sebagai sutradara pementasan sakral Wayang Wong ini secara turun temurun memang memiliki hubungan kekerabatan dengan I Gusti Ngu-rah Jelantik.
Sekadar dicatat, I Gusti Ngurah Jelantik merupsakan salah satui dari dua seniman besar masa silam, selain I Dewa Batan, yang pegang andil di balik kelahiran kesenian Wayang Wong di abad ke-17. Mereka pula yang membuat topeng-topeng berbahan dasar kayu, yang wajahnya menyerupai tokoh-tokoh dalam epos Ramayana. Total ada 175 topeng yang dibuat saat itu.
Kesenian Wayang Wong milik Desa Pakraman Tejakula sendiri sudah mendapat pengakuan dari UNESCO---badan dunia di bawah PPB yang mengurusi segala hal menyangkut bidang pendidikan, sains, dan kebudayaan---sebagai ‘Warisan Budaya Dunia Tak Benda’. Penyerahan sertifikat oleh UNESCO itu dilakukan saat pembukaan acara Buleleng Fesstival (Bulfest) IV 2016 di depan Tugu Singa Ambara Raja, Buleleng, 2 Agustus 2016 lalu. * k23
1
Komentar