Bersahabat dengan Wong Samar
Seorang siswi sekolah dasar lahap makan sepotong roti. Tidak ada yang ganjil setelah roti itu habis disantap.
Tapi dua jam kemudian gadis itu mengaku pusing, lalu mual, dan muntah-muntah. Orangtuanya panik, segera melarikan anak mereka yang lemas terkulai itu ke rumah sakit. Setelah diperiksa, diduga anak itu keracunan makanan. Apa lagi yang beracun kalau bukan roti itu?
Berita roti beracun itu cepat menyebar, karena di hari yang sama ada anak lain yang mengalami gejala sama: pusing, mual, muntah, lemas, datang ke rumah sakit. Esok hari muncul kasus serupa. Dua, tiga, empat, hari kemudian, beberapa anak muntah-muntah setelah melahap biskuit yang mereka beli di warung. Seminggu kemudian gejala serupa, yang pertama muncul di Monangmaning, Denpasar, hadir di Singaraja. Beberapa orang muntah-muntah setelah menyantap roti. Sebuah koran di Bali menulis judul headline berbau sensasi, ‘Korban roti beracun berguguran di Singaraja’.
Kasus roti beracun menjadi isu yang mengguncang Bali di tahun 1990. Surat kabar gencar mewartakannya. “Tiras harian kami melonjak waktu itu,” ujar seorang mantan redaktur harian di Denpasar. Berita-berita gencar di surat kabar membuat orang takut makan roti. Pemilik pabrik roti di Desa Sempidi, Badung, mengeluh karena omzet menurut tajam.
Bali juga pernah mengalami histeria massa ketika jejak coretan kapur (ada yang menyebutnya sebagai colek pamor – goresan kapur dengan jari tangan) dijumpai di dinding-dinding rumah tempat tinggal akhir 2018. Banyak yang muncul di tempat-tempat suci dan bangunan pemujaan. Orang menebak-nebak misteri coretan kapur ini, muncul sebagai keinginan politis, agar orang Bali kian percaya, semakin yakin, pada wong samar, makhluk halus, yang diduga pelaku gerakan colek pamor ini. Agar orang Bali tambah yakin pada hal-hal yang berbau mistik, percaya penuh pada segala sesuatu yang niskala, sesuatu yang diyakini ada, tetapi tak tampak. Misteri colek pamor ini kambuh lagi di Buleleng, April 2020.
Orang Bali punya kepercayaan penuh pada hal-hal yang maya, gaib. Mereka sangat yakin alam ini dihuni juga oleh makhluk halus. Kepada makhluk gaib ini orang Bali diajar untuk bersahabat, jangan bermusuhan. Jika kita baik dengan wong samar, mereka akan membantu, memberi tanda-tanda hal-hal positif yang harus dilakukan manusia. Siapa saja yang punya indera keenam untuk menangkap sinyal yang disampaikan wong samar, akan diuntungkan, karena dia bisa lebih awal tahu bencana yang akan menimpa, sehingga malapetaka terhindarkan. Persis seperti orang yang beteng tingal, sanggup melihat peristiwa-peristiwa yang bakal terjadi berdasarkan naluri atau intuisi, tidak atas analisis nalar.
Sayangnya, sungguh celaka jika kepercayaan pada kekuatan gaib itu berbiak menjadi histeria massa. Orang yang menderita histeria akan mengalami gangguan pada gerak gerik jiwa, rasa, dan pikiran. Emosi mereka bisa meledak tak terkendali, mungkin berteriak-teriak, menangis, tertawa. Bukankah sejak muncul berita colek pamor ini sudah sekian orang Bali kesurupan? Orang-orang yang mengalami histeria, menjadi histeris, bisa bertindak membahayakan diri sendiri dan orang lain. Bisa jadi dia curiga pada seseorang atau kelompok lain, dan berniat menghancurkannya, karena menganggap, orang-orang itulah penyebab bencana yang bakal timbul. Syukur ada wong samar yang memberitahu terlebih dulu, sehingga malapetaka itu terbaca, dan bisa dihindari.
Maka persoalannya bukan pada jejak misterius kapur itu, tapi bagaimana meredam isu itu tidak berbiak menjadi histeria massa yang berbuntut kepanikan dan tindak kekerasan. Atau, jangan-jangan kisah jejak misterius ini muncul, karena orang Bali bersahabat dengan wong samar, makhluk halus yang diyakini akan tenang dan pendiam jika diberi sesaji, tapi marah besar kalau dilupakan.
Misteri goresan kapur ini memang membuahkan hasil. Orang Bali yang percaya pada makhluk gaib menelisik diri. Padmasana, sanggah, diperiksa. Ketika coretan tidak ditemukan, mereka bersyukur, karena makhluk gaib itu tidak menuding dan menandai mereka sebagai orang jelek. Muncul keyakinan, jika seseorang merasa senantiasa berperilaku baik, akan lolos dari coretan kapur. Namun, ternyata banyak keluarga baik-baik, pemurah, jujur, bermartabat, yang sanggahnya tercoret kapur. Wah, runyam!
Tentu alangkah bahagia makhluk gaib, wong samar, itu, karena berhasil membuat orang Bali eling, mulat sarira, menelisik diri sendiri. Wajar, kalau orang Bali berterima kasih pada soroh (kaum) wong samar, dan akan semakin mempererat persahabatan dengan mereka. *
Aryantha Soethama
Komentar