Musim Hujan, Prasasti Tergenang Air
Prasasti Blanjong Simpan Kejayaan Masa Lalu
DENPASAR, NusaBali
Prasasti Blanjong memiliki nilai sejarah tinggi, belum banyak disadari masyarakat Bali, terutama kalangan milenial ataupun generasi z.
Masyarakat Bali belum banyak mengenal ataupun mengunjungi situs cagar budaya di Banjar Blanjong, Desa Adat Intaran, Desa Sanur Kauh, Kecamatan Denpasar Selatan ini. Padahal, Prasasti Blanjong menjadi sebuah kebanggan Bali. Karena mengungkapkan kejayaan kerajaan Bali pada masa lampau, jauh sebelum Majapahit membentuk peradaban Bali seperti saat ini. Prasasti ini merupakan prasasti tertua yang ditemukan di Bali, sekaligus kebanggaan masyarakat Bali. Pemkot Denpasar menetapkan prasasti ini sebagai Benda Cagar Budaya pada 15 April 2019. Penetapan tersebut berdasarkan Surat Keputusan Walikota Denpasar Nomor : 188.45/825/HK/2019. Prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Sri Kesari Warmadewa ini menjadi salah satu warisan budaya yang penting tidak hanya bagi Kota Denpasar, tapi juga Bali. "Prasasti Blanjong merupakan tonggak sejarah peradaban di Bali. Bukti sejarah tersebut memang harus benar-benar kita jaga keasliannya jangan sampai nanti ada beberapa bagian yang rapuh atau hilang, itu nanti jadi perhatian kita," kata Kepala Dinas Kebudayaan Kota Denpasar, Raka Puwantara, Kamis (27/7).
Raka Purwantara mengatakan, pelestarian cagar budaya merupakan amanat dari UU Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya dan Perda Kota Denpasar Nomor 12 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Cagar Budaya. "Kami ingin keberadaan cagar budaya di Kota Denpasar ini betul-betul terjaga kelestariannya, bisa menjadi khasanah, daya tarik orang berkunjung ke Kota Denpasar sebagai Kota Budaya, di mana heritage-nya terjaga keamanannya, kenyamanannya," kata Raka Purwantara.
Prasasti Blanjong merupakan sebuah piagam proklamasi ditulis pada batu padas berbentuk pilar. Ddi atasnya berhiaskan pahatan bunga lotus (padma ganda). Kondisinya sudah sangat rapuh karena usia yang sudah sangat tua dan keadaan udara sekitarnya sangat lembab, selain karena prasasti terletak di bawah permukaan tanah. Bentuk pilar silendris mengingatkan kita pada bentuk stambha (dharmastambha) yang dibentuk secara halus dituliskan ajaran-ajaran agama Budha yang lazim ditemukan di India pada masa pemerintahan Raja Asoka Maurya. Berdasarkan hal tersebut maka Prasasti Blanjong di kalangan peneliti disebut sebagai prasasti yang tertulis pada stambha (stambhaprasasti).
Teks prasastinya dipahatkan pada dua sisi yaitu sisi barat laut menggunakan aksara pre-negari yang biasa digunakan di India utara terdiri atas 6 baris tulisan dengan dua bahasa, yakni baris 1 sampai 3 menggunakan bahasa Sansekerta. Sedangkan baris ke-4 sampai ke-6 menggunakan bahasa Bali kuno. Teks pada sisi tenggara menggunakan aksara Bali kuno (Kawi) terdiri atas 13 baris tulisan dengan bahasa Sansekerta.
Prasasti Blanjong diresmikan oleh raja Adhipatih Sri Kesari Warmadewa pada tahun Saka 835 (913 Masehi). Dalam prasasti dijelaskan Raja Adhipatih Sri Kesari Warmadewa berhasil mengalahkan musuh-musuhnya di Gurun dan Suwal. Guruh sampai saat ini masih ditafsirkan adalah Pulau Nusa Penida. Ada juga yang menafsirkan wilayah Gerung di Lombok. Sedangkan Suwal ditafsirkan dengan wilayah pesisir Desa Ketewel, Kecamatan Sukawati, Gianyar. Ada juga yang mentafsirkan wilayah Sowa di Bima, Sumbawa. Prasasti Blanjong menyebutkan nama kerajaan Singadwala (Singhadwalapure), kutaraja (pusat kota), dan Walidwipa (Pulau Bali). Pelestarian benda cagar budaya ini penting untuk mempertahankan pengetahuan tentang masa lalu, sekaligus pondasi untuk melihat permasalahan sekarang dan mendatang. Namun, lakukan usaha pelestarian ini bukan tanpa kendala. Karena anggaran perawatan masih menjadi masalah utama.
Raka Purwantara menambahkan, pelestarian tersebut harus melibatkan kerjasama banyak pihak. Selain Disbud sendiri, juga terdapat pemangku kepentingan lain seperti desa adat, hingga Balai Pelestari Cagar Budaya (BPCB). "Kami sudah berkoordinasi dengan pihak Balai Pelestari Cagar Budaya siapa tahu nanti ada penganggaran dari pusat. Sejarah peradaban bukan hanya jadi tanggungjawab Pemerintah Daerah tetapi juga berjenjang bisa juga Pemerintah Provinsi," sebut Raka Purwantara.
Kepala Bidang Cagar Budaya Disbud Denpasar Luh Oka Ayu Arya Tustani mengakui ada tantangan dalam merawat Prasasti Blanjong. Setiap musim hujan, karena terletak di bawah permukaan tanah, maka setiap hujan rawan terendam air yang merembes ke cungkup prasasti.
"Jadi, setiap hujan karena di sekitarnya adalah pasir, maka air gampang masuk ke celah-celah balai pelindung," ujarnya.
Dia menambahkan sempat ada wacana untuk menaikkan prasasti agar berada di atas permukaan tanah. Namun, masih ada pro-kontra bahwa tindakan tersebut dapat merusak keaslian. Pun solusi menambah luas situs Ptasasti Blanjong terkendala harga lahan yang cukup mahal.
Jelas dia, untuk berkunjung ke destinasi wisata purbakala satu-satunya di Kota Denpasar ini, sekali tidak dipungut biaya. Pengunjung dapat melihat dengan bebas Prasasti Blanjong berukuran tinggi 177 cm dan garis tengah 62 cm dalam bangunan kaca. “Sebelum pandemi tingkat kunjungan wisatawan mencapai puluhan orang didominasi wisatawan mancanegara. Kini saat pandemi sebulan bisa dihitung dengan jari,” kata penjaga situs Cagar Budaya Prasasti Blanjong, I Made Mawa, 64.
Meski sepi kunjungan, perawatan Prasasti Blanjong tidak berhenti. Made Mawa secara rutin membersihkan prasasti dari debu dan kaca bangunan pelindung juga dibersihkan secara berkala. Dia mengakui ketika hujan lebat air masuk ke dalam tempat prasasti di bawah permukaan tanah. Banyak warga sekitar menghaturkan banten (canangsari) pada situs Prasasti Blanjong setiap rahinan Bali. Prasasti ini bisa dikatakan sebagai museum hidup karena masih difungsikan masyarakat sekitar.
“Rencananya mau diperbaiki bangunannya, kalau musim hujan deras ada air di bawah prasasti sampai 50 centimeter,” kata Made Mawa. *cr78
1
Komentar