Habitus - Modal - Ranah - Praktik
Ketika ‘habitus’ (kebiasaan) diperkaya ‘modal’ (kecerdasan) dan dikelindankan dengan ‘ranah’ (ruang dan tempo), maka ia akan menjadi sebuah praktik produktif.
Untuk diketahui bahwa diksi ‘habitus’, ’modal’, ‘ranah’, dan ‘praktik’ dipinjam dari pemikiran Pierre Bourdieu. Konsep inti pemikiran Pierre Bourdieu adalah mengintegrasikan berbagai bidang ilmu secara kritis dan sistemik, dan ia amat cemerlang menghasilkan kajian sastra mutakhir. Mungkin strategi demikian dapat diadaptasi dalam kehidupan sehari-hari.
Gumi Bali sarat dengan habitus unik, setiap desa memiliki kearifan lokal yang tidak selalu bersandar pada filosofi Hindu. Kesetaraan dan kebersamaan mendorong krama Bali untuk saling ‘ngejot’, yang dibuat atau dimiliki diharapkan dapat diicip oleh kerabat. Habitus demikian sudah mulai tergerus dan gamang sepertinya akan menghilang. Habitus ‘tidak ngejot’ berelasi dengan tidak berlanjutnya keyakinan akan manfaatnya, kesibukan dalam keseharian, atau faktor modal lainnya. Praktik ‘ngejot’ yang turun temurun berlangsung menjadi terhenti karena faktor modal ditambah ranah, meminjam teorinya Pierre Bourdieu untuk menjelaskan tidak berlanjutnya praktik sosial tersebut.
Contoh lain adalah kremasi. Kremasi dipandang sebagai simbiosis agama dan manajemen, pengembalian unsur panca maha bhuta melalui atribut sederhana dan sumber daya relatif kecil. Praktik ngaben menjadi kremasi tanpa bade metumpang, bogem, lembu, atau lainnya merupakan transformasi habitus secara situasional. Walau sering menuai kontroversi, kremasi semakin hari memeroleh pengikut dan dukungan. Berbeda ruang (ranah) berbeda pula praktiknya. Seperti, penguburan mayatnya tergolong unik, badan kasar hanya dibungkus kain kafan dan tidak diperabukan.
Di Desa Tenganan, habitus unik ‘mekare-kare’ (perang pandan) amat terpelihara. Habitus demikian memeroleh modal (kekuatan) sebagai persembahan dan penghormatan kepada leluhur. Praktik perang pandan menyimbolkan perang antara Dewa Indra dengan Maya Denawa, kebaikan melawan kebatilan. Habitus demikian dilestarikan sampai saat ini dan mendatangkan manfaat besar bagi krama Hindu di Desa Tenganan Pegringsingan.
Habitus lainnya, yaitu omed-omedan atau med-medan. Pada permukaan (surface structure), habitus ini terkesan porno dan tidak umum dilakukan di ruang publik. Prosesi omed-omedan merupakan penerusan permainan tarik-menarik antara pemuda dan pemudi di wilayah Denpasar Selatan. Awalnya kegaduhan yang ditimbulkan, namun akhirnya keceriaan yang mengganti. Atas titah raja saat itu, prosesi omed-omedan diteruskan sampai saat ini. Tradisi ini menuai pro dan kontra. Namun akhirnya, omed-omedan menjadi sebuah peristiwa budaya yang tetap dan diminati masyarakat. Habitus religi lain, yaitu acara melasti. Praktik acara melasti merupakan penyucian agar menjadi bersih dan suci secara sekala maupun niskala. Unsur jahat dan buruk diniatkan dibuang ke laut. Makna terdalamnya sebagai penyucian atau pembersihan. Prosesi acara melasti dilakukan dengan sangat beragam, tergantung desa kala dan patra masing-masing.
Konsep ‘ðesa, kala, patra’ sejalan dengan strukturalisme genetik. Konsep ’desa kala patra’ muncul sebagai reaksi atas praktik yang hanya menitikberatkan pada unsur-unsur intrinsik tanpa memerhatikan unsur-unsur ekstrinsik. Pemaknaan habitus secara intrinsik mengabaikan modal dan ranah secara situasional. Adapun unsur-unsur eksternal yang penting menjadi pertimbangan meliputi: historis, sosial, ekonomi, politik, lingkungan, masyarakat, pendidikan, fenomena kemanusiaan, dan unsur luar lainnya. Ketika praktek habitus mengabaikan faktor ekstrinsik, akan mengorbankan ciri khas, kepribadian, cita-cita, dan juga norma-norma dalam kultur sosial. Kemiskinan atau merosotnya akhlak dapat terjadi disebabkan, antara lain lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat, kecanggihan teknologi atau elektronik, atau pengaruh budaya. *
Prof Dewa Komang Tantra MSc, PhD
Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya
Gumi Bali sarat dengan habitus unik, setiap desa memiliki kearifan lokal yang tidak selalu bersandar pada filosofi Hindu. Kesetaraan dan kebersamaan mendorong krama Bali untuk saling ‘ngejot’, yang dibuat atau dimiliki diharapkan dapat diicip oleh kerabat. Habitus demikian sudah mulai tergerus dan gamang sepertinya akan menghilang. Habitus ‘tidak ngejot’ berelasi dengan tidak berlanjutnya keyakinan akan manfaatnya, kesibukan dalam keseharian, atau faktor modal lainnya. Praktik ‘ngejot’ yang turun temurun berlangsung menjadi terhenti karena faktor modal ditambah ranah, meminjam teorinya Pierre Bourdieu untuk menjelaskan tidak berlanjutnya praktik sosial tersebut.
Contoh lain adalah kremasi. Kremasi dipandang sebagai simbiosis agama dan manajemen, pengembalian unsur panca maha bhuta melalui atribut sederhana dan sumber daya relatif kecil. Praktik ngaben menjadi kremasi tanpa bade metumpang, bogem, lembu, atau lainnya merupakan transformasi habitus secara situasional. Walau sering menuai kontroversi, kremasi semakin hari memeroleh pengikut dan dukungan. Berbeda ruang (ranah) berbeda pula praktiknya. Seperti, penguburan mayatnya tergolong unik, badan kasar hanya dibungkus kain kafan dan tidak diperabukan.
Di Desa Tenganan, habitus unik ‘mekare-kare’ (perang pandan) amat terpelihara. Habitus demikian memeroleh modal (kekuatan) sebagai persembahan dan penghormatan kepada leluhur. Praktik perang pandan menyimbolkan perang antara Dewa Indra dengan Maya Denawa, kebaikan melawan kebatilan. Habitus demikian dilestarikan sampai saat ini dan mendatangkan manfaat besar bagi krama Hindu di Desa Tenganan Pegringsingan.
Habitus lainnya, yaitu omed-omedan atau med-medan. Pada permukaan (surface structure), habitus ini terkesan porno dan tidak umum dilakukan di ruang publik. Prosesi omed-omedan merupakan penerusan permainan tarik-menarik antara pemuda dan pemudi di wilayah Denpasar Selatan. Awalnya kegaduhan yang ditimbulkan, namun akhirnya keceriaan yang mengganti. Atas titah raja saat itu, prosesi omed-omedan diteruskan sampai saat ini. Tradisi ini menuai pro dan kontra. Namun akhirnya, omed-omedan menjadi sebuah peristiwa budaya yang tetap dan diminati masyarakat. Habitus religi lain, yaitu acara melasti. Praktik acara melasti merupakan penyucian agar menjadi bersih dan suci secara sekala maupun niskala. Unsur jahat dan buruk diniatkan dibuang ke laut. Makna terdalamnya sebagai penyucian atau pembersihan. Prosesi acara melasti dilakukan dengan sangat beragam, tergantung desa kala dan patra masing-masing.
Konsep ‘ðesa, kala, patra’ sejalan dengan strukturalisme genetik. Konsep ’desa kala patra’ muncul sebagai reaksi atas praktik yang hanya menitikberatkan pada unsur-unsur intrinsik tanpa memerhatikan unsur-unsur ekstrinsik. Pemaknaan habitus secara intrinsik mengabaikan modal dan ranah secara situasional. Adapun unsur-unsur eksternal yang penting menjadi pertimbangan meliputi: historis, sosial, ekonomi, politik, lingkungan, masyarakat, pendidikan, fenomena kemanusiaan, dan unsur luar lainnya. Ketika praktek habitus mengabaikan faktor ekstrinsik, akan mengorbankan ciri khas, kepribadian, cita-cita, dan juga norma-norma dalam kultur sosial. Kemiskinan atau merosotnya akhlak dapat terjadi disebabkan, antara lain lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat, kecanggihan teknologi atau elektronik, atau pengaruh budaya. *
Prof Dewa Komang Tantra MSc, PhD
Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya
1
Komentar