Ketut Nedeng, Kusir Dokar yang Tetap Bertahan di Tengah Impitan Zaman
DENPASAR, NusaBali.com – Perkembangan moda transportasi yang begitu pesat mengimpit para kusir dokar di Kota Denpasar, namun mereka memilih untuk tetap bertahan karena tidak ada sumber penghidupan lain.
Seperti salah satu kusir dokar, Ketut Nedeng, 65, yang sering memangkalkan dokarnya di Jalan Kaliasem, Dangin Puri, Denpasar pada hari biasa dan berpindah ke Jalan Sulawesi di dekat Pasar Badung pada akhir pekan.
Pria asal Karangasem itu merantau ke Kota Denpasar pada tahun 1975 di usianya yang masih begitu belia. Sesampai di kota, Nedeng bekerja serabutan, apa pun ia kerjakan asal baik dan menghasilkan uang.
Pada akhirnya, Nedeng memutuskan untuk bekerja sebagai tukang sabit rumput pakan ternak agar bisa dijual. Namun sayang, usahanya tersebut tidak membuah hasil yang diinginkan, sebab, rumput hasil sabitannya tidak begitu laku terjual.
Kemudian, Nedeng beralih profesi menjadi kusir dokar setelah belajar cara-cara menjadi pengemudi kereta kuda tersebut dari temannya. Keputusannya untuk menjadi kusir pun diseriusi oleh Nedeng, sampai ia meminjam uang dengan jaminan kakak sepupunya yang bekerja sebagai guru.
Masih di tahun 1975, Nedeng akhirnya membeli satu set dokar dengan harga Rp 110.000 sesuai nilai mata uang waktu itu. Sebesar Rp 35.000, Nedeng belikan kotak dokar dan Rp 75.000 dibelikan kuda.
Meski sudah memulai profesi baru, Nedeng tetap menyambi berjualan rumput untuk tambahan biaya pakan dan perawatan dari perlengkapan yang mendukung sumber penghidupannya itu. Barulah, pada era 1980-an hingga 1990-an, kendaraan bertenaga kuda tersebut memasuki masa keemasan.
“Tahun 80-an sampai 90-an itu paling ngetren dokarnya, hasil sehari itu bisa dapat Rp 5.000, dan itu nilainya berharga sekali saat itu, sambil juga saya jualan rumput,” tutur Nedeng kepada NusaBali.com saat ditemui usai melayani penumpang di Jalan Kaliasem, Senin (15/8/2022).
Hasil yang Nedeng peroleh dari menjadi kusir itu ia atur dengan seksama untuk bisa memenuhi kebutuhannya dan perawatan dokarnya, termasuk bagaimana penghasilan itu bisa Nedeng pakai untuk pulang kampung tanpa harus meminjam uang.
“Saya bisa mengatur uang itu karena saya selalu miskin, intinya biar saya bisa pulang kampung dengan uang yang saya dapat itu, cukup makan, dan tidak perlu pinjam uang lagi,” ujar pria dua anak itu.
Setelah hampir lima dasawarsa, Nedeng tetap mempertahankan profesinya itu sampai hari ini. Namun, ia khawatir sebab rekannya sesama kusir usianya sudah tidak muda lagi, sedangkan tidak ada generasi muda yang berminat meneruskan profesi itu.
Nedeng mengungkapkan rekan kusir paling tua yang ia kenal saat ini berusia lebih dari 80 tahun dan masih aktif beroperasi setiap akhir pekan di Jalan Gajah Mada, Denpasar.
Selain itu, merupakan suatu tantangan untuk memelihara kuda di tengah urbanisasi Kota Denpasar yang begitu pesat. Nedeng menyoroti minimnya lahan untuk mengandangkan kuda, kemudian alih fungsi lahan juga berkesan terhadap kesulitan para kusir untuk memeroleh pakan ternak dari rerumputan.
Selama ini Nedeng memperoleh pakan ternaknya dengan membeli dari tukang sabit maupun dengan menyabit sendiri di kawasan kremasi dekat Pasar Agung di Kelurahan Penatih, Denpasar Timur.
Sehari, Nedeng harus merogoh kocek sebesar Rp 75.000 untuk pakan kuda Sumbanya yang baru berusia 4 tahun. Belum lagi, Nedeng juga harus mengeluarkan biaya untuk perawatan kotak dokar dan lain-lain.
Di tengah himpitan zaman dan kondisi perekonomian yang tidak menentu, Nedeng masih bersyukur dapat menarik penumpang 8-10 putaran dari pukul 09.00-12.00 Wita dan lima kali putaran setelah ia beristirahat selama satu jam.
“Sampai setengah hari itu 8 sampai 10 putaran. Istirahat dari jam 12 sampai jam 1, sorenya bisa 5 kali putaran,” ujar pria yang menetap di Jalan Nangka Selatan, Denpasar.
Sebelum mulai menarik dokar, Nedeng selalu membersihkan dokarnya terlebih dahulu, kemudian memeriksa kondisi kudanya agar tetap sehat kemudian diberi pakan berupa rumput maupun dedak.
Nedeng mengakui tidak berani saklek mematok tarif tur pribadi di hari biasa. Ia biasanya menawarkan harga terlebih dahulu kemudian membiarkan calon penumpangnya melakukan tawar tarif.
“Saya tidak berani menentukan harga. Kalau ada yang penting ingin naik dokar bisa dikasih lebih, tarifnya sesuai jarak dan kesepakatan dengan penumpang,” ucap Nedeng.
Sejak tahun 2017 lalu, Pemerintah Kota Denpasar menggandeng Nedeng dan tujuh rekannya untuk berpartisipasi sebagai mitra program tur kota dari Dinas Pariwisata. Mereka diajak melayani wisatawan secara gratis selama akhir pekan mulai pukul 09.00-16.00 Wita.
Sebagai bentuk kompensasi, Nedeng dan kawan-kawan diberikan dana sebesar Rp 350.000 setiap beroperasi di pos masing-masing pada akhir pekan yaitu di Jalan Sulawesi dan di depan Terminal Tegal di kawasan Jalan Imam Bonjol.
Nedeng merasa cukup terbantu dengan keberadaan program tersebut karena bisa memberikan wadah pelestarian dokar dan menjamin penghasilan. Sebab, selama ini pemasukannya dari menarik dokar sebagian besar dari gaji yang ia terima dari pemerintah.
“Penghasilan saya hanya dari gaji saja, karena terus terang saja di rumah tidak ada kerjaan. Kalau punya, lebih baik di rumah, karena kalau keluar sehari-hari ini kadang dapat, kadang tidak,” pungkas Nedeng. *rat
Komentar