Pentas Teman Tuna Rungu 'Nungkalik' di Artjog 2022
Bisakah Kita Berteman Walau Tanpa Suara?
Nungkalik, tentu saja tak sekadar pertunjukan seni semata. Nungkalik berusaha membuka ruang kesadaran bagi siapa pun.
DENPASAR, NusaBali
Berawal gelap, sunyi seluruh ruang, dan cahaya menyala dari sebuah pintu. Di pintu putih cahaya yang bisa dibayangkan sebagai pintu kelahiran itu, tampak kepompong tubuh lelaki. Ia menggeliat dalam kondisi terbalik serupa kelelawar, menggantung, Nungkalik.
Suara-suara terdengar dari kejauhan menjelma bisik atau barangkali pula begitu dekat serupa mantra. Lelaki itu membuka kain-kain yang membungkus seluruh tubuhnya, mencari jalan kepulangan sekaligus keberangkatan.
Begitulah dramatic dance performance berjudul 'Nungkalik' dari komunitas seni Kitapoleng Deaf dimulai. Dipentaskan pada Sabtu (6/8) di Museum Nasional Yogyakarta dalam program Artjog 2022. Nungkalik adalah sebuah kisah yang ditata Jasmine Okubo bersama empat penari teman difabel tuna rungu, yakni Wahyu, Salsa, Yogi, dan Ayu. Keempatnya merupakan mahasiswa ISI Denpasar.
Dalam karya berdasarkan naskah yang ditulis Wendra Wijaya, Wahyu sebagai tokoh utama mengajak penonton berbincang. Tapi tentu saja, suaranya tak terdengar. Dia mencoba bunuh diri, tapi gagal. Tanpa terluka sedikitpun. Pasca percobaan bunuh diri, Wahyu pun menjumpai Kanda Pat, empat saudara berwujud halus yang selalu mengiringi roh (sukma) manusia dari dilahirkan hingga meninggal. Ia berkeluh tentang hidup yang tak adil, mengeluhkan intimidasi, diskriminasi, sekaligus krisis kepercayaan yang dialami. Adegan ini diterjemahkan secara apik oleh Dibal Ranuh sebagai artistic director, dengan memainkan visual art bersama Aditya dari Apik Creative.
Di akhir pertunjukan, sebuah teks muncul dari layar visual, "Saya Wahyu dan saya kuat, walau kadang tak berdaya. Bisakah kita berteman, walau tanpa suara?"
Nungkalik, secara sederhana bisa dimaknai sebagai terbalik, bisa pula bertolak belakang. Karya ini didasari realitas sederhana mengenai kontradiksi yang ada dalam pandangan kultural masyarakat. Pandangan umum mengenai kekurangan adalah kelemahan, runtuh ketika dibenturkan pada realitas yang sebenarnya.
Nungkalik, tentu saja tak sekadar pertunjukan seni semata. Nungkalik berusaha membuka ruang kesadaran bagi siapa pun yang menyaksikannya. Mereka merasakan suara-suara terbenam yang memanggil-manggil dan mampu disuarakan Wahyu di atas panggung pertunjukan.
Koreografer Jasmine Okubo menjelaskan kehadiran dirinya dalam panggung Nungkalik bisa dikatakan hampir 90 persen tidak ada gunanya. Metode yang ia terapkan bagi teman-teman tuli ini adalah dengan cara melepas apa yang mereka rasakan.
“Ada beberapa metode yang sifatnya conducting benar-benar bermanfaat. Tapi saya itu lebih ke bagian-bagian tertentu yang harus ada klik-nya antara koreografi dan musik. Jadi hampir 90 persen saya di sana itu gak ngapa-ngapain. Cuma, saya kadang menjadi ibu mereka. Jadi kalau saya gak ada mereka panik,” jelasnya di Denpasar, Kamis (10/8).
Koreografer asal Jepang yang sudah lama menetap di Bali ini menambahkan, terkadang ia melepas teman-teman tuli dalam pertunjukan. Mereka pun sesungguhnya bisa membawakan tarian selayaknya orang normal. “Kelebihan teman tuli, mereka bisa menari secara konsisten sebab mampu menjaga dan mempertahankan tempo musik yang sama dalam diri mereka masing-masing,” pungkasnya.
Anif dari Komunitas Bawayang Jogjakarta mengatakan pertunjukan yang diawali dengan kesunyian di dunia yang ramai ini membuatnya merinding. Juga tentang upaya mereka menunjukkan keberanian, untuk menghadapi orang-yang yang menganggap teman tuli berbeda karena memiliki kemampuan. Ia berharap, Kitapoleng bisa membawa isu-isu ini sampai ke internasional dan membawa kesadaran luas untuk memutus stigma bagi teman tuna rungu.
Pertunjukan Nungkalik malam itu ditutup dengan adegan sarat makna. Di sebuah kendi berisi air, ia membenamkan dirinya. Ia memurnikan dirinya, mengurai segala kemelekatan dalam diri sebab air dipercaya sebagai media penyucian. Fragmen ini disempurnakan oleh kidung dari Peni Candra Rini. Suaranya yang menyayat adalah nyanyian keresahan dalam tubuh yang terluka. Suaranya yang nyaring-tajam serupa keinginan untuk melepas kelemahan menjadi kekuatan. Di kendi itu pula Wahyu memotong rambutnya, membebaskan diri dari kemelekatan sebelumnya untuk memulai kehidupan dalam kemurnian, kemuliaan dan keyakinan akan penerimaan hidup yang lebih sempurna.
Pertunjukan Nungkalik di panggung itu berakhir sudah. Namun pertunjukan Wahyu, Salsa, Yogi, Ayu, dan teman tuli juga disabilitas lainnya masih akan terus berlanjut, entah sampai kapan. Barangkali, hingga diskriminasi dan intimidasi tak ada lagi dan suara-suara mereka bermekaran di setiap hati. *cr78
Suara-suara terdengar dari kejauhan menjelma bisik atau barangkali pula begitu dekat serupa mantra. Lelaki itu membuka kain-kain yang membungkus seluruh tubuhnya, mencari jalan kepulangan sekaligus keberangkatan.
Begitulah dramatic dance performance berjudul 'Nungkalik' dari komunitas seni Kitapoleng Deaf dimulai. Dipentaskan pada Sabtu (6/8) di Museum Nasional Yogyakarta dalam program Artjog 2022. Nungkalik adalah sebuah kisah yang ditata Jasmine Okubo bersama empat penari teman difabel tuna rungu, yakni Wahyu, Salsa, Yogi, dan Ayu. Keempatnya merupakan mahasiswa ISI Denpasar.
Dalam karya berdasarkan naskah yang ditulis Wendra Wijaya, Wahyu sebagai tokoh utama mengajak penonton berbincang. Tapi tentu saja, suaranya tak terdengar. Dia mencoba bunuh diri, tapi gagal. Tanpa terluka sedikitpun. Pasca percobaan bunuh diri, Wahyu pun menjumpai Kanda Pat, empat saudara berwujud halus yang selalu mengiringi roh (sukma) manusia dari dilahirkan hingga meninggal. Ia berkeluh tentang hidup yang tak adil, mengeluhkan intimidasi, diskriminasi, sekaligus krisis kepercayaan yang dialami. Adegan ini diterjemahkan secara apik oleh Dibal Ranuh sebagai artistic director, dengan memainkan visual art bersama Aditya dari Apik Creative.
Di akhir pertunjukan, sebuah teks muncul dari layar visual, "Saya Wahyu dan saya kuat, walau kadang tak berdaya. Bisakah kita berteman, walau tanpa suara?"
Nungkalik, secara sederhana bisa dimaknai sebagai terbalik, bisa pula bertolak belakang. Karya ini didasari realitas sederhana mengenai kontradiksi yang ada dalam pandangan kultural masyarakat. Pandangan umum mengenai kekurangan adalah kelemahan, runtuh ketika dibenturkan pada realitas yang sebenarnya.
Nungkalik, tentu saja tak sekadar pertunjukan seni semata. Nungkalik berusaha membuka ruang kesadaran bagi siapa pun yang menyaksikannya. Mereka merasakan suara-suara terbenam yang memanggil-manggil dan mampu disuarakan Wahyu di atas panggung pertunjukan.
Koreografer Jasmine Okubo menjelaskan kehadiran dirinya dalam panggung Nungkalik bisa dikatakan hampir 90 persen tidak ada gunanya. Metode yang ia terapkan bagi teman-teman tuli ini adalah dengan cara melepas apa yang mereka rasakan.
“Ada beberapa metode yang sifatnya conducting benar-benar bermanfaat. Tapi saya itu lebih ke bagian-bagian tertentu yang harus ada klik-nya antara koreografi dan musik. Jadi hampir 90 persen saya di sana itu gak ngapa-ngapain. Cuma, saya kadang menjadi ibu mereka. Jadi kalau saya gak ada mereka panik,” jelasnya di Denpasar, Kamis (10/8).
Koreografer asal Jepang yang sudah lama menetap di Bali ini menambahkan, terkadang ia melepas teman-teman tuli dalam pertunjukan. Mereka pun sesungguhnya bisa membawakan tarian selayaknya orang normal. “Kelebihan teman tuli, mereka bisa menari secara konsisten sebab mampu menjaga dan mempertahankan tempo musik yang sama dalam diri mereka masing-masing,” pungkasnya.
Anif dari Komunitas Bawayang Jogjakarta mengatakan pertunjukan yang diawali dengan kesunyian di dunia yang ramai ini membuatnya merinding. Juga tentang upaya mereka menunjukkan keberanian, untuk menghadapi orang-yang yang menganggap teman tuli berbeda karena memiliki kemampuan. Ia berharap, Kitapoleng bisa membawa isu-isu ini sampai ke internasional dan membawa kesadaran luas untuk memutus stigma bagi teman tuna rungu.
Pertunjukan Nungkalik malam itu ditutup dengan adegan sarat makna. Di sebuah kendi berisi air, ia membenamkan dirinya. Ia memurnikan dirinya, mengurai segala kemelekatan dalam diri sebab air dipercaya sebagai media penyucian. Fragmen ini disempurnakan oleh kidung dari Peni Candra Rini. Suaranya yang menyayat adalah nyanyian keresahan dalam tubuh yang terluka. Suaranya yang nyaring-tajam serupa keinginan untuk melepas kelemahan menjadi kekuatan. Di kendi itu pula Wahyu memotong rambutnya, membebaskan diri dari kemelekatan sebelumnya untuk memulai kehidupan dalam kemurnian, kemuliaan dan keyakinan akan penerimaan hidup yang lebih sempurna.
Pertunjukan Nungkalik di panggung itu berakhir sudah. Namun pertunjukan Wahyu, Salsa, Yogi, Ayu, dan teman tuli juga disabilitas lainnya masih akan terus berlanjut, entah sampai kapan. Barangkali, hingga diskriminasi dan intimidasi tak ada lagi dan suara-suara mereka bermekaran di setiap hati. *cr78
1
Komentar