Mutu Tenaga Kerja Bali
TAJEN dilarang menyebabkan banyak orang menganggur. Dan juga penyadaran, betapa orang Bali sesungguhnya memiliki sedikit keterampilan untuk bersaing di bursa tenaga kerja.
Mereka yang mengandalkan pendapatan dari arena tajen merasa bangkrut
gara-gara judi dilarang. Seolah tak ada lagi harapan hidup, tertutup
semua peluang. Padahal tenaga kerja pendatang berbondong-bondong ke
Bali, karena Bali menjanjikan banyak kesempatan, harapan, dan
kemungkinan menjadi kaya raya, sukses, bagi mereka yang rajin
gara-gara judi dilarang. Seolah tak ada lagi harapan hidup, tertutup
semua peluang. Padahal tenaga kerja pendatang berbondong-bondong ke
Bali, karena Bali menjanjikan banyak kesempatan, harapan, dan
kemungkinan menjadi kaya raya, sukses, bagi mereka yang rajin
Wajar jika kemudian muncul pertanyaan, apakah sesungguhnya kelebihan tenaga kerja Bali? Adakah mereka memiliki kemampuan yang beragam, khas, rinci, dan kaya inovasi? Apakah mereka manusia-manusia unggul sehingga sanggup bersaing untuk bidang apa pun, dalam situasi bagaimana pun? Atau mereka cuma kelas buruh, petani, atau tukang? Atau mereka cuma cocok bergelut di lingkungan tenaga kerja kaum priyayi?
Karena setiap orang Bali dianggap seniman, mereka dinilai pasti unggul jika bekerja sebagai tukang bangunan, atau tukang kayu, misalnya. Tetapi mutu kaum tukang kayu Bali dinilai lebih rendah dibanding tukang dari Jawa. Untuk industri furniture, tukang-tukang Bali kalah tanding. Mereka tidak sanggup membuat lemari, meja, atau kursi yang bagus. Jika mereka membuat kursi, acap kali posisinya miring, satu kaki dengan kaki kursi lainnya tidak seimbang, sehingga meja atau kursi itu akan bergoyang-goyang, karena tidak seluruh kakinya serentak sebanding menyentuh lantai.
Untuk membangun konstruksi rumah, kecuali rumah tradisional Bali, para tukang Bali juga dinilai tidak segesit tukang-tukang dari Jawa atau Lombok. Para kontraktor sangat berpengalaman, kapan dan di bagian mana harus menyerahkan pekerjaan bangunan kepada tukang Jawa, dan saat mana memercayakannya kepada tukang-tukang Bali. Kaum pekerja Bali biasanya kebagian menangani finishing. Mereka bekerja apik, rinci, bersungguh-sungguh, sabar, telaten, dan lebih senang kalau diberi kebebasan. Persis gaya bekerja kaum seniman.
Tentu ada banyak sekali lapangan pekerjaan. Dan orang Bali dikenal terlalu memilih jenis pekerjaan. Pekerjaan kasar mereka ogah mengambilnya. Tapi jangan-jangan mereka tidak sanggup, karena memang tidak memiliki cukup keterampilan. Apakah orang Bali lebih terampil di sektor riil, atau sektor informal? Jika benar-benar bersaing, apakah tenaga kerja Bali memang bisa lebih unggul jika mereka berdagang di kaki lima? Jangan-jangan tenaga kerja Bali hanya sanggup berperan di jenis pekerjaan tertentu saja.
Harus diakui, banyak sektor pekerjaan tidak dikuasai oleh orang Bali. Di industri garmen, yang menuntut ketelitian dan cita rasa seni, orang Bali kalah bersaing dengan tenaga kerja pendatang. Untuk bisnis reklame luar ruangan, dikuasai kaum pendatang. Industri hiburan untuk turisme lebih dikuasai oleh bukan orang Bali. Pemilik dan penggerak pusat bisnis rumah makan banyak dikuasai kaum pendatang. Di sudut-sudut Denpasar atau Badung seperti Sanur, Kuta, Nusa Dua, Jimbaran, Legian, tengah tumbuh kegiatan kuliner, bisa dipastikan pemilik atau penggeraknya sebagian besar bukan orang Bali. Jika ada yang sudi melacak, jangan-jangan usaha rumah makan di Bali, untuk orang lokal, buat turis domestik dan turis asing, kebanyakan dikuasai oleh bukan orang Bali. Di situ yang bekerja adalah tenaga kerja pendatang.
Tetapi masih bisa dijumpai pengusaha Bali yang fanatik mempekerjakan hanya orang Bali. Tenaga kerja Bali dinilai memiliki kesetiaan pada perusahaan dan bos. Mereka juga dinilai lebih santun, lebih pengertian, lebih punya toleransi. Watak ini menyebabkan tenaga kerja Bali disukai pengusaha. Wajar, kemudian mereka unggul jika bekerja di kapal pesiar. Mereka polos, penurut, tak suka bikin ulah. Tidakkah ini berarti tenaga kerja Bali lebih pas di sektor jasa? Begitu harus berproduksi, mereka kalah gesit bersaing, tidak sigap bertindak, lamban mengikuti proses, lebih sering bengong, padahal mereka tidak malas.
Namun banyak kisah bisa kita peroleh tentang tenaga kerja Bali yang gesit dan ulet kalau di rantau. Mereka gigih, dan cuma mengenal kerja, kerja, kerja. Mereka mengaku, kalau tidak kerja mereka tak makan. Tetapi di Bali, jika tak kerja orang Bali masih bisa makan. Ada saja keluarga, kerabat, sanak saudara, yang mengulurkan bantuan. Mereka menganggap tak mungkin orang Bali mati kelaparan di Bali, kendati menjadi penganggur sekali pun.
Apa harus dilakukan agar tenaga kerja Bali sudi gigih bekerja seperti kalau mereka di rantau? Bagaimana membentuk watak orang Bali agar menganggap tanah kelahiran mereka, Bali ini, adalah tanah rantau? Bahwa ini adalah pulau bebas untuk bersaing, tak peduli penduduk asli atau pendatang. Siapa yang bermutu dia yang menang. Yang malas berubah, akan tersingkirkan. Sanggupkah tenaga kerja Bali mengubah watak doyan menunggu uluran bantuan, menjadi orang-orang yang mandiri? Jangan sampai muncul kesan, orang Bali itu biasanya cuma bekerja di arena tajen, selebihnya, tak berarti apa-apa, tak bermutu. *
Aryantha Soethama
1
Komentar