Lahan Eks Timtim Tunggu SK Pelepasan
Target terselesaikan di bulan Agustus masih menunggu SK Pelepasan dari Menteri Agraria dan Tata Ruang.
SINGARAJA, NusaBali
Sebanyak 107 KK eks pengungsi Timor Timur (Tumtim) yang menempati Hutan Produksi Terbatas (HPT) kawasan Desa Sumberklampok, Kecamatan Gerokgak, Buleleng, hingga saat ini masih menunggu kepastian.
Mereka didampingi Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengusulkan pelepasan lahan pekarangan dan garapan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI. Padahal sebelumnya pemerintah pusat sempat mewacanakan sengketa agraria eks pengungsi Timtim ini sudah tuntas Agustus ini.
Kabid Penataan dan Pemberdayaan Kanwil BPN Bali Fahmi dalam rapat koordinasi penyelenggara reforma agraria Kamis (25/8) kemarin mengatakan, proses permohonan lahan menjadi hak milik warga masih berproses.
Menurutnya untuk pengusulan lahan pekarangan yang selama ini ditempati 107 KK eks pengungsi Timtim, sudah mendapatkan rekomendasi dari tim terpadu.
“Kemarin tim terpadu sudah turun dan sudah memberikan rekomendasi sudah naik ke KLHK. Tetapi kepastian pelepasannya tetap masih menunggu SK Pelepasan dari Menteri,” ucap Fahmi.
Namun rekomendasi yang disetujui untuk dilepas negara baru sebatas permohonan lahan pekarangan saja seluas 5,8 hektar, dengan rincian luasan 4 are untuk masing-masing KK. Sedangkan untuk lahan garapan yang dimohonkan seluas 66,3 hektare dan lahan Fasilitas Umum (Fasum) dan Fasilitas Sosial (Fasos) dengan total 64,86 hektare masih dikaji lebih mendetail oleh tim terpadu.
“Catatan usulan proposal perubahan hutan dan konsep pengembangan kawasan desa reforma agraria, koridor pembangunan berkelanjutan. Harapan KLKH, bisa melihat konsep pengembangan lebih terintegrasi. Pengembangan kawasan desa dengan kehadiran masyarakat bisa melestarikan kelestarian lingkungan, bukan malah mendegradasi kelestarian lingkungan,” imbuh Fahmi. Menurutnya BPN baru akan menerbitkan Sertifikat Hak Milik (SHM) setelah seluruh proses tuntas dan SK Pelepasan dari KLHK turun.
Sementara itu Pemkab Buleleng diwakili Asisten Administrasi Umum Setda Buleleng I Nyoman Genep, mengatakan sejauh ini Pemkab Buleleng terus mendukung agar lahan yang dimohon masyarakat bisa dilepaskan. Namun Pemkab Buleleng tetap akan mengawasi agar lahan pemerintah yang diberikan kepada masyarakat tidak beralih fungsi dan beralih tangan.
“Pemerintah Daerah (Pemda) memberdayakan masyarakat dengan memberikan program-program sesuai potensi setempat, baik melalui pelatihan, pemaksimalan potensi pertanian dna peternakan hingga pembinaan untuk kemajuan BUMDes,” jelas Genep.
Di tempat yang sama, Koordinator Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Provinsi Bali Indrawati menyebut, perjuangan warga eks pengungsi Timtim untuk mendapatkan SHM atas lahan yang ditempati selama 20 tahun terakhir sejak 2018 lalu. Namun hingga kini belum mendapatkan kepastian.
“Warga memohon lahan yang ditinggali dan mereka garap mulai dari lahan pekarangan, lahan pertanian fasum dan fasos untuk menjadi hak milik. Karena dulu bukan mereka yang datang, tetapi ditempatkan oleh pemerintah kita disana. Sehingga mereka harus hadir dalam penyelesaian konflik agraria ini,” kata Indrawati.
Namun dia pun menekankan sebagai pendamping, warga pemerintah desa, BPN dan Pemkab Buleleng harus memiliki komitmen yang sama, setelah ada pelepasan lahan dari pemerintah. Komitmen yang dimaksud agar lahan yang telah menjadi hak milik tidak beralih fungsi apalagi beralih tangan.
“Untuk mengantisipasi tanah redis ini berpindah tangan hanya dengan komitmen dari Pemdes, masyarakat, tokoh masyarakat. Karena kita memperjuangkan lahan untuk warga dna ketahanan pangan bukan untuk dijual,” tegas Indrawati.*k23
Mereka didampingi Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengusulkan pelepasan lahan pekarangan dan garapan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI. Padahal sebelumnya pemerintah pusat sempat mewacanakan sengketa agraria eks pengungsi Timtim ini sudah tuntas Agustus ini.
Kabid Penataan dan Pemberdayaan Kanwil BPN Bali Fahmi dalam rapat koordinasi penyelenggara reforma agraria Kamis (25/8) kemarin mengatakan, proses permohonan lahan menjadi hak milik warga masih berproses.
Menurutnya untuk pengusulan lahan pekarangan yang selama ini ditempati 107 KK eks pengungsi Timtim, sudah mendapatkan rekomendasi dari tim terpadu.
“Kemarin tim terpadu sudah turun dan sudah memberikan rekomendasi sudah naik ke KLHK. Tetapi kepastian pelepasannya tetap masih menunggu SK Pelepasan dari Menteri,” ucap Fahmi.
Namun rekomendasi yang disetujui untuk dilepas negara baru sebatas permohonan lahan pekarangan saja seluas 5,8 hektar, dengan rincian luasan 4 are untuk masing-masing KK. Sedangkan untuk lahan garapan yang dimohonkan seluas 66,3 hektare dan lahan Fasilitas Umum (Fasum) dan Fasilitas Sosial (Fasos) dengan total 64,86 hektare masih dikaji lebih mendetail oleh tim terpadu.
“Catatan usulan proposal perubahan hutan dan konsep pengembangan kawasan desa reforma agraria, koridor pembangunan berkelanjutan. Harapan KLKH, bisa melihat konsep pengembangan lebih terintegrasi. Pengembangan kawasan desa dengan kehadiran masyarakat bisa melestarikan kelestarian lingkungan, bukan malah mendegradasi kelestarian lingkungan,” imbuh Fahmi. Menurutnya BPN baru akan menerbitkan Sertifikat Hak Milik (SHM) setelah seluruh proses tuntas dan SK Pelepasan dari KLHK turun.
Sementara itu Pemkab Buleleng diwakili Asisten Administrasi Umum Setda Buleleng I Nyoman Genep, mengatakan sejauh ini Pemkab Buleleng terus mendukung agar lahan yang dimohon masyarakat bisa dilepaskan. Namun Pemkab Buleleng tetap akan mengawasi agar lahan pemerintah yang diberikan kepada masyarakat tidak beralih fungsi dan beralih tangan.
“Pemerintah Daerah (Pemda) memberdayakan masyarakat dengan memberikan program-program sesuai potensi setempat, baik melalui pelatihan, pemaksimalan potensi pertanian dna peternakan hingga pembinaan untuk kemajuan BUMDes,” jelas Genep.
Di tempat yang sama, Koordinator Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Provinsi Bali Indrawati menyebut, perjuangan warga eks pengungsi Timtim untuk mendapatkan SHM atas lahan yang ditempati selama 20 tahun terakhir sejak 2018 lalu. Namun hingga kini belum mendapatkan kepastian.
“Warga memohon lahan yang ditinggali dan mereka garap mulai dari lahan pekarangan, lahan pertanian fasum dan fasos untuk menjadi hak milik. Karena dulu bukan mereka yang datang, tetapi ditempatkan oleh pemerintah kita disana. Sehingga mereka harus hadir dalam penyelesaian konflik agraria ini,” kata Indrawati.
Namun dia pun menekankan sebagai pendamping, warga pemerintah desa, BPN dan Pemkab Buleleng harus memiliki komitmen yang sama, setelah ada pelepasan lahan dari pemerintah. Komitmen yang dimaksud agar lahan yang telah menjadi hak milik tidak beralih fungsi apalagi beralih tangan.
“Untuk mengantisipasi tanah redis ini berpindah tangan hanya dengan komitmen dari Pemdes, masyarakat, tokoh masyarakat. Karena kita memperjuangkan lahan untuk warga dna ketahanan pangan bukan untuk dijual,” tegas Indrawati.*k23
Komentar