'Nyapuh Tirah Campuhan', Ajakan untuk Mencintai Sungai
Yayasan Puri Kauhan Ubud Gelar Pertunjukan Tari saat Rahina Tumpek Uye
Pertunjukan ini ingin menyampaikan pesan, agar masyarakat menjaga sungai. Sebab sungai merupakan sumber kehidupan semua makhluk, termasuk makhluk tak kasat mata.
GIANYAR, NusaBali
Yayasan Puri Kauhan Ubud, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar, mempersembahkan pertunjukan tari tentang pemuliaan air bertajuk ‘Nyapuh Tirah Campuhan’. Pertunjukan ini digelar di Pondok Sidem, Banjar Bangkiangsidem, Desa Keliki, Kecamatan Tegallalang, bertepatan dengan Rahina Tumpek Uye pada Saniscara Kliwon Uye, Sabtu (27/8) malam.
Nyapuh Tirah Campuhan adalah sebuah pertunjukan tari tentang pemuliaan air. Ajakan untuk mencintai sungai yang inspirasinya diambil dari kearifan cerita rakyat Bali, yakni berkisah tentang Tirah, seorang gadis kecil yang hilang di sebuah gua dekat sungai. Sungai dimaksud memiliki campuhan atau pertemuan dua aliran sungai.
Acara yang digagas oleh Koordinator Staf Khusus Presiden RI Anak Agung Gde Ngurah Ari Dwipayana —yang akrab disapa Gung Ari Dwipayana— ini ingin menyampaikan pesan, agar masyarakat menjaga sungai dari pencemaran. Sebab sungai merupakan sumber kehidupan semua makhluk, termasuk juga makhluk tak kasat mata.
Suasana pertunjukan ini bersifat magis. Sebab mengisahkan suasana sungai dengan makhluk tak kasat matanya. Narasi dan gerakannya pun membuat suasana pementasan yang dilakukan saat sandikala di pinggir sungai penuh pepohonan, semakin magis.
Gung Ari Dwipayana yang juga selaku Ketua Yayasan Puri Kauhan Ubud, menjelaskan Nyapuh Tirah Campuhan merupakan sebuah pertunjukan tari tentang pemuliaan air. Ajakan untuk mencintai sungai yang aspirasinya diambil dari kearifan dalam cerita rakyat Bali.
“Sungai sesungguhnya bukan hanya badan air. Tetapi sesungguhnya memberi tempat bagi semua makhluk ciptaan Tuhan. Di daerah aliran sungai sering terdapat perkampungan kaum tak kasat mata. Di Bali dipercaya sebagai memedi atau gamang,” ujarnya.
Makhluk-makhluk penjaga sungai mendapat tempat di sana. Mereka hidup damai, tapi terasing dari kehidupan warga. Tugas mereka adalah menjaga sungai. Tapi manusia selalu abai untuk menjaga dan merawat sungai. Mereka mengotori, mencemari sungai dengan sampah dan limbah. “Ketika air mulai dikotori, apakah air masih bisa bermanfaat bagi kehidupan dan penyembuh peradaban?” kata Gung Ari Dwipayana.
Masih dalam cerita, akibat Tirah yang hilang, warga desa pun sepakat memukul kentongan, menabuh gong, dan menari. Mereka juga melantunkan syair yang mereka yakini dapat membuat para penjaga sungai ikut terjaga dalam keasyikannya untuk bersama-sama mencari Tirah.
“Kembali kah Tirah setelah semua itu dilakukan? Pengembaraan Tirah merupakan pengembaraan kesadaran manusia di bawah bayang-bayang Sang Kala. Hanya keinsyafan kita semua yang mampu mengembalikannya ke pangkuan ibu,” tutur Gung Ari Dwipayana.
Dia mengatakan, air merupakan unsur yang sangat penting dalam kehidupan, baik sekala maupun niskala. Namun, saat ini kita hidup dalam perubahan kondisi air, mulai dari kekeringan maupun pencemaran. Karena itu, saat ini tidak bisa hanya dilakukan dalam menjaga badan sungai. Namun juga harus menjaga dari hulu, yakni gunung, hutan, dan danau.
“Kami melakukan banyak aktivitas di hulu. Menanam tanaman baik tanaman upakara, obat, dan tanaman produktif. Total 25.000 tanaman. Kami juga mendorong sebuah kampanye untuk menyelamatkan danau. Kami gelar pentas seni,” jelas Gung Ari Dwipayana.
Setelah di hulu, ke hilir (sungai). “Kita menjaga, merawat badan sungai. Bukan hanya pada bagaimana agar masyarakat tak membuang sampah dan limbah ke sungai. Tapi kami juga gelar even untuk menumbuhkan kesadaran,” imbuhnya.
Teater tari ini disutradarai oleh Ida Ayu Wayan Arya Satyani. Didukung penampilan dari Bumi Bajra, Gamelan Yuganada, Sanggar KertaArt, Sanggar Jebugarum, Arsa Wijaya dan Jayak, serta I Gusti Putu Sudarta. Turut dilengkapi Dramaturgi oleh Garin Nugroho, Narasi oleh Cok Sawitri, Produser Gita Fara, Koreografer Parama Kesawa, Music Director I Wayan Sudirana, Sutradara Visual dan Penata Artistik Dibal Ranuh, Kostum Pengangge Art Tanjung Benoa, dengan Manajer Produksi Gus Pangsua.
Acara dihadiri Dirut PT Pupuk Kaltim, Dirut Petrokimia Gresik, perwakilan Bank BNI, BRI, BUMN, dan tokoh Puri Agung Ubud, budayawan, dan tokoh masyarakat. *nvi
Nyapuh Tirah Campuhan adalah sebuah pertunjukan tari tentang pemuliaan air. Ajakan untuk mencintai sungai yang inspirasinya diambil dari kearifan cerita rakyat Bali, yakni berkisah tentang Tirah, seorang gadis kecil yang hilang di sebuah gua dekat sungai. Sungai dimaksud memiliki campuhan atau pertemuan dua aliran sungai.
Acara yang digagas oleh Koordinator Staf Khusus Presiden RI Anak Agung Gde Ngurah Ari Dwipayana —yang akrab disapa Gung Ari Dwipayana— ini ingin menyampaikan pesan, agar masyarakat menjaga sungai dari pencemaran. Sebab sungai merupakan sumber kehidupan semua makhluk, termasuk juga makhluk tak kasat mata.
Suasana pertunjukan ini bersifat magis. Sebab mengisahkan suasana sungai dengan makhluk tak kasat matanya. Narasi dan gerakannya pun membuat suasana pementasan yang dilakukan saat sandikala di pinggir sungai penuh pepohonan, semakin magis.
Gung Ari Dwipayana yang juga selaku Ketua Yayasan Puri Kauhan Ubud, menjelaskan Nyapuh Tirah Campuhan merupakan sebuah pertunjukan tari tentang pemuliaan air. Ajakan untuk mencintai sungai yang aspirasinya diambil dari kearifan dalam cerita rakyat Bali.
“Sungai sesungguhnya bukan hanya badan air. Tetapi sesungguhnya memberi tempat bagi semua makhluk ciptaan Tuhan. Di daerah aliran sungai sering terdapat perkampungan kaum tak kasat mata. Di Bali dipercaya sebagai memedi atau gamang,” ujarnya.
Makhluk-makhluk penjaga sungai mendapat tempat di sana. Mereka hidup damai, tapi terasing dari kehidupan warga. Tugas mereka adalah menjaga sungai. Tapi manusia selalu abai untuk menjaga dan merawat sungai. Mereka mengotori, mencemari sungai dengan sampah dan limbah. “Ketika air mulai dikotori, apakah air masih bisa bermanfaat bagi kehidupan dan penyembuh peradaban?” kata Gung Ari Dwipayana.
Masih dalam cerita, akibat Tirah yang hilang, warga desa pun sepakat memukul kentongan, menabuh gong, dan menari. Mereka juga melantunkan syair yang mereka yakini dapat membuat para penjaga sungai ikut terjaga dalam keasyikannya untuk bersama-sama mencari Tirah.
“Kembali kah Tirah setelah semua itu dilakukan? Pengembaraan Tirah merupakan pengembaraan kesadaran manusia di bawah bayang-bayang Sang Kala. Hanya keinsyafan kita semua yang mampu mengembalikannya ke pangkuan ibu,” tutur Gung Ari Dwipayana.
Dia mengatakan, air merupakan unsur yang sangat penting dalam kehidupan, baik sekala maupun niskala. Namun, saat ini kita hidup dalam perubahan kondisi air, mulai dari kekeringan maupun pencemaran. Karena itu, saat ini tidak bisa hanya dilakukan dalam menjaga badan sungai. Namun juga harus menjaga dari hulu, yakni gunung, hutan, dan danau.
“Kami melakukan banyak aktivitas di hulu. Menanam tanaman baik tanaman upakara, obat, dan tanaman produktif. Total 25.000 tanaman. Kami juga mendorong sebuah kampanye untuk menyelamatkan danau. Kami gelar pentas seni,” jelas Gung Ari Dwipayana.
Setelah di hulu, ke hilir (sungai). “Kita menjaga, merawat badan sungai. Bukan hanya pada bagaimana agar masyarakat tak membuang sampah dan limbah ke sungai. Tapi kami juga gelar even untuk menumbuhkan kesadaran,” imbuhnya.
Teater tari ini disutradarai oleh Ida Ayu Wayan Arya Satyani. Didukung penampilan dari Bumi Bajra, Gamelan Yuganada, Sanggar KertaArt, Sanggar Jebugarum, Arsa Wijaya dan Jayak, serta I Gusti Putu Sudarta. Turut dilengkapi Dramaturgi oleh Garin Nugroho, Narasi oleh Cok Sawitri, Produser Gita Fara, Koreografer Parama Kesawa, Music Director I Wayan Sudirana, Sutradara Visual dan Penata Artistik Dibal Ranuh, Kostum Pengangge Art Tanjung Benoa, dengan Manajer Produksi Gus Pangsua.
Acara dihadiri Dirut PT Pupuk Kaltim, Dirut Petrokimia Gresik, perwakilan Bank BNI, BRI, BUMN, dan tokoh Puri Agung Ubud, budayawan, dan tokoh masyarakat. *nvi
Komentar