Saat Bencana Tak Selalu Menghasilkan Kerentanan, Tapi Juga Kencana
Dari Diskusi Seni Pasca Pandemi oleh Dedari Art Institute dan Jatijagat Kehidupan Puisi
Juga digelar bedah dua buku puisi karya seniman Prof Dr Wayan Dibia. Akademi ISI Denpasar ini meluncurkan dua buah buku puisi berbahasa Bali berjudul 'Guna Gina Pragina' dan 'Kali Sengara'.
DENPASAR, NusaBali
Apa dan bagaimana rumusan seni pasca pandemi? Bagaimana selayaknya seni untuk kemanusiaan? Dua pertanyaan itu yang hendak dijawab puluhan seniman lintas bidang yang hadir dalam diskusi hangat dan guyub di Restoran Warung Mina, Renon, Denpasar, Senin (29/8) petang.
Jawaban mereka tentunya beragam. Mereka masing-masing membahas, memberi catatan, dan memaknai gerak daya hidup dan kreativitas para seniman selama dan pasca pandemi. Merumuskan pokok pikiran yang bisa menjadi referensi untuk para pengambil kebijakan.
Kegiatan yang diorganisir Dedari Art Institute dan Jatijagat Kehidupan Puisi (JKP) ini dihadiri Prof Dr I Nyoman Darma Putra, Prof Dr Wayan Dibia, Dr Wayan Sujana Suklu, Arif Bagus Prasetyo, Dr dr I Nyoman Hariyasa Sanjaya Sp OG (K), I Gusti Nyoman Dharma Putra ST MM, Prof Dr Ida Bagus Raka Suardana (ekonom), dan sejumlah seniman lainnya di Bali.
Ketua panitia acara, dr Dewa Putu Sahadewa Sp OG(K), menjelaskan sengaja mengajak para seniman lintas bidang untuk berbagi pengalaman mereka selama masa pandemi dan berbagi pemaknaan seni pasca pandemi.
"Banyak pakar yang datang, tidak melulu berteori, tetapi mereka rata-rata memang praktisi seni," ujar dr Sahadewa yang dikenal sebagai seniman sekaligus dokter kandungan ini.
Sahadewa menambahkan, selama pandemi para seniman berkreativitas dengan penampilan secara online, virtual konser, pameran virtual, diskusi daring, dan berbagai modifikasi meramaikan jagat media sosial. Dengan segala keterbatasan demikian para seniman tidak jarang masih bisa melakukan kegiatan kemanusiaan.
"Ada pameran yang hasilnya sebagian disumbangkan untuk kemanusiaan," ucap seniman sastra ini. Sementara itu akademisi Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unud sekaligus seniman Prof Dr I Nyoman Darma Putra dalam diskusi memaparkan keadaan pandemi tidak selalu harus dilihat sebagai sebuah bencana melainkan juga bisa dilihat sebagai kencana (emas). Para insan sudah sepantasnya tidak menjadikan pandemi sebagai alasan untuk berhenti melakukan tindakan kemanusiaan.
Dia mengungkapkan, banyak peristiwa bencana yang selanjutnya diikuti oleh peristiwa kencana. Seperti misalnya perang Puputan Badung 1906 yang menelan ribuan korban meninggal rakyat Bali justru diikuti dengan perhatian dunia yang lebih masif terhadap Bali yang mengakibatkan perkembangan budaya Bali itu sendiri termasuk pariwisatanya.
"Jangan sampai bencana itu hanya menghasilkan kerentanan, bencana itu haruslah dibuat untuk menghasilkan resiliensi (kebertahanan). Harus mampu bertahan dengan berbagai ciptaan dan seterusnya," ujar Prof Darma Putra. Pada bagian akhir diskusi, Kritikus Budaya Arif Bagus Prasetyo menyebut seni merupakan salah satu identitas yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya.
"Seni adalah ciri khas kita sebagai manusia, kalau kita berkesenian otomatis menambah kepekaan kita kepada kemanusiaan," ujarnya. Lebih lanjut dikatakannya, pandemi yang melanda dunia juga bisa dilihat sebagai sebuah kritik kepada umat manusia. Kritik yang dia maksudkan adalah ketika manusia terlalu menganggap dirinya pusat dari segala-galanya (antroposentrisme) maka manusia akan mengeksploitasi apapun di luar manusia termasuk lingkungan alamnya.
"Zaman kita ini dipercaya sebagai zaman antroposen. Ketika manusia, ini pertama kalinya dalam sejarah dunia, satu spesies yaitu manusia, bisa mempengaruhi secara signifikan iklim di bumi ini," kata peraih anugerah 'Widya Pataka' 2009 dari Pemerintah Provinsi Bali ini. Celakanya, lanjut Arif pengaruh yang diberikan manusia tersebut tidak banyak positifnya. Para ilmuwan percaya aktivitas manusia telah merusak iklim dunia.
"Artinya seni tidak harus hanya mendukung atau merayakan kemanusiaan, tetapi jangan lupa yang juga penting di zaman kita, seni harus mengkritik kemanusiaan itu sendiri," ucapnya.
Dikatakannya, seni tidak hanya mampu menggambarkan sebuah keindahan, sebaliknya juga bisa mengangkat keburukan. Namun meski mengangkat keburukan, seni selalu bisa menunjukkan sisi keindahan dari keburukan itu. Karenanya, sebut Arif, seni juga merupakan sebuah harapan menuju kebaikan.
Selain menjawab dua pertanyaan di awal. Pertemuan malam itu juga digelar bedah dua buku puisi karya seniman Prof Dr Wayan Dibia. Akademi ISI Denpasar tersebut meluncurkan dua buah buku puisi berbahasa Bali berjudul 'Guna Gina Pragina' dan 'Kali Sengara'. Guna Gina Pragina berisi 40 buah puisi karya seniman asal Desa Singapadu, Kecamatan Sukawati, Gianyar, merupakan ekspresi kegelisahan Prof Dibia yang melihat banyak seniman (tari) yang etikanya tidak memperlihatkan keluhuran seorang seniman. "Sebuah nasihat untuk seniman pragina yang hancur-hancuran sekarang, ngomong tentang uang, ngomong yang jaruh-jaruh, tidak ada tutur (nasihat) lalu akhirnya hancur tontonannya," ujar seniman tari ini.
Dia mengingatkan, di Bali seorang pragina merupakan guru masyarakat. Kehadiran pragina menjadi panutan bukan saja di panggung tetapi juga di masyarakat. Sementara buku kedua ‘Kali Sengara’ berisi 60 buah puisi merupakan jawaban Prof Dibia melihat kehidupan sehari-hari seperti digambarkan sebagai zaman kaliyuga, di mana misalnya banyak orang berpura-pura baik padahal justru sebaliknya. *cr78
Apa dan bagaimana rumusan seni pasca pandemi? Bagaimana selayaknya seni untuk kemanusiaan? Dua pertanyaan itu yang hendak dijawab puluhan seniman lintas bidang yang hadir dalam diskusi hangat dan guyub di Restoran Warung Mina, Renon, Denpasar, Senin (29/8) petang.
Jawaban mereka tentunya beragam. Mereka masing-masing membahas, memberi catatan, dan memaknai gerak daya hidup dan kreativitas para seniman selama dan pasca pandemi. Merumuskan pokok pikiran yang bisa menjadi referensi untuk para pengambil kebijakan.
Kegiatan yang diorganisir Dedari Art Institute dan Jatijagat Kehidupan Puisi (JKP) ini dihadiri Prof Dr I Nyoman Darma Putra, Prof Dr Wayan Dibia, Dr Wayan Sujana Suklu, Arif Bagus Prasetyo, Dr dr I Nyoman Hariyasa Sanjaya Sp OG (K), I Gusti Nyoman Dharma Putra ST MM, Prof Dr Ida Bagus Raka Suardana (ekonom), dan sejumlah seniman lainnya di Bali.
Ketua panitia acara, dr Dewa Putu Sahadewa Sp OG(K), menjelaskan sengaja mengajak para seniman lintas bidang untuk berbagi pengalaman mereka selama masa pandemi dan berbagi pemaknaan seni pasca pandemi.
"Banyak pakar yang datang, tidak melulu berteori, tetapi mereka rata-rata memang praktisi seni," ujar dr Sahadewa yang dikenal sebagai seniman sekaligus dokter kandungan ini.
Sahadewa menambahkan, selama pandemi para seniman berkreativitas dengan penampilan secara online, virtual konser, pameran virtual, diskusi daring, dan berbagai modifikasi meramaikan jagat media sosial. Dengan segala keterbatasan demikian para seniman tidak jarang masih bisa melakukan kegiatan kemanusiaan.
"Ada pameran yang hasilnya sebagian disumbangkan untuk kemanusiaan," ucap seniman sastra ini. Sementara itu akademisi Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unud sekaligus seniman Prof Dr I Nyoman Darma Putra dalam diskusi memaparkan keadaan pandemi tidak selalu harus dilihat sebagai sebuah bencana melainkan juga bisa dilihat sebagai kencana (emas). Para insan sudah sepantasnya tidak menjadikan pandemi sebagai alasan untuk berhenti melakukan tindakan kemanusiaan.
Dia mengungkapkan, banyak peristiwa bencana yang selanjutnya diikuti oleh peristiwa kencana. Seperti misalnya perang Puputan Badung 1906 yang menelan ribuan korban meninggal rakyat Bali justru diikuti dengan perhatian dunia yang lebih masif terhadap Bali yang mengakibatkan perkembangan budaya Bali itu sendiri termasuk pariwisatanya.
"Jangan sampai bencana itu hanya menghasilkan kerentanan, bencana itu haruslah dibuat untuk menghasilkan resiliensi (kebertahanan). Harus mampu bertahan dengan berbagai ciptaan dan seterusnya," ujar Prof Darma Putra. Pada bagian akhir diskusi, Kritikus Budaya Arif Bagus Prasetyo menyebut seni merupakan salah satu identitas yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya.
"Seni adalah ciri khas kita sebagai manusia, kalau kita berkesenian otomatis menambah kepekaan kita kepada kemanusiaan," ujarnya. Lebih lanjut dikatakannya, pandemi yang melanda dunia juga bisa dilihat sebagai sebuah kritik kepada umat manusia. Kritik yang dia maksudkan adalah ketika manusia terlalu menganggap dirinya pusat dari segala-galanya (antroposentrisme) maka manusia akan mengeksploitasi apapun di luar manusia termasuk lingkungan alamnya.
"Zaman kita ini dipercaya sebagai zaman antroposen. Ketika manusia, ini pertama kalinya dalam sejarah dunia, satu spesies yaitu manusia, bisa mempengaruhi secara signifikan iklim di bumi ini," kata peraih anugerah 'Widya Pataka' 2009 dari Pemerintah Provinsi Bali ini. Celakanya, lanjut Arif pengaruh yang diberikan manusia tersebut tidak banyak positifnya. Para ilmuwan percaya aktivitas manusia telah merusak iklim dunia.
"Artinya seni tidak harus hanya mendukung atau merayakan kemanusiaan, tetapi jangan lupa yang juga penting di zaman kita, seni harus mengkritik kemanusiaan itu sendiri," ucapnya.
Dikatakannya, seni tidak hanya mampu menggambarkan sebuah keindahan, sebaliknya juga bisa mengangkat keburukan. Namun meski mengangkat keburukan, seni selalu bisa menunjukkan sisi keindahan dari keburukan itu. Karenanya, sebut Arif, seni juga merupakan sebuah harapan menuju kebaikan.
Selain menjawab dua pertanyaan di awal. Pertemuan malam itu juga digelar bedah dua buku puisi karya seniman Prof Dr Wayan Dibia. Akademi ISI Denpasar tersebut meluncurkan dua buah buku puisi berbahasa Bali berjudul 'Guna Gina Pragina' dan 'Kali Sengara'. Guna Gina Pragina berisi 40 buah puisi karya seniman asal Desa Singapadu, Kecamatan Sukawati, Gianyar, merupakan ekspresi kegelisahan Prof Dibia yang melihat banyak seniman (tari) yang etikanya tidak memperlihatkan keluhuran seorang seniman. "Sebuah nasihat untuk seniman pragina yang hancur-hancuran sekarang, ngomong tentang uang, ngomong yang jaruh-jaruh, tidak ada tutur (nasihat) lalu akhirnya hancur tontonannya," ujar seniman tari ini.
Dia mengingatkan, di Bali seorang pragina merupakan guru masyarakat. Kehadiran pragina menjadi panutan bukan saja di panggung tetapi juga di masyarakat. Sementara buku kedua ‘Kali Sengara’ berisi 60 buah puisi merupakan jawaban Prof Dibia melihat kehidupan sehari-hari seperti digambarkan sebagai zaman kaliyuga, di mana misalnya banyak orang berpura-pura baik padahal justru sebaliknya. *cr78
1
Komentar