BBM Naik, Jumlah Orang Miskin Bertambah
Mendagri minta kepala daerah tempatkan penanganan inflasi sebagai agenda prioritas
JAKARTA, NusaBali
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Margo Yuwono mengingatkan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bisa menambah jumlah orang miskin. Hal itu terlihat saat pemerintah menaikkan harga BBM pada 2005.
Tercatat, harga bensin naik32,6 persen dan solar menanjak 27,3 persen pada Maret 2005. Kemudian, harga bensin kembali naik 87,5 persen dan solar 104 persen pada Oktober 2005.
Imbasnya, angka kemiskinan naik dari 15,97 persen pada 2005 ke 17,75 persen pada 2006. Jumlah orang miskin juga meningkat dari 35,1 juta jiwa menjadi 39,3 juta jiwa.
"Begitu ada kenaikan BBM inflasi 17 persen (2005), angka kemiskinan naik," ujar Margo dalam Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Daerah yang ditayangkan secara virtual, seperti dilansir CNNIndonesia.com, Selasa (30/8).
Peningkatan jumlah orang miskin juga tercermin saat pemerintah menaikkan harga BBM pada 2013 dan 2014. Tercatat, harga bensin melesat 44,4 persen dan solar naik 22,2 persen pada Juni 2013. Selang setahun, harga bensin kembali naik 30,8 persen dan solar menanjak 36,4 persen.
Meski persentase penduduk miskin turun pada periode 2013-2015, tetapi jumlah penduduk miskin bertambah.
Berdasarkan catatan BPS, angka kemiskinan pada Maret 2013 11,37 persen. Kemudian, angkanya turun menjadi 11,25 persen pada 2014 dan 11,22 persen pada 2015. Sementara itu, jumlah orang miskin pada Maret 2013 28,07 juta jiwa. Selang setahun, jumlahnya naik 28,28 juta jiwa lalu kembali meningkat pada Maret 2015 menjadi 28,59 juta jiwa.
"Jangan sampai lengah tidak bisa mengendalikan harga di masing-masing daerah bisa berdampak ke tingginya angka kemiskinan," ujar Margo.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengambil langkah cepat untuk menekan dampak rencana kenaikan BBM yang terjadi di daerah. Tito meminta kepala daerah untuk menempatkan penanganan inflasi sebagai agenda prioritas di daerah masing-masing.
Tito menegaskan, pengendalian inflasi harus menjadi isu yang dianggap penting selayaknya penanganan pandemi Covid-19 beberapa waktu lalu.
"Tempatkan isu ini menjadi isu prioritas, dari tadinya mungkin cuek-cuek saja dan autopilot tidak melakukan apa-apa, bergerak dengan sendirinya mengikuti mekanisme pasar yang ada, sekarang tidak," kata Tito dalam Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Daerah, dikutip dari kompas.com, Selasa (30/8).
Tito mengatakan, tidak hanya kepala daerah, seluruh pemangku kepentingan seperti TNI/Polri, Bank Indonesia, dan Badan Pusat Statistik mesti mengidentifikasi masalah inflasi di daerah dan mencari solusinya. Namun, dalam penanganan inflasi ini, ia mengingatkan agar pemerintah daerah berhati-hati dalam berkomunikasi supaya tidak membuat publik panik.
Ia mengatakan, pemerintah daerah harus membuat masyarakat tetap tenang dan meyakini bahwa situasi tetap terkendali.
"Karena sentimen panik masyarakat itu akan bisa men-trigger yang kontraproduktif, misalnya terjadinya panic buying, ramai-ramai membeli kemudian menyetok barang karena takut kenaikan harga dan lain-lain," ujar Tito.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan akan memberikan subsidi transportasi untuk angkutan umum termasuk ojek online, serta nelayan sejalan dengan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Subsidi transportasi itu diambil dari dana transfer umum seperti dana alokasi umum (DAU) dan dana bagi hasil (DBH) sebesar 2 persen yang akan dibayarkan oleh pemerintah daerah.
"Kami di Kemenkeu juga menetapkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) di mana 2 persen dari dana transfer umum yaitu DAU dan DBH diberikan ke rakyat dalam bentuk subsidi transportasi untuk angkutan umum sampai dengan ojek dan nelayan, serta untuk perlindungan sosial tambahan," kata Sri Mulyani, Senin (29/8).
Sebelum memutuskan kenaikan harga BBM, Pemerintah telah menyiapkan bantuan sosial (bansos) tambahan berupa bantuan langsung tunai (BLT) kepada 20,65 juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM) dan 16 juta pekerja. BLT ekstra tersebut diberikan dari pengalihan subsidi BBM dalam rangka meningkatkan daya beli masyarakat di tengah kenaikan harga bahan pokok belakangan ini. *
Tercatat, harga bensin naik32,6 persen dan solar menanjak 27,3 persen pada Maret 2005. Kemudian, harga bensin kembali naik 87,5 persen dan solar 104 persen pada Oktober 2005.
Imbasnya, angka kemiskinan naik dari 15,97 persen pada 2005 ke 17,75 persen pada 2006. Jumlah orang miskin juga meningkat dari 35,1 juta jiwa menjadi 39,3 juta jiwa.
"Begitu ada kenaikan BBM inflasi 17 persen (2005), angka kemiskinan naik," ujar Margo dalam Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Daerah yang ditayangkan secara virtual, seperti dilansir CNNIndonesia.com, Selasa (30/8).
Peningkatan jumlah orang miskin juga tercermin saat pemerintah menaikkan harga BBM pada 2013 dan 2014. Tercatat, harga bensin melesat 44,4 persen dan solar naik 22,2 persen pada Juni 2013. Selang setahun, harga bensin kembali naik 30,8 persen dan solar menanjak 36,4 persen.
Meski persentase penduduk miskin turun pada periode 2013-2015, tetapi jumlah penduduk miskin bertambah.
Berdasarkan catatan BPS, angka kemiskinan pada Maret 2013 11,37 persen. Kemudian, angkanya turun menjadi 11,25 persen pada 2014 dan 11,22 persen pada 2015. Sementara itu, jumlah orang miskin pada Maret 2013 28,07 juta jiwa. Selang setahun, jumlahnya naik 28,28 juta jiwa lalu kembali meningkat pada Maret 2015 menjadi 28,59 juta jiwa.
"Jangan sampai lengah tidak bisa mengendalikan harga di masing-masing daerah bisa berdampak ke tingginya angka kemiskinan," ujar Margo.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengambil langkah cepat untuk menekan dampak rencana kenaikan BBM yang terjadi di daerah. Tito meminta kepala daerah untuk menempatkan penanganan inflasi sebagai agenda prioritas di daerah masing-masing.
Tito menegaskan, pengendalian inflasi harus menjadi isu yang dianggap penting selayaknya penanganan pandemi Covid-19 beberapa waktu lalu.
"Tempatkan isu ini menjadi isu prioritas, dari tadinya mungkin cuek-cuek saja dan autopilot tidak melakukan apa-apa, bergerak dengan sendirinya mengikuti mekanisme pasar yang ada, sekarang tidak," kata Tito dalam Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Daerah, dikutip dari kompas.com, Selasa (30/8).
Tito mengatakan, tidak hanya kepala daerah, seluruh pemangku kepentingan seperti TNI/Polri, Bank Indonesia, dan Badan Pusat Statistik mesti mengidentifikasi masalah inflasi di daerah dan mencari solusinya. Namun, dalam penanganan inflasi ini, ia mengingatkan agar pemerintah daerah berhati-hati dalam berkomunikasi supaya tidak membuat publik panik.
Ia mengatakan, pemerintah daerah harus membuat masyarakat tetap tenang dan meyakini bahwa situasi tetap terkendali.
"Karena sentimen panik masyarakat itu akan bisa men-trigger yang kontraproduktif, misalnya terjadinya panic buying, ramai-ramai membeli kemudian menyetok barang karena takut kenaikan harga dan lain-lain," ujar Tito.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan akan memberikan subsidi transportasi untuk angkutan umum termasuk ojek online, serta nelayan sejalan dengan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Subsidi transportasi itu diambil dari dana transfer umum seperti dana alokasi umum (DAU) dan dana bagi hasil (DBH) sebesar 2 persen yang akan dibayarkan oleh pemerintah daerah.
"Kami di Kemenkeu juga menetapkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) di mana 2 persen dari dana transfer umum yaitu DAU dan DBH diberikan ke rakyat dalam bentuk subsidi transportasi untuk angkutan umum sampai dengan ojek dan nelayan, serta untuk perlindungan sosial tambahan," kata Sri Mulyani, Senin (29/8).
Sebelum memutuskan kenaikan harga BBM, Pemerintah telah menyiapkan bantuan sosial (bansos) tambahan berupa bantuan langsung tunai (BLT) kepada 20,65 juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM) dan 16 juta pekerja. BLT ekstra tersebut diberikan dari pengalihan subsidi BBM dalam rangka meningkatkan daya beli masyarakat di tengah kenaikan harga bahan pokok belakangan ini. *
Komentar