MUTIARA WEDA : Istri Ideal Vs Politisi
Seorang ibu rumah tangga (istri) harus menjadi pekerja setia yang baik seperti pembantu; Penasihat yang baik seperti menteri istana raja; Seorang penjaga seperti seorang ibu; Romantis di kamar tidur seperti Rambha,; Seorang pengampun seperti dewi bumi; Istri yang memiliki keenam kualitas tersebut adalah istri yang ideal.
Karyeshu Dasi, Karaneshu Manthri;
Bhojeshu Mata, Shayaneshu Rambha,
Roopeshu lakshmi, Kshamayeshu Dharitri,
Shat dharmayukta, Kuladharma Pathni
(Nitisara)
Nitisara adalah kumpulan karya sastra yang berisikan ajaran moral oleh Baddena aka Bhadra Bhupala, seorang pengarang puisi Telugu, India pada abad ke-13. Salah satu puisinya menggambarkan 6 kualitas yang harus dimiliki oleh seorang istri. Keenam tersebut adalah, pertama, Karyeshu Dasi – ia bisa bekerja seperti pembantu. Maksudnya disini bukanlah menjadi pembantu, melainkan kualitas dari pembantu itu, yakni loyal. Jadi seorang istri diharapkan memiliki loyalitas yang tinggi. Kedua, Karaneshu Manthri – penasehat seperti menteri. Kualitas yang dimaksudkan disini adalah kecerdasan. Seorang istri harus cerdas seperti halnya Canakya menjadi penasehat pada masa kehidupan Kaisar Chandragupta di kerajaan Magadha. Ketiga, Bhojeshu Mata – penjaga seperti ibu. Kualitas yang dimaksudkan adalah cinta kasih tanpa batas.
Keempat, Shayaneshu Rambha – menyenangkan di tempat tidur seperti halnya seorang penari cantik di Indra loka bernama Rambha yang mampu menyenangkan para Dewa. Kualitas yang dimaksudkan disini adalah pemberani dan pemberi kenyamanan. Kelima, Roopeshu Lakshmi – cantik seperti Lakshmi. Lakshmi adalah Devi kemakmuran. Disamping itu, Lakshmi juga simbol dedikasi seperti halnya ketika Wishnu turun menjadi Avatara Rama, Lakshmi juga ikut turun mendampingi menjadi Sita. Kualitas disini adalah dedikasi. Keenam, Kshamayeshu Dharitri – seorang yang senantiasa memaafkan seperti ibu pertiwi. Jadi, kualitas keenam adalah pengampun.
Seperti itulah keenam kualitas yang harus dimiliki oleh seorang istri kepada suaminya. Jika diperhatikan kedalamannya, kualitas yang dipasangkan pada seorang istri tersebut memang betul-betul ideal. Bahkan karena saking idealnya, dalam perjalanan sejarah, istri bisa dengan mudah dipolitisir, dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu. Perlawanan di bawah bendera feminisme mungkin salah satu bentuk rasa ‘ngeh’ dari para istri yang dituntut memiliki kualitas seperti itu sejak sekian ratus tahun. Kualitas ideal tersebut, oleh sistem masyarakat patrilinial mampu mengubah status perempuan menjadi kelas dua. Atas nama loyalitas, dedikasi, kasih sayang dan kualitas lainnya, perempuan tidak diberikan kesempatan untuk membicarakan hak-hak individunya. Perempuan dininabobokkan untuk larut di dalam kualitasnya sendiri, sementara dirinya sendiri sebagai individu tidak diberikan kesempatan berkembang.
Bahkan dalam dunia politik, kualitas ideal ini juga diambil sebagai sebuah strategi politik yang efektif sejak jaman raja-raja dulu. Masyarakat dibuat secara sistematis agar memiliki kualitas seperti seorang istri. Raja, sebagai pemegang kendali pemerintahan dianggap sebagai seorang suami dan masyarakat yang ada di wilayah kerajaan diandaikan seperti istri. Masyarakat dituntut untuk loyal, berdedikasi, berkontribusi dan sejenisnya. Cara ini sangat efektif dan bisa bertahan bahkan sampai saat ini. Terbukti bagaimana masyarakat loyal dan kepada negaranya, pemimpinnya. Mengapa cara ini menjadi efektif? Oleh karena kualitas seperti loyalitas, pengabdian, kasih sayang, dedikasi dan yang lainnya memiliki kemuliaannya sendiri. Kualitas ini memiliki pancaran keagungan yang tidak dimiliki oleh jenis kualitas lain.
Apa yang terjadi kemudian? Kualitas ini pun bisa dijadikan alasan untuk memanipulasi. Seperti halnya kualitas ideal istri yang dibawa ke dalam sistem sosial yang memunculkan bias gender, kualitas ini pula bisa dijadikan alasan untuk menghegemoni masyarakat oleh para pemimpinnya. Namun, oleh karena dilakukan dengan cara-cara yang baik dan santun, masyarakat bisa saja tidak merasa dirinya dikuasai, bahkan merasa bangga dirinya dimanfaatkan, digunakan, dijadikan panjak. Kualitas loyal, penuh dedikasi, penuh bhakti dan yang lainnya yang mulia dan agung disematkan kepada mereka, sehingga masyarakat pun merasa nyaman untuk tetap bisa mengabdi, menjadi panjak sepanjang hidupnya.
Hal ini kemudian diturunkan dari generasi ke generasi sehingga kita saat ini mewarisi gen yang sedemikian tebal dengan kualitas tersebut. Kita merasa nyaman dimanfaatkan (dijadikan panjak) dan tidak mudah diajak melepaskannya. Kalau benar, pemberitaan di media sosial tentang hasil penelitian UI dimana masyarakat menginginkan pemimpin Bali ke depan mesti berasal dari Tri Wangsa, bisa menjadi evident untuk itu. Orang yang nyaman memanfaatkan (dulu biasanya dari kalangan Tri Wangsa) dan yang nyaman dimanfaatkan (yang biasa disebut kaum Sudra) sama-sama menghendaki agar warisan gen tersebut jangan sampai dihancurkan oleh gerakan egalitarianisme. Namun masalahnya, gerakan feminisme harus muncul melawan hegemoni patriarki itu, sehingga perlawanan politik yang dihembuskan atas dasar wangsa pun semakin kencang.
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
Bhojeshu Mata, Shayaneshu Rambha,
Roopeshu lakshmi, Kshamayeshu Dharitri,
Shat dharmayukta, Kuladharma Pathni
(Nitisara)
Nitisara adalah kumpulan karya sastra yang berisikan ajaran moral oleh Baddena aka Bhadra Bhupala, seorang pengarang puisi Telugu, India pada abad ke-13. Salah satu puisinya menggambarkan 6 kualitas yang harus dimiliki oleh seorang istri. Keenam tersebut adalah, pertama, Karyeshu Dasi – ia bisa bekerja seperti pembantu. Maksudnya disini bukanlah menjadi pembantu, melainkan kualitas dari pembantu itu, yakni loyal. Jadi seorang istri diharapkan memiliki loyalitas yang tinggi. Kedua, Karaneshu Manthri – penasehat seperti menteri. Kualitas yang dimaksudkan disini adalah kecerdasan. Seorang istri harus cerdas seperti halnya Canakya menjadi penasehat pada masa kehidupan Kaisar Chandragupta di kerajaan Magadha. Ketiga, Bhojeshu Mata – penjaga seperti ibu. Kualitas yang dimaksudkan adalah cinta kasih tanpa batas.
Keempat, Shayaneshu Rambha – menyenangkan di tempat tidur seperti halnya seorang penari cantik di Indra loka bernama Rambha yang mampu menyenangkan para Dewa. Kualitas yang dimaksudkan disini adalah pemberani dan pemberi kenyamanan. Kelima, Roopeshu Lakshmi – cantik seperti Lakshmi. Lakshmi adalah Devi kemakmuran. Disamping itu, Lakshmi juga simbol dedikasi seperti halnya ketika Wishnu turun menjadi Avatara Rama, Lakshmi juga ikut turun mendampingi menjadi Sita. Kualitas disini adalah dedikasi. Keenam, Kshamayeshu Dharitri – seorang yang senantiasa memaafkan seperti ibu pertiwi. Jadi, kualitas keenam adalah pengampun.
Seperti itulah keenam kualitas yang harus dimiliki oleh seorang istri kepada suaminya. Jika diperhatikan kedalamannya, kualitas yang dipasangkan pada seorang istri tersebut memang betul-betul ideal. Bahkan karena saking idealnya, dalam perjalanan sejarah, istri bisa dengan mudah dipolitisir, dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu. Perlawanan di bawah bendera feminisme mungkin salah satu bentuk rasa ‘ngeh’ dari para istri yang dituntut memiliki kualitas seperti itu sejak sekian ratus tahun. Kualitas ideal tersebut, oleh sistem masyarakat patrilinial mampu mengubah status perempuan menjadi kelas dua. Atas nama loyalitas, dedikasi, kasih sayang dan kualitas lainnya, perempuan tidak diberikan kesempatan untuk membicarakan hak-hak individunya. Perempuan dininabobokkan untuk larut di dalam kualitasnya sendiri, sementara dirinya sendiri sebagai individu tidak diberikan kesempatan berkembang.
Bahkan dalam dunia politik, kualitas ideal ini juga diambil sebagai sebuah strategi politik yang efektif sejak jaman raja-raja dulu. Masyarakat dibuat secara sistematis agar memiliki kualitas seperti seorang istri. Raja, sebagai pemegang kendali pemerintahan dianggap sebagai seorang suami dan masyarakat yang ada di wilayah kerajaan diandaikan seperti istri. Masyarakat dituntut untuk loyal, berdedikasi, berkontribusi dan sejenisnya. Cara ini sangat efektif dan bisa bertahan bahkan sampai saat ini. Terbukti bagaimana masyarakat loyal dan kepada negaranya, pemimpinnya. Mengapa cara ini menjadi efektif? Oleh karena kualitas seperti loyalitas, pengabdian, kasih sayang, dedikasi dan yang lainnya memiliki kemuliaannya sendiri. Kualitas ini memiliki pancaran keagungan yang tidak dimiliki oleh jenis kualitas lain.
Apa yang terjadi kemudian? Kualitas ini pun bisa dijadikan alasan untuk memanipulasi. Seperti halnya kualitas ideal istri yang dibawa ke dalam sistem sosial yang memunculkan bias gender, kualitas ini pula bisa dijadikan alasan untuk menghegemoni masyarakat oleh para pemimpinnya. Namun, oleh karena dilakukan dengan cara-cara yang baik dan santun, masyarakat bisa saja tidak merasa dirinya dikuasai, bahkan merasa bangga dirinya dimanfaatkan, digunakan, dijadikan panjak. Kualitas loyal, penuh dedikasi, penuh bhakti dan yang lainnya yang mulia dan agung disematkan kepada mereka, sehingga masyarakat pun merasa nyaman untuk tetap bisa mengabdi, menjadi panjak sepanjang hidupnya.
Hal ini kemudian diturunkan dari generasi ke generasi sehingga kita saat ini mewarisi gen yang sedemikian tebal dengan kualitas tersebut. Kita merasa nyaman dimanfaatkan (dijadikan panjak) dan tidak mudah diajak melepaskannya. Kalau benar, pemberitaan di media sosial tentang hasil penelitian UI dimana masyarakat menginginkan pemimpin Bali ke depan mesti berasal dari Tri Wangsa, bisa menjadi evident untuk itu. Orang yang nyaman memanfaatkan (dulu biasanya dari kalangan Tri Wangsa) dan yang nyaman dimanfaatkan (yang biasa disebut kaum Sudra) sama-sama menghendaki agar warisan gen tersebut jangan sampai dihancurkan oleh gerakan egalitarianisme. Namun masalahnya, gerakan feminisme harus muncul melawan hegemoni patriarki itu, sehingga perlawanan politik yang dihembuskan atas dasar wangsa pun semakin kencang.
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
1
Komentar