BBM Naik, Banyak Orang Akan Jadi Gerang
TERI selalu dikaitkan dengan yang kecil, tirus, kerempeng, remeh, ala kadar, gak ada artinya.
Cocok dengan ikan teri yang cilik-cilik, sebaiknya diulek dijadikan terasi agar bisa lebih punya arti. Kita pun mengenal istilah kelas teri, mereka yang tidak punya harga, diabaikan saja. Dia yang suka ngutil di swalayan, cuma menilep pensil atau nyamikan, berkali-kali di banyak toko, tetap saja dia disebut pengutil kelas teri.
Tentu beda dengan penjahat kelas kakap, suka main bunuh dan merampok bank. Tukang copet pun ada yang teri dan kakap. Penjambret teri mencopet dompet, yang kakap menjambret kalung atau gelang emas. Lawan teri memang kakap. Jika di sebuah kantor ada pegawai yang suka menaikkan harga kue, nasi bungkus, buat rapat, dia tergolong koruptor teri. Beda dengan bosnya si koruptor kakap, karena menilep uang proyek sampai dia bisa beli mobil dan tanah di sana-sini. Juga punya istri simpanan.
Teri oleh orang Bali disebut gerang, yang biasanya dikeringkan dan menjadi lauk. Ini makanan kelas bawah, santapan rakyat jelata. Tapi sangat enak. Biasanya dicampur sambal matah, atau cukup dicampur kelapa dan cabai. Banyak orang Bali berkomentar, “Saya makan lahap, banyak, kalau ada sambal gerang.” Yang berkomentar begini biasanya yang dulu sering makan gerang. Setelah jadi orang mapan, gerang, teri, menjadi lauk yang ditunggu-tunggu, sulit dicari. Kendati harganya murah, menjadi mahal karena butuh waktu memburunya ke pelosok desa. Tak heran jika banyak yang kini berusia 50 tahun ke atas suka membeli dagang nasi dengan lauk gerang. Pas Anda membaca tulisan ini, ingin menikmati lauk gerang, ke tempat mana Anda tuju?
Gerang itu banyak olahannya, misalnya pesan (pepes) tlengis dicampur teri. Tlengis itu hasil sampingan mengolah kelapa menjadi minyak. Sekarang tlengis yang lembut itu susah dicari, karena kita menggoreng dengan minyak kelapa sawit. Biasanya pesan tlengis diisi daun kelor, gerang, dan cabai dipotong-dipotong. Karena kini tlengis susah, banyak tlengis dicampur usam (bungkil kelapa). Jelas tidak asli, itu tlengis kw. Rasanya tentu hambar, tidak gurih, asal-asalan. Namanya tlengis, tapi rasanya usam.
Orang Bali mengenal istilah tlengis pasil (basi), artinya barang yang tidak ada gunanya sama sekali. Kalau ada yang berujar, orang itu tidak punya tlengis pasil, artinya dia miskin semiskin-miskinnya, miskin tak ketulungan, sampai susah diungkapkan.
Kendati gerang menjadi makanan yang ngangeni, membuat rindu masa kecil di kampung, menjadi incaran orang-orang mapan, hadir di meja makan orang berduit, tetap saja gerang itu membawa-bawa konotasi miskin, jelata, murah, remeh, kecil, gak ada harganya. Dalam perbincangan sehari-hari di kalangan orang Bali pun gerang itu berarti sengsara, sedih, jauh dari perhatian.
Jika ada yang menyebut seorang kenalannya kurus kering, disebut seperti gerang. “Kasihan, dia patah hati, ditinggal kawin pacarnya, sampai dia kurus kering seperti gerang,” ujar orang itu. Benar-benar seperti gerang, berag tegreg. Artinya kurus sekurus-kurusnya. Ujar orang itu lagi, “Kulitnya kering, kusam, tinggal tulang dibalut kulit, matanya melotot, persis gerang.”
Karena gerang itu ikan yang kecil, oleh orang Bali sering diolok-olok sebagai sesuatu yang sia-sia. Misalnya, ngelawar gerang, artinya mengerjakan sesuatu dengan biaya besar, tapi hasilnya sangat kecil, bahkan nyaris tanpa arti. Ngelawar, bikin lawar, itu pekerjaan besar, apalagi ngelawar kalau ada upacara adat atau piodalan di pura desa, pasti sangat sibuk, potong babi beratus kilo. Lha, kalau ngelawar gerang?
Ada juga peribahasa ngorok (menggorok) gerang. Artinya, pekerjaan yang sia-sia. Pokoknya pekerjaan kecil, sia-sia, tak sesuai dengan biaya, itu bisa digolongkan seperti nampah (menggorok) teri. Ini mirip dengan istilah ngelawar capung, pekerjaan yang lebih gede omongannya tinimbang yang dikerjakan. Kendati begitu, menu lauk gerang hadir dalam santapan suci. Misalnya, nasi yasa, makanan untuk mereka yang ngayah di pura, biasanya berisi lauk gerang, saur, kacang, dan irisan-irisan telur dadar. Dalam sesajen pun banyak ibu-ibu yang menyuguhkan tumpeng dengan lauk gerang, dan seiris telur asin. Bisa jadi, orang Bali sejak dulu yakin para dewa dan batara pun santapannya lauk gerang.
Beberapa komentar muncul, hari-hari mendatang bakalan banyak warga seperti gerang, kurus kering, karena harga BBM naik sejak Sabtu, (3/9) kemarin siang. Harga kebutuhan pokok pasti ikut naik. Bakalan banyak barang tak terbeli. Tidak cuma kantong dan dompet yang kempes, tubuh juga kerempeng. Bakalan mudah ditemui orang susah makan, kurang gizi, berag tegreg, kurus kering seperti gerang. Mungkin bakalan tumbuh banyak orang tlengis pasil pun tak punya. *
Aryantha Soethama
Komentar