Prasi Sepanjang 4 Meter Berkisah tentang Arsitek Taman Ayun
Pembuatannya Melibatkan Seniman China Manado
DENPASAR, NusaBali
Komunitas seni prasi yang bernama ‘Oprasi’ membuat prasi sepanjang 4 meter, dan diduga sampai saat ini inilah prasi terpanjang di Bali.
Prasi panjang ini dibawa saat pelaksanaan kegiatan Pelatihan Visualisasi Karya Fiksi Melalui Naskah Lontar yang dilakukan Penggak Men Mersi Kesiman bersama Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Pendidikan Ganesha, di Rumah Seniman Penggak Men Mersi, Kelurahan Kesiman, Denpasar Timur, Minggu (4/9).
Koordinator Oprasi Wayan Trisnayana, 26, saat diwawancarai di sela-sela kegiatan mengatakan, prasi merupakan seni membuat gambar di atas daun lontar dan biasa disebut dengan komik khas Bali. Dalam pembuatan prasi ini, ada prasi yang khusus dibuat sepanjang 4 meter.
Garapan itu dibuat oleh 17 pegiat prasi selama dua minggu. Menurutnya, pembuatan prasi ini bukan hanya dilakukan oleh seniman prasi dari Bali, tapi juga seniman China Manado dan pecinta prasi asal Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Menurut Trisnayana, prasi yang dibuatnya tersebut berkisah tentang Cen Fu Zen Ren yang dianggap sebagai arsitek Taman Ayun. Sementara untuk pembuatannya juga cukup sulit, karena harus membuat per lembar yang kemudian disusun sesuai bentuk yang dibuat. Untuk membuat satu lembar prasi memerlukan waktu hingga 2 jam.
Menurutnya, Kelompok Oprasi ini berdiri pada 2018 dan sudah melakukan beberapa pameran prasi. Tak hanya berpameran di Bali, namun juga sempat pameran di San Fransisco, Amerika Serikat. “Membuat prasi ini adalah sebuah meditasi seni. Saat menggoreskan pangrupak (pisau kecil untuk menulis di daun lontar) semua energi dan konsentrasi berpusat pada tangan,” kata Trisnayana.
Sementara terkait dengan pelatihan Visualisasi Karya Fiksi Melalui Naskah Lontar, ini menghadirkan puluhan pegiat lontar dan perupa yang berasal dari kawasan Kesiman dan juga alumni Fakultas Bahasa dan Seni Undiksha.
Ketua pelaksana pelatihan, I Wayan Gede Wisnu, mengatakan kegiatan ini merupakan salah satu implementasi pengabdian pada masyarakat.
Selama ini, kata dia, Bahasa Bali lazimnya dituturkan lewat satua atau ditulis. “Kami melihat akan lebih menarik lagi ditampilkan dalam visualisasi. Kita memiliki komik tradisional bernama prasi yang tidak kalah dengan komik pada umumnya. Beranjak dari sana kami gelar ini,” ujar Gede Wisnu.
Menurut Gede Wisnu, seni prasi berkembang di Buleleng dan Karangasem, namun di tempat lain belum begitu berkembang. Selama ini generasi yang tertarik pada seni prasi ini masih belum begitu banyak. “Kami berharap dengan kegiatan ini bisa melahirkan generasi muda yang bergelut dalam seni prasi. Peluang prasi ini masih terbuka lebar,” imbuhnya.
Kelian Penggak Men Mersi Kadek Wahyudita mengatakan masih banyak yang perlu dikembangkan dalam dunia seni prasi ini, termasuk alih wahana. Bagi Wahyudita, prasi ini adalah karya monumental Bali yang khas karena dibuat di atas daun lontar.
“Misal kita garap serius seni ini, tak hanya melahirkan nilai estetis saja, tapi juga bisa menjadi buah tangan khas Bali. Mungkin dalam seni lukis ada lukisan Kamasan, lukisan gaya Nagasepaha, dan lainnya. Namun ada lagi yang khas yakni prasi ini,” tandas Wahyudita.
Dia menilai, ke depan seni prasi ini harus bisa dibuatkan satu ekosistem yang berkelanjutan. Sehingga seni ini tak hanya berhenti sebagai sebuah karya seni, tapi bisa melahirkan komoditasaru semisal kaos bergambar prasi. “Seni prasi ini juga bisa melatih anak-anak untuk memegang pangrupak, sebagai jembatan bagi pemula untuk merangsang dan mengenal lebih jauh tentang lontar,” tegas Wahyudita. *mis
Komentar