Libatkan Seniman Kenamaan Bali, Diproduseri Happy Salma dan Nicholas Saputra
Epilog Calonarang akan Dipentaskan di Gedung Arsip Nasional Jakarta Pusat
Sejumlah seniman kenamaan yang telah malang melintang di dunia pecalonarangan dilibatkan, seperti Jro Mangku Srongga, Cedil, Dek Capung dengan penabuh dari Yogananda.
GIANYAR, NusaBali
Epilog Calonarang akan dipentaskan di Gedung Arsip Nasional Jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat bulan September ini oleh Yayasan Titimangsa. Puluhan seniman Bali pun akan diboyong ke Jakarta untuk lakukan pementasan pada Sabtu (10/9) dan Minggu (11/9) mendatang.
Calonarang dipentaskan seperti pementasan di Bali, namun durasinya dimaksimalkan hanya 2 (dua) jam. Sejumlah seniman kenamaan yang telah malang melintang di dunia pecalonarangan dilibatkan, seperti Jro Mangku Srongga, Cedil, Dek Capung dengan penabuh dari Yogananda.
Produser Happy Salma bersama Nicholas Saputra dan Produser pendamping Tjokorda Gede Bayu Putra Sukawati di sela-sela latihan di Njana Tilem Museum Desa Mas, Ubud, Gianyar, Kamis (1/9) lalu mengaku kesulitan menggelar pementasan Calonarang utuh dengan durasi waktu berjam-jam layaknya di Bali.
"Maka itu kami mengemasnya dengan epilog berfokus pada inti pementasannya," ujar menantu Tjokorda Raka Kertyasa alias Cok Ibah ini. Dijelaskannya, pementasan ini terinspirasi dari kondisi Bali di masa pandemi. Bali saat itu sepi sunyi dari kunjungan turis maupun aktivitas. Dirinya bersama Nicholas Saputra mendapat dukungan dari Kemendikbud RI akhirnya membuat garapan Taksu Ubud. "Dari sana sering menyaksikan pementasan calonarang. Berikutnya muncul ide agar memboyong calonarang tradisi ke Jakarta," ujarnya.
Hajatan kesenian ini memang bukan kali pertama. Sebab calonarang pernah dipentaskan di Paris Expo yang menyihir penonton kala itu. "Rombongan dipimpin oleh Almarhum Panglingsir Puri Ubud Tjokorda Gede Putra Sukawati. Dari sana akhirnya semangat epilog ini bisa digarap," jelas Happy Salma.
Sebagai Produser pendamping, Tjokorda Gede Bayu Putra Sukawati mengatakan Calonarang identik dengan kemagisannya. Di Jakarta pun, Tjokorda Bayu optimis nilai magis ini tetap menjadi magnetnya. "Karena segala bentuk pertunjukan mulai dari panggung dan segala propertinya sama dengan pertunjukan di Bali. Setidaknya dengan tampilan Barong, Rangda ditambah dengan keterlibatan Jro Mangku Serongga, tentunya nilai-nilai spirit Calonarang akan melekat," yakinnya.
Lanjutnya, eforia penonton ini tidak terlepas dari pagelaran ‘Taksu Bali’ yang digelar tahun 2021 lalu saat Ubud dalam kondisi sepi. Pertunjukan ini bahkan mampu menyedot 20.000 penonton secara online. "Saat itu juga kami perlihatkan katalog saat calonarang dipentaskan di Paris tahun 1931. Ini jadi pemantiknya. Dan calonarang sebagai pertunjukan fleksibel di Bali tentunya akan adaptif di tengah penonton Jakarta," ujarnya.
Respon penonton Jakarta pun sangat positif. Terbukti, tiketnya nyaris habis dan sepekan sebelum pagelaran sudah terjual 95 persen. Dari respon masyarakat Jakarta ini, Happy Selma melihat magnetis sebuah pertunjukan tidak selalu terpaku pada artis-artis ternama. "Kami sangat bersyukur respon masyarakat di Jakarta sangat antusias. Tiket kami hanya tersisa 40-an saja. Itupun yang kelas VVIP saja," ungkapnya.
Dalam garapan kali ini bertajuk Sudamala. Menitikberatkan pada pesan keseimbangan kehidupan. Sudamala sebagai suatu ruwatan. Suda artinya menghilangkan atau menetralkan dan mala artinya wabah atau penyakit, relevansi dalam masa kini artinya manusia harus berdampingan menyesuaikan diri dalam pandemi.
Menceritakan kisah Walu Nateng Dirah, seorang perempuan yang memiliki kekuatan dan ilmu yang luar biasa besar serta ditakuti banyak orang termasuk membuat resah raja yang berkuasa saat itu, Airlangga. Hal ini pula yang menyebabkan tak banyak pemuda yang berani mendekati putri semata wayangnya yang bernama Ratna Manggali. Walu Nateng Dirah sangat kecewa dan mengekspresikan kepedihannya dengan menebar berbagai wabah. Luka hatinya itu akhirnya sementara terobati, setelah Ratna Manggali menikah dengan Mpu Bahula.
Kehidupan pernikahan ini ternyata dicederai Mpu Bahula. Dia yang ternyata adalah utusan pendeta kepercayaan Raja Airlangga, mengambil pustaka sakti milik Walu Nateng Dirah yang akhirnya jatuh ke tangan Mpu Bharada. Walu Nateng Dirah kecewa dan murka, kemurkaanya lalu menimbulkan wabah yang menyengsarakan banyak orang. Setelah Mpu Bharada mengenali ilmu yang dimiliki Walu Nateng Dirah, ia lantas menantang Walu Nateng Dirah untuk beradu ilmu, agar dapat menuntaskan bencana dan wabah yang melanda. *nvi
Calonarang dipentaskan seperti pementasan di Bali, namun durasinya dimaksimalkan hanya 2 (dua) jam. Sejumlah seniman kenamaan yang telah malang melintang di dunia pecalonarangan dilibatkan, seperti Jro Mangku Srongga, Cedil, Dek Capung dengan penabuh dari Yogananda.
Produser Happy Salma bersama Nicholas Saputra dan Produser pendamping Tjokorda Gede Bayu Putra Sukawati di sela-sela latihan di Njana Tilem Museum Desa Mas, Ubud, Gianyar, Kamis (1/9) lalu mengaku kesulitan menggelar pementasan Calonarang utuh dengan durasi waktu berjam-jam layaknya di Bali.
"Maka itu kami mengemasnya dengan epilog berfokus pada inti pementasannya," ujar menantu Tjokorda Raka Kertyasa alias Cok Ibah ini. Dijelaskannya, pementasan ini terinspirasi dari kondisi Bali di masa pandemi. Bali saat itu sepi sunyi dari kunjungan turis maupun aktivitas. Dirinya bersama Nicholas Saputra mendapat dukungan dari Kemendikbud RI akhirnya membuat garapan Taksu Ubud. "Dari sana sering menyaksikan pementasan calonarang. Berikutnya muncul ide agar memboyong calonarang tradisi ke Jakarta," ujarnya.
Hajatan kesenian ini memang bukan kali pertama. Sebab calonarang pernah dipentaskan di Paris Expo yang menyihir penonton kala itu. "Rombongan dipimpin oleh Almarhum Panglingsir Puri Ubud Tjokorda Gede Putra Sukawati. Dari sana akhirnya semangat epilog ini bisa digarap," jelas Happy Salma.
Sebagai Produser pendamping, Tjokorda Gede Bayu Putra Sukawati mengatakan Calonarang identik dengan kemagisannya. Di Jakarta pun, Tjokorda Bayu optimis nilai magis ini tetap menjadi magnetnya. "Karena segala bentuk pertunjukan mulai dari panggung dan segala propertinya sama dengan pertunjukan di Bali. Setidaknya dengan tampilan Barong, Rangda ditambah dengan keterlibatan Jro Mangku Serongga, tentunya nilai-nilai spirit Calonarang akan melekat," yakinnya.
Lanjutnya, eforia penonton ini tidak terlepas dari pagelaran ‘Taksu Bali’ yang digelar tahun 2021 lalu saat Ubud dalam kondisi sepi. Pertunjukan ini bahkan mampu menyedot 20.000 penonton secara online. "Saat itu juga kami perlihatkan katalog saat calonarang dipentaskan di Paris tahun 1931. Ini jadi pemantiknya. Dan calonarang sebagai pertunjukan fleksibel di Bali tentunya akan adaptif di tengah penonton Jakarta," ujarnya.
Respon penonton Jakarta pun sangat positif. Terbukti, tiketnya nyaris habis dan sepekan sebelum pagelaran sudah terjual 95 persen. Dari respon masyarakat Jakarta ini, Happy Selma melihat magnetis sebuah pertunjukan tidak selalu terpaku pada artis-artis ternama. "Kami sangat bersyukur respon masyarakat di Jakarta sangat antusias. Tiket kami hanya tersisa 40-an saja. Itupun yang kelas VVIP saja," ungkapnya.
Dalam garapan kali ini bertajuk Sudamala. Menitikberatkan pada pesan keseimbangan kehidupan. Sudamala sebagai suatu ruwatan. Suda artinya menghilangkan atau menetralkan dan mala artinya wabah atau penyakit, relevansi dalam masa kini artinya manusia harus berdampingan menyesuaikan diri dalam pandemi.
Menceritakan kisah Walu Nateng Dirah, seorang perempuan yang memiliki kekuatan dan ilmu yang luar biasa besar serta ditakuti banyak orang termasuk membuat resah raja yang berkuasa saat itu, Airlangga. Hal ini pula yang menyebabkan tak banyak pemuda yang berani mendekati putri semata wayangnya yang bernama Ratna Manggali. Walu Nateng Dirah sangat kecewa dan mengekspresikan kepedihannya dengan menebar berbagai wabah. Luka hatinya itu akhirnya sementara terobati, setelah Ratna Manggali menikah dengan Mpu Bahula.
Kehidupan pernikahan ini ternyata dicederai Mpu Bahula. Dia yang ternyata adalah utusan pendeta kepercayaan Raja Airlangga, mengambil pustaka sakti milik Walu Nateng Dirah yang akhirnya jatuh ke tangan Mpu Bharada. Walu Nateng Dirah kecewa dan murka, kemurkaanya lalu menimbulkan wabah yang menyengsarakan banyak orang. Setelah Mpu Bharada mengenali ilmu yang dimiliki Walu Nateng Dirah, ia lantas menantang Walu Nateng Dirah untuk beradu ilmu, agar dapat menuntaskan bencana dan wabah yang melanda. *nvi
1
Komentar