I Ketut Budiarsa, Penyandang Disabilitas yang Sukses Produksi 'Kripika' Citarasa Bule
Bangkrut Saat Pandemi, Bangkit Berkat Usaha Camilan
Dalam keseharian, Ketut Budiarsa beraktifitas dari atas kursi roda, begitu pula istrinya Dayu Kenari asal Banjar Dinas Geria, Rendang, Karangasem yang divonis polio sejak usia 2 tahun.
GIANYAR, NusaBali
Puluhan peserta ‘Pemasyarakatan Konsultasi Bisnis Bagi Wirausaha’ terkagum-kagum mendengar cerita sukses dari penyandang disabilitas tulang rapuh, I Ketut Budiarsa,40, di Villa Kori Maharani, Desa Tulikup, Kecamatan/Kabupaten Gianyar dengan usaha camilan ‘Kripika’, Jumat (9/9). Kehadiran Ketut Budiarsa ini membakar semangat para pelaku UMKM yang baru merintis usaha. Budiarsa mengatakan, dirinya yang memiliki keterbatasan fisik saja bisa berbuat, apalagi orang normal.
Dipandu Diah Desvi Arina selaku pendamping UMKM Kemenkop UKM RI, pria asal Banjar Kedewatan, Kecamatan Ubud ini mengatakan produksi ‘Kripika’ yang dikelolanya tercetus dari kegelisahan. "Saya sudah menikah dengan sesama penyandang disabilitas, anak saya lahir normal dan sudah 2 tahun saat ini. Saat pandemi, saya berpikir bagaimana cara saya untuk menghidupi keluarga," ungkap suami dari Ida Ayu Ketut Kenari ini.
Sebelum pandemi, Budiarsa termasuk dapat cipratan kue pariwisata. Dia punya latar belakang seorang pelukis dan istrinya membuat kerajinan aksesoris manik-manik. "Tahun 2020, pandemi. Pariwisata bangkrut, semua tiarap. Dengan kondisi disabilitas, saya tidak ingin minta-minta. Maka saya ciptakan lapangan kerja sendiri," ungkapnya.
Keripik singkong tradisional dipilih. Karena membuatnya cukup mudah. Apalagi Ketut Budiarsa mewarisi resep bumbu rempah orangtuanya yang dulu keliling menjajakan keripik. "Awalnya dengan 7 kilogram singkong, saya kupas, iris, goreng dan kemas," jelasnya. Tapi sebagai pecinta lingkungan, kemasan plastik yang dipilih adalah paling besar. "Saya juga pecinta lingkungan, jadi agar kurangi sampah plastik saya buat kemasan besar," jelasnya.
Budiarsa yang menguasai dunia maya ini pun memanfaatkan relasinya di media sosial. Setelah keripik jadi, difoto lalu dibumbui sedikit narasi dan posting. Tanpa menunggu lama, konsumen tertarik. "Tanggal 30 Juni 2020, itu hari baik yang saya pilih. Selesai 7 bungkus, saya posting langsung laku. Bahkan membeludak orang pesan," ungkapnya.
Saat diterima oleh pasar, Budiarsa menghadapi tantangan pertamanya, yakni memenuhi order pertama sebanyak 150 bungkus keripik. "Saya jadi kewalahan, sudah dibantu istri, kakak adik. Total berdelapan orang. Jadi tiap hari semakin banyak orderan, saya bingung juga gimana ngambilnya," ujarnya. Dengan semangat pantang menyerah, produksi keripik tetap jalan secara manual. Singkong dipotong manual dan goreng manual. "50 kg singkong kita olah, semua ngeluh sakit. Tiga hari kerjakan ini semua capek," terangnya.
Lagi-lagi tak ingin menyerah, Ketut Budiarsa kepikiran untuk memakai mesin pemotong yang dibelinya seharga Rp 850.000. "Dengan mesin, sehari bisa dipangkas jadi sejam. Tapi ternyata masih banyak kendala," jelasnya. Bahan baku yang banyak, tidak sebanding dengan kekuatan kompor untuk menggoreng. Sebab saat itu dia hanya mengandalkan kompor gas biasa dengan dua sumbu. Apinya pun kecil sehingga proses penggorengan menjadi lama.
"Mulai jam 7 pagi goreng, sampai malam pun masih belum selesai," kenang pria kelahiran 25 Juli 1982 ini. Hal ini membuatnya kembali kepikiran untuk memodifikasi kompor dengan api besar sehingga bisa menggunakan penggorengan besar. "Saya ingin kompor modifikasi ini bisa saya pakai, jadi disesuaikan dengan kondisi saya. Agar bisa kerja dari atas kursi roda," jelasnya.
Ternyata setelah produksi oke, pemasaran mulai turun. Sebab konsumennya masih terbatas. Nah, Ketut Budiarsa pun kembali memutar otak, kemudian kepikiran untuk memanfaatkan jasa pengiriman agar bisa dikirim seluruh Bali, bahkan luar Bali. "Saya promosi di medsos, cari peluang di internet. Bikin YouTube sendiri. Akhirnya saya nyaman menjalani usaha ini," terangnya. Per hari ini, Ketut Budiarsa dan keluarga memproduksi sekitar 50 Kg Kripika aneka rasa. Per kemasan dijual mulai Rp 12.000 sampai Rp 18.000. Banyak konsumennya warga negara asing bahkan sampai menyambangi rumah produksinya di Kedewatan.
Untuk mengangkat brand produk, dia meninggalkan kemasan plastik. Dia beralih ke kemasan ramah lingkungan yang kekinian. Citarasa tiap produk pun dibuat modern, seperti misalnya kripik daun kelor disebut Moringa, sedangkan keripik ketela talas disebut Taro. Hal ini terbukti mampu menyentuh konsumen dari warga negara asing. Ketut Budiarsa kini berharap bisa mengepakkan sayap, agar ‘Kripika’ bisa diperjualbelikan di supermarket.
"Saya harap bisa dapat izin P-IRT dan dibantu promosi, agar bisa mejeng di supermarket atau jadi oleh-oleh khas Bali," harapnya. Untuk diketahui, Ketut Budiarsa mengalami perapuhan tulang atau osteogenesis imperfecta sejak usia 2 tahun. Merupakan anak bungsu 6 bersaudara dari pasangan I Ketut Enggong dan Ni Made Kormi. Dalam keseharian, Ketut Budiarsa beraktifitas dari atas kursi roda, begitu pula istrinya Dayu Kenari asal Banjar Dinas Geria, Desa/Kecamatan Rendang, Karangasem yang divonis terjangkit polio sejak usia 2 tahun.
Dari 6 bersaudara, anak pertama, kedua dan ketiga tumbuh normal. Sedangkan mulai anak keempat, kelima dan si bungsu Ketut Budiarsa mengalami penyakit aneh perapuhan tulang. “Hasil operasi saat usia 8 tahun itu bertahan selama 1,5 tahun. Selanjutnya tulang pada kedua tangan dan kaki kembali melengkung. Pen yang dipakai penyangga tulang tembus kulit. Tapi syukurnya, otot dan sarafnya masih normal, sehingga masih bisa saya kendalikan,” jelasnya.
Kisah pilu 3 bersaudara dengan osteogenesis ini pun membuat seorang jurnalis asal Jakarta mendatangi rumahnya sekitar tahun 1994. “Dilihat kondisi kami, jurnalis itu tertarik menyekolahkan kami. Sebab di desa waktu itu, tidak mengijinkan kami ikut belajar dengan alasan tidak akan bisa mengikuti pelajaran olahraga sehingga tidak bisa naik kelas. Kami coba dicarikan sekolah di Suta Dharma, sampai bisa lulus SD tahun 2000,” kenangnya.
Tak cukup jenjang SD, ketiganya melanjutkan sekolah di SMPN 1 Ubud lanjut di Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) Batubulan yang kini jadi SMKN 1 Sukawati. Dari SMSR inilah bakat melukis ketiganya mulai diasah, hingga berkesempatan mengikuti sejumlah pameran. Bahkan pada Oktober 2018 lalu, sekitar 15 karya Ketut Budiarsa dikirim ke Belanda dalam rangka pameran karya para penyandang osteogenesis seluruh dunia. Hanya saja, dirinya tidak ikut ke Belanda. Hanya karya berikut video presentasi Ketut Budiarsa yang dikirim ke Belanda. “Selesai pameran, ada dua karya yang laku terjual,” ungkapnya.
Lukisan tiga bersaudara ini bertemakan fantasi. Mereka pun bebas menuangkan imajinasi tentang rasa sebagai penyandang disabilitas lewat goresan kuas dan warna. Harga yang dibandrol untuk sebuah lukisan berukuran 100 x 150 meter, kisaran Rp 11 juta sampai Rp 15 juta. Sementara itu, Ketut Budiarsa di mata Anggota DPR RI Nyoman Parta merupakan sosok orang yang gigih.
"Saya sudah kenal dulu di yayasan, dia itu memang gigih. Kenapa? Saya anggap dia guru kehidupan. Saya tanya dia, Pak tut kan banyak anak difabel minder merasa tidak berguna. Kenapa Pak tut beda?," ujarnya. Terungkap bahwa ibunda Ketut Budiarsa memperlakukan anak-anak yang berkebutuhan khusus secara baik. Walau tulang rapuh, ketiga anaknya digendong kemana-mana. Termasuk saat berbelanja ke pasar. Sedikitpun tak ada rasa malu, sehingga hal tersebut menjadikan tiga anak disabilitas ini mentalnya kuat. Lebih luar biasa lagi, kini Ketut Budiarsa buktikan bisa bangkit saat pandemi dengan produk Kripika.
"Kemasannya bagus, promosinya bagus. Rasanya gurih, tidak berminyak kering banget. Saya sudah coba," ujarnya. Parta mengaku akan membantu Ketut Budiarsa memperluas pasar. "Dia sudah punya produk, kita bantu agar dikenal lebih luas. Karena belum punya P-IRT, kita mohonkan nanti agar dibantu oleh Bupati Gianyar melalui OPD terkait," ujarnya. Terkait harapan itu, Bupati Gianyar Made Agus Mahayastra menyanggupi. "Perizinan kita bantu, yang sulit kita bantu tanpa ada biaya. Kita data untuk kita bantu. Tentu sudah jadi tugas pemerintah memfasilitasi," ujarnya yang juga mengapresiasi produk Ketut Budiarsa ini. *nvi
Dipandu Diah Desvi Arina selaku pendamping UMKM Kemenkop UKM RI, pria asal Banjar Kedewatan, Kecamatan Ubud ini mengatakan produksi ‘Kripika’ yang dikelolanya tercetus dari kegelisahan. "Saya sudah menikah dengan sesama penyandang disabilitas, anak saya lahir normal dan sudah 2 tahun saat ini. Saat pandemi, saya berpikir bagaimana cara saya untuk menghidupi keluarga," ungkap suami dari Ida Ayu Ketut Kenari ini.
Sebelum pandemi, Budiarsa termasuk dapat cipratan kue pariwisata. Dia punya latar belakang seorang pelukis dan istrinya membuat kerajinan aksesoris manik-manik. "Tahun 2020, pandemi. Pariwisata bangkrut, semua tiarap. Dengan kondisi disabilitas, saya tidak ingin minta-minta. Maka saya ciptakan lapangan kerja sendiri," ungkapnya.
Keripik singkong tradisional dipilih. Karena membuatnya cukup mudah. Apalagi Ketut Budiarsa mewarisi resep bumbu rempah orangtuanya yang dulu keliling menjajakan keripik. "Awalnya dengan 7 kilogram singkong, saya kupas, iris, goreng dan kemas," jelasnya. Tapi sebagai pecinta lingkungan, kemasan plastik yang dipilih adalah paling besar. "Saya juga pecinta lingkungan, jadi agar kurangi sampah plastik saya buat kemasan besar," jelasnya.
Budiarsa yang menguasai dunia maya ini pun memanfaatkan relasinya di media sosial. Setelah keripik jadi, difoto lalu dibumbui sedikit narasi dan posting. Tanpa menunggu lama, konsumen tertarik. "Tanggal 30 Juni 2020, itu hari baik yang saya pilih. Selesai 7 bungkus, saya posting langsung laku. Bahkan membeludak orang pesan," ungkapnya.
Saat diterima oleh pasar, Budiarsa menghadapi tantangan pertamanya, yakni memenuhi order pertama sebanyak 150 bungkus keripik. "Saya jadi kewalahan, sudah dibantu istri, kakak adik. Total berdelapan orang. Jadi tiap hari semakin banyak orderan, saya bingung juga gimana ngambilnya," ujarnya. Dengan semangat pantang menyerah, produksi keripik tetap jalan secara manual. Singkong dipotong manual dan goreng manual. "50 kg singkong kita olah, semua ngeluh sakit. Tiga hari kerjakan ini semua capek," terangnya.
Lagi-lagi tak ingin menyerah, Ketut Budiarsa kepikiran untuk memakai mesin pemotong yang dibelinya seharga Rp 850.000. "Dengan mesin, sehari bisa dipangkas jadi sejam. Tapi ternyata masih banyak kendala," jelasnya. Bahan baku yang banyak, tidak sebanding dengan kekuatan kompor untuk menggoreng. Sebab saat itu dia hanya mengandalkan kompor gas biasa dengan dua sumbu. Apinya pun kecil sehingga proses penggorengan menjadi lama.
"Mulai jam 7 pagi goreng, sampai malam pun masih belum selesai," kenang pria kelahiran 25 Juli 1982 ini. Hal ini membuatnya kembali kepikiran untuk memodifikasi kompor dengan api besar sehingga bisa menggunakan penggorengan besar. "Saya ingin kompor modifikasi ini bisa saya pakai, jadi disesuaikan dengan kondisi saya. Agar bisa kerja dari atas kursi roda," jelasnya.
Ternyata setelah produksi oke, pemasaran mulai turun. Sebab konsumennya masih terbatas. Nah, Ketut Budiarsa pun kembali memutar otak, kemudian kepikiran untuk memanfaatkan jasa pengiriman agar bisa dikirim seluruh Bali, bahkan luar Bali. "Saya promosi di medsos, cari peluang di internet. Bikin YouTube sendiri. Akhirnya saya nyaman menjalani usaha ini," terangnya. Per hari ini, Ketut Budiarsa dan keluarga memproduksi sekitar 50 Kg Kripika aneka rasa. Per kemasan dijual mulai Rp 12.000 sampai Rp 18.000. Banyak konsumennya warga negara asing bahkan sampai menyambangi rumah produksinya di Kedewatan.
Untuk mengangkat brand produk, dia meninggalkan kemasan plastik. Dia beralih ke kemasan ramah lingkungan yang kekinian. Citarasa tiap produk pun dibuat modern, seperti misalnya kripik daun kelor disebut Moringa, sedangkan keripik ketela talas disebut Taro. Hal ini terbukti mampu menyentuh konsumen dari warga negara asing. Ketut Budiarsa kini berharap bisa mengepakkan sayap, agar ‘Kripika’ bisa diperjualbelikan di supermarket.
"Saya harap bisa dapat izin P-IRT dan dibantu promosi, agar bisa mejeng di supermarket atau jadi oleh-oleh khas Bali," harapnya. Untuk diketahui, Ketut Budiarsa mengalami perapuhan tulang atau osteogenesis imperfecta sejak usia 2 tahun. Merupakan anak bungsu 6 bersaudara dari pasangan I Ketut Enggong dan Ni Made Kormi. Dalam keseharian, Ketut Budiarsa beraktifitas dari atas kursi roda, begitu pula istrinya Dayu Kenari asal Banjar Dinas Geria, Desa/Kecamatan Rendang, Karangasem yang divonis terjangkit polio sejak usia 2 tahun.
Dari 6 bersaudara, anak pertama, kedua dan ketiga tumbuh normal. Sedangkan mulai anak keempat, kelima dan si bungsu Ketut Budiarsa mengalami penyakit aneh perapuhan tulang. “Hasil operasi saat usia 8 tahun itu bertahan selama 1,5 tahun. Selanjutnya tulang pada kedua tangan dan kaki kembali melengkung. Pen yang dipakai penyangga tulang tembus kulit. Tapi syukurnya, otot dan sarafnya masih normal, sehingga masih bisa saya kendalikan,” jelasnya.
Kisah pilu 3 bersaudara dengan osteogenesis ini pun membuat seorang jurnalis asal Jakarta mendatangi rumahnya sekitar tahun 1994. “Dilihat kondisi kami, jurnalis itu tertarik menyekolahkan kami. Sebab di desa waktu itu, tidak mengijinkan kami ikut belajar dengan alasan tidak akan bisa mengikuti pelajaran olahraga sehingga tidak bisa naik kelas. Kami coba dicarikan sekolah di Suta Dharma, sampai bisa lulus SD tahun 2000,” kenangnya.
Tak cukup jenjang SD, ketiganya melanjutkan sekolah di SMPN 1 Ubud lanjut di Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) Batubulan yang kini jadi SMKN 1 Sukawati. Dari SMSR inilah bakat melukis ketiganya mulai diasah, hingga berkesempatan mengikuti sejumlah pameran. Bahkan pada Oktober 2018 lalu, sekitar 15 karya Ketut Budiarsa dikirim ke Belanda dalam rangka pameran karya para penyandang osteogenesis seluruh dunia. Hanya saja, dirinya tidak ikut ke Belanda. Hanya karya berikut video presentasi Ketut Budiarsa yang dikirim ke Belanda. “Selesai pameran, ada dua karya yang laku terjual,” ungkapnya.
Lukisan tiga bersaudara ini bertemakan fantasi. Mereka pun bebas menuangkan imajinasi tentang rasa sebagai penyandang disabilitas lewat goresan kuas dan warna. Harga yang dibandrol untuk sebuah lukisan berukuran 100 x 150 meter, kisaran Rp 11 juta sampai Rp 15 juta. Sementara itu, Ketut Budiarsa di mata Anggota DPR RI Nyoman Parta merupakan sosok orang yang gigih.
"Saya sudah kenal dulu di yayasan, dia itu memang gigih. Kenapa? Saya anggap dia guru kehidupan. Saya tanya dia, Pak tut kan banyak anak difabel minder merasa tidak berguna. Kenapa Pak tut beda?," ujarnya. Terungkap bahwa ibunda Ketut Budiarsa memperlakukan anak-anak yang berkebutuhan khusus secara baik. Walau tulang rapuh, ketiga anaknya digendong kemana-mana. Termasuk saat berbelanja ke pasar. Sedikitpun tak ada rasa malu, sehingga hal tersebut menjadikan tiga anak disabilitas ini mentalnya kuat. Lebih luar biasa lagi, kini Ketut Budiarsa buktikan bisa bangkit saat pandemi dengan produk Kripika.
"Kemasannya bagus, promosinya bagus. Rasanya gurih, tidak berminyak kering banget. Saya sudah coba," ujarnya. Parta mengaku akan membantu Ketut Budiarsa memperluas pasar. "Dia sudah punya produk, kita bantu agar dikenal lebih luas. Karena belum punya P-IRT, kita mohonkan nanti agar dibantu oleh Bupati Gianyar melalui OPD terkait," ujarnya. Terkait harapan itu, Bupati Gianyar Made Agus Mahayastra menyanggupi. "Perizinan kita bantu, yang sulit kita bantu tanpa ada biaya. Kita data untuk kita bantu. Tentu sudah jadi tugas pemerintah memfasilitasi," ujarnya yang juga mengapresiasi produk Ketut Budiarsa ini. *nvi
1
Komentar