Pendangkalan Berpikir
Efisiensi serba instan telah memberi berbagai kemudahan, tetapi ia juga telah mengantarkan proses pendangkalan cara berpikir.
Virtualisasi informasi telah menjadi napas masyarakat modern dengan penegasan corak serba cepat, mudah, dan instan. Fenomena ini disebut-sebut sebagai fase menuju era globalisasi gelombang ketiga. Contoh paling sederhana, seorang anak usia dini tidak perlu bersusah payah merangkai kata atau menggambar. Anak ingusan itu dengan cepat melakukan dan memeroleh dari handphone. Reportase suatu peristiwa tutur cukup direkam dengan video berdurasi singkat dengan bumbu celoteh lalu disiarkan luas. Publik lebih tertarik pada gambar dibanding harus membaca memahami informasi, belanja dilakukan lebih praktis, cepat, dan murah untuk membeli suatu produk. Ojek online, belanja makanan melalui layanan aplikasi online, e-banking, e-learning, dan lainnya adalah pilihan nomor 1 masyarakat super modern. Kecepatan, kemudahan, dan instanisasi menggiring masyarakat menjadi pemalas dan mendangkalkan proses berpikir kreatif dan kritis. Insan-insan milenial akan bersumbu pendek dan teknologi dijadikan panglima kehidupan. Pendangkalan berpikir akan menggiring pada runtuhnya peradaban homo ludens, konsep yang memahami bahwa manusia merupakan seorang pemain yang memainkan permainan bukan yang dipermainkan.
Fisikawan dunia Stephen Hawking pernah mengatakan bahwa perkembangan teknologi harus dikontrol untuk menjaga masa depan umat manusia. Dia mengingatkan tentang ancaman kecerdasan hasil buatan manusia. Tidak hanya perkembangan teknologi semacam senjata nuklir, melainkan pula ancaman kemajuan teknologi informasi. Disadari atau tidak, contoh kasus kemudahan dalam mengakses informasi saat ini, sesungguhnya adalah gejala awal akan ancaman proses pendangkalan cara berpikir secara massal. Benar kiranya pernyataan Hawking yang menyebut bahwa di masa sekarang dan mendatang kemajuan teknologi dengan kecepatannya seperti tengah membawa agresi baru yang mengancam kemapanan peradaban manusia itu sendiri. Sehingga, kita perlu mengontrol insting yang telah diwariskan kepada kita, yakni logika dan akal.
Hindarkan pendangkalan berpikir pada anak dan remaja dengan membaca buku. Negarawan Romawi kuno yang dikenal sebagai filsuf, penulis, dan orator ulung, pernah menulis mengenai pentingnya membaca buku. A room without book is like a body without soul, kata sang filsuf, Cicero atau Marcus Tullus Cicero yang oleh orang Inggris dijuluki Tully. Membaca buku seharusnya menjadi kewajiban bagi setiap anak. Bahasa bijak penuh motivasi dari Walt Disney memberi isyarat kepada siapa saja bahwa dengan membaca buku kita akan kaya pengetahuan. Hanya pengetahuan lah yang akan menolong kita di dunia ini. Tanpa membaca, kita hanya hidup tanpa jiwa, sebab tidak punya sandaran.
Kedangkalan berpikir banyak merambah kalangan dewasa dan penguasa. Menurut Prof Wayan Windia, Guru Besar Emeritus pada Fakultas Pertanian Universitas Udayana dan Ketua Stispol Wira Bhakti, hal demikian dikarenakan mereka telah ‘kalah’ melawan globalisasi. Ternyata inti dari proses globalisasi adalah kompetisi, bukan kooperasi global. Kompetisi akhirnya melahirkan pragmatisme, pragmatisme melahirkan individualisme, konsumerisme, hedonisme, atau bentuk lainnya. Akibatnya, sistem politik yang maknanya agung, berubah menjadi politik praktis. Sebuah sistem politik yang hanya berorientasi pada kekuasaan, setelah kekuasaan dapat digenggam, banyak yang terjerembab dalam godaan korupsi. Mereka hanya memikirkan citra politik jangka pendek, dan berorientasi pada konstituen. Tujuannya hanya untuk melanggengkan tahta dan harta, hampir jarang yang bercermin pada pendiri bangsa, di masa dahulu yang dipikirkan adalah bangsanya. Para pendiri bangsa, yang dengan tulus ikhlas ‘memberi’ kepada bangsanya. Tetapi, politik saat ini telah berkembang menjadi liberal, bahkan beberapa pengamat mengatakan bahwa politik telah menjadi lebih liberal dari embahnya negara liberal. Demokrasi Pancasila telah kehilangan makna? *
Prof Dewa Komang Tantra MSc, PhD
Komentar