Punah Akibat Penari Menikah
Selain penari dan penabuh, ada seorang pangartos (penerjemah) kakidungan yang dilantunkan penari.
Tari Berko, ‘Joged’ Bertutur Khas Jembrana
Kesenian Berko merupakan salah satu tarian hiburan khas Jembrana. Kesenian ini ada di Tempek Munduk Jati, Lingkungan Pancardawa, Kelurahan Pendem, Kecamatan Jembrana. Kesenian ini muncul pada tahun 1925 silam, namun berulang kali vakum. Namun belakangan kembali dibangkitkan. Hal ini ditandai dengan pementasan Berko di Gedung Kesenian Bung Karno (GKBK) Jembrana, Sabtu (8/4).
Mengawali kebangkitan kembali, para sekaa kesenian dengan memadukan tatabuhan, tarian serta kakidungan (tembang tradisional Bali) dengan pragina (seniman) yang vakum tahun 2011. Seiring kebangkitannya, Berko yang dimasukan sebagai kesenian khas Kabuapten Jembrana ini, diusahakan meregenerasi para personelnya. Di mana dalam kebangkitan kali ini, dikoordinatori oleh Ketua Komisi C DPRD Jembrana, Ida Bagus Susrama, warga Lingkungan/Kelurahan Pendem.
Salah satu tokoh panglingsir kesenian Berko, I Nyoman Kayun,63, mengatakan, sesuai penuturan panglingsir terdahulunya di Tempek Munduk Ranti, kemunculan awal kesenian Berko pada tahun 1925. Awalnya, hanya iseng-isengan. Di mana para panglingsirnya, menciptakan kesenian Berko sebagai salah satu hiburan warga setempat. Di mana, pada awal kebangkitan hampir seabad lalu itu, kesenian Berko sering ditampilkan untuk mengisi waktu luang, terutama ketika beristirahat setelah bekerja di sawah. “Saya sendiri memang belum lahir waktu itu. Tetapi kalau menurut penuturan salah satu saudara kakek saya, yang dulu kebetulan memang ikut sebagai penabuh, memang secara alamiah diciptakan kesenian Berko ini,” kenangnya.
Ketika memasuki era pasca Kemerdekaan RI pada tahun 1945 silam, kata Kayun, kesenian Berko sempat kelam. Ketika memasuki tahun 1981, Kayun yang memang sempat mendengar tentang keberadaan kesenian Berko di wilayah itu, akhirnya berusaha membangkitkan kesenian Berko untuk pertamakalinya, dengan mencari refrensi dari para panglingsir. Di antaranya mengenai pakem irama tatabuhannya yang khas menggunakan laras Durma. Begitu juga dengan tariannya, dengan melibatkan dua penari perempuan. Penari ini selain berolah gerak, juga turut makekidung (membawakan tembang tradisional), termasuk sesi untuk ngibing (menari bersama penari). “Kalau disimpulkan, memang kesenian Berko ini adalah hiburan, makanya ada ibing-ibingan yang mirip joged bumbung. Selain penari dan penabuh, ada satu orang sebagai pangartos (penerjemah) untuk kakidungan yang dilantunkan penari. ‘’Berkon ini ini ada lalampahan (ceritanya) juga,” ujarnya.
Dalam masa kebangkitan pada tahun 1981 lalu, Kayun yang kebetulan memang menjadi Kelian Tempek Munduk Jati waktu itu, menyatakan, kesenian Berko dibawah naungan tempek ini, sempat kembali vakum. Masalahnya, kedua penari yang memang memerlukan keahlian khusus dalam mengiringi kesenian Berko ini, semuanya telah menikah. Kemudian memasuki tahun 1990-an, sewaktu jabatan Bupati Jembrana, Ida Bagus Indugosa, salah satu kesenian langka ini pun mengalami kebangkitkan untuk kedua kalinya, dengan gerbong personel yang sudah sempat teregenerasi. Sewaktu memasuki masa kebangkitan yang kedua kalinya itu, kesenian Berko sempat dibawa sebagai duta Jembrana dalam Pesta Kesenian Bali tahun 1997. Tetapi ketika memasuki massa jaya itu, lagi-lagi terkendala para penari yang kembali menikah.
Tetapi massa vakum itu, tidak berlangsung lama, dan kembali dibangkitkan untuk ketiga kalinya pada tahun 2002, dengan mencari dua penari baru. Kedua penari yang digunakan waktu memasuki zaman Bupati Jembrana I Gede Winasa, waktu itu, menurut Kayun, tidak lain merupakan kedua orang putrinya, yakni Ni Made Budiani, dan Ni Ketut Suartini. Hanya saja setelah sempat terakhir kembali mengikuti PKB pada tahun 2011 lalu, kesenian Berko yang sudah berulang kali berusaha dibangkitkan ini, lagi-lagi vakum. “Vakum yang terakhir ketika itu, masalahnya sama, karena kedua putri saya menikah. Dan baru terakhir-terakhir ini, saya dicari dari Bagian Kebudayaan Pemkab Jembrana, diminta untuk berusaha membangkitkan kembali kesenian Berko ini. Tetapi karena belum ada regenerasi kembali, ya kami kumpulkan sekaa yang dulu pernah bangkit pas tahun 90-an. Termasuk penarinya, kita masih gunakan yang lama" ujar Kayun yang kini masih aktif menjadi Wakil Kelian Subak Gelar ini.
Tetapi dalam memasuki kebangkitan kembali tahun ini, Kayun pun menyatakan meminta agar dilakukan regenerasi. Pasalnya, ketika tidak ditumbuhkan kembali dengan melibatkan kalangan anak-anak muda, dikhawatirkan kesenian langka ini, benar-benar akan punah. Dalam regenerasi itu, tentunya terdapat tantangan, mengingat ciri khas dari kesenian Berko ini, baik dari sisi irama gamelannya, maupun penari yang harus sekaligus bisa makekidung. "Tetapi kalau serius memang ingin melestarikan, pasti bisa. Yang jelas, kami sendiri siap memberikan bimbingan," pungkasnya. *ode
Kesenian Berko merupakan salah satu tarian hiburan khas Jembrana. Kesenian ini ada di Tempek Munduk Jati, Lingkungan Pancardawa, Kelurahan Pendem, Kecamatan Jembrana. Kesenian ini muncul pada tahun 1925 silam, namun berulang kali vakum. Namun belakangan kembali dibangkitkan. Hal ini ditandai dengan pementasan Berko di Gedung Kesenian Bung Karno (GKBK) Jembrana, Sabtu (8/4).
Mengawali kebangkitan kembali, para sekaa kesenian dengan memadukan tatabuhan, tarian serta kakidungan (tembang tradisional Bali) dengan pragina (seniman) yang vakum tahun 2011. Seiring kebangkitannya, Berko yang dimasukan sebagai kesenian khas Kabuapten Jembrana ini, diusahakan meregenerasi para personelnya. Di mana dalam kebangkitan kali ini, dikoordinatori oleh Ketua Komisi C DPRD Jembrana, Ida Bagus Susrama, warga Lingkungan/Kelurahan Pendem.
Salah satu tokoh panglingsir kesenian Berko, I Nyoman Kayun,63, mengatakan, sesuai penuturan panglingsir terdahulunya di Tempek Munduk Ranti, kemunculan awal kesenian Berko pada tahun 1925. Awalnya, hanya iseng-isengan. Di mana para panglingsirnya, menciptakan kesenian Berko sebagai salah satu hiburan warga setempat. Di mana, pada awal kebangkitan hampir seabad lalu itu, kesenian Berko sering ditampilkan untuk mengisi waktu luang, terutama ketika beristirahat setelah bekerja di sawah. “Saya sendiri memang belum lahir waktu itu. Tetapi kalau menurut penuturan salah satu saudara kakek saya, yang dulu kebetulan memang ikut sebagai penabuh, memang secara alamiah diciptakan kesenian Berko ini,” kenangnya.
Ketika memasuki era pasca Kemerdekaan RI pada tahun 1945 silam, kata Kayun, kesenian Berko sempat kelam. Ketika memasuki tahun 1981, Kayun yang memang sempat mendengar tentang keberadaan kesenian Berko di wilayah itu, akhirnya berusaha membangkitkan kesenian Berko untuk pertamakalinya, dengan mencari refrensi dari para panglingsir. Di antaranya mengenai pakem irama tatabuhannya yang khas menggunakan laras Durma. Begitu juga dengan tariannya, dengan melibatkan dua penari perempuan. Penari ini selain berolah gerak, juga turut makekidung (membawakan tembang tradisional), termasuk sesi untuk ngibing (menari bersama penari). “Kalau disimpulkan, memang kesenian Berko ini adalah hiburan, makanya ada ibing-ibingan yang mirip joged bumbung. Selain penari dan penabuh, ada satu orang sebagai pangartos (penerjemah) untuk kakidungan yang dilantunkan penari. ‘’Berkon ini ini ada lalampahan (ceritanya) juga,” ujarnya.
Dalam masa kebangkitan pada tahun 1981 lalu, Kayun yang kebetulan memang menjadi Kelian Tempek Munduk Jati waktu itu, menyatakan, kesenian Berko dibawah naungan tempek ini, sempat kembali vakum. Masalahnya, kedua penari yang memang memerlukan keahlian khusus dalam mengiringi kesenian Berko ini, semuanya telah menikah. Kemudian memasuki tahun 1990-an, sewaktu jabatan Bupati Jembrana, Ida Bagus Indugosa, salah satu kesenian langka ini pun mengalami kebangkitkan untuk kedua kalinya, dengan gerbong personel yang sudah sempat teregenerasi. Sewaktu memasuki masa kebangkitan yang kedua kalinya itu, kesenian Berko sempat dibawa sebagai duta Jembrana dalam Pesta Kesenian Bali tahun 1997. Tetapi ketika memasuki massa jaya itu, lagi-lagi terkendala para penari yang kembali menikah.
Tetapi massa vakum itu, tidak berlangsung lama, dan kembali dibangkitkan untuk ketiga kalinya pada tahun 2002, dengan mencari dua penari baru. Kedua penari yang digunakan waktu memasuki zaman Bupati Jembrana I Gede Winasa, waktu itu, menurut Kayun, tidak lain merupakan kedua orang putrinya, yakni Ni Made Budiani, dan Ni Ketut Suartini. Hanya saja setelah sempat terakhir kembali mengikuti PKB pada tahun 2011 lalu, kesenian Berko yang sudah berulang kali berusaha dibangkitkan ini, lagi-lagi vakum. “Vakum yang terakhir ketika itu, masalahnya sama, karena kedua putri saya menikah. Dan baru terakhir-terakhir ini, saya dicari dari Bagian Kebudayaan Pemkab Jembrana, diminta untuk berusaha membangkitkan kembali kesenian Berko ini. Tetapi karena belum ada regenerasi kembali, ya kami kumpulkan sekaa yang dulu pernah bangkit pas tahun 90-an. Termasuk penarinya, kita masih gunakan yang lama" ujar Kayun yang kini masih aktif menjadi Wakil Kelian Subak Gelar ini.
Tetapi dalam memasuki kebangkitan kembali tahun ini, Kayun pun menyatakan meminta agar dilakukan regenerasi. Pasalnya, ketika tidak ditumbuhkan kembali dengan melibatkan kalangan anak-anak muda, dikhawatirkan kesenian langka ini, benar-benar akan punah. Dalam regenerasi itu, tentunya terdapat tantangan, mengingat ciri khas dari kesenian Berko ini, baik dari sisi irama gamelannya, maupun penari yang harus sekaligus bisa makekidung. "Tetapi kalau serius memang ingin melestarikan, pasti bisa. Yang jelas, kami sendiri siap memberikan bimbingan," pungkasnya. *ode
1
Komentar