Jadi Taksu Tari Sakral, Upacara Tiap Usaba Kalima di Pura Puseh
Pura Pajenengan seperti tak tersentuh meski tertimbun lahar panas letusan Gunung Agung pada 1963. Untuk mencari hari baik piodalan, ngewacakang bakal dilakukan enam kali.
Piodalan Pura Pajenengan Geriana Kauh Masih Misteri
AMLAPURA, NusaBali
Hari baik piodalan di Pura Pajenengan di Desa Pakraman Geriana Kauh, Desa Duda Utara, Kecamatan Selat, Karangasem, hingga kini masih misteri. Turun temurun belum pernah diselenggarakan piodalan di pura tersebut. Padahal Pura Pajenengan sangat dikeramatkan sebagai taksunya Tari Sang Hyang Dedari dan Sang Hyang Jaran Gading. Saat bencana Gunung Agung meletus tahun 1963, kampung itu tertimbun lahar, hanya Pura Pajenengan yang masih utuh.
Upacara hanya diselenggarakan setiap Usaba Kalima di Pura Puseh Desa Pakraman Geriana Kauh. Upaya mencari hari baik belum tuntas, baru sekali ngewacakang (tenung niskala) ke orang pintar.
Wakil Bendesa Pakraman Geriana Kauh Jro Wayan Berata menuturkan, rencananya ngewacakang ke orang pintar dilakukan enam kali. Ngewacakang pertama dapat petunjuk niskala, hari baik piodalan pada Saniscara Kliwon Landep atau Tumpek Landep. Pihaknya masih menunggu lima kali hasil ngewacakang, untuk nantinya disimpulkan.
“Rencana masih menanyakan ke orang pintar lima kali lagi, agar dapat hari baik yang tepat untuk menggelar piodalan,” jelas Jro Berata saat ditemui di di Desa Pakraman Geriana Kauh, Rabu (19/4).
Padahal seluruh palinggih dan piasan di Pura Pajenengan telah lengkap. Rata-rata bangunannya zaman dulu, sebelum Gunung Agung meletus tahun 1963. Saat Gunung Agung meletus, di sekelilingnya areal Pura Pajenengan tertimbun lahar, tetapi kondisi bangunan termasuk tembok panyengker di sekelilingnya masih utuh. Hal itu menguatkan keyakinan bahwa Pura Pajenengan memiliki kekuatan gaib, hingga terhindar dari gempuran lahar panas.
Pamangku di Pura Puseh Geriana Kauh Jro Mangku Wayan Putu, mengungkapkan, memang belum ditemukan hari baik untuk menggelar piodalan di Pura Pajenengan. “Rencananya masih akan ngewacakang lima kali lagi,” ujarnya.
Selama ini Ida Bhatara di Pura Pajenengan hanya katuran ke Pura Puseh di saat Usaba Kalima. “Piodalan secara khusus di Pura Pajenengan belum ada,” tambahnya.
Tokoh Desa Pakraman Geriana Kauh I Nyoman Subrata, menuturkan, setiap Usaba Kalima di Pura Puseh, pelancah Ida Bhatara selalu ngayah berupa tarian keris, warga setempat menyebut tari daratan. Sedangkan Tari Sang Hyang Dedari dan Tari Sang Hyang Jaran Gading, memang rutin dipentaskan tiap tahun, di saat padi masih bunting, dengan harapan dikarunia anugerah hasil panen berlimpah.
Pura Pajenengan, menurut Jro Berata, diempon krama Desa Pakraman Geriana Kauh yang dihuni 168 kepala keluarga (KK) dari dua banjar adat, yakni Geriana Kauh dan Tukad Sabuh.
Uniknya setiap tahun krama Desa Pakraman Geriana Kauh mementaskan Tari Sang Hyang Dedari dan Sang Hyang Jaran Gading, yang taksunya berasal dari Pura Pajenengan. Sebelum menggelar dua tarian sakral tersebut, didahului matur piuning di Pura Pajenengan, kemudian saat nyineb juga di pura dimaksud. * k16
AMLAPURA, NusaBali
Hari baik piodalan di Pura Pajenengan di Desa Pakraman Geriana Kauh, Desa Duda Utara, Kecamatan Selat, Karangasem, hingga kini masih misteri. Turun temurun belum pernah diselenggarakan piodalan di pura tersebut. Padahal Pura Pajenengan sangat dikeramatkan sebagai taksunya Tari Sang Hyang Dedari dan Sang Hyang Jaran Gading. Saat bencana Gunung Agung meletus tahun 1963, kampung itu tertimbun lahar, hanya Pura Pajenengan yang masih utuh.
Upacara hanya diselenggarakan setiap Usaba Kalima di Pura Puseh Desa Pakraman Geriana Kauh. Upaya mencari hari baik belum tuntas, baru sekali ngewacakang (tenung niskala) ke orang pintar.
Wakil Bendesa Pakraman Geriana Kauh Jro Wayan Berata menuturkan, rencananya ngewacakang ke orang pintar dilakukan enam kali. Ngewacakang pertama dapat petunjuk niskala, hari baik piodalan pada Saniscara Kliwon Landep atau Tumpek Landep. Pihaknya masih menunggu lima kali hasil ngewacakang, untuk nantinya disimpulkan.
“Rencana masih menanyakan ke orang pintar lima kali lagi, agar dapat hari baik yang tepat untuk menggelar piodalan,” jelas Jro Berata saat ditemui di di Desa Pakraman Geriana Kauh, Rabu (19/4).
Padahal seluruh palinggih dan piasan di Pura Pajenengan telah lengkap. Rata-rata bangunannya zaman dulu, sebelum Gunung Agung meletus tahun 1963. Saat Gunung Agung meletus, di sekelilingnya areal Pura Pajenengan tertimbun lahar, tetapi kondisi bangunan termasuk tembok panyengker di sekelilingnya masih utuh. Hal itu menguatkan keyakinan bahwa Pura Pajenengan memiliki kekuatan gaib, hingga terhindar dari gempuran lahar panas.
Pamangku di Pura Puseh Geriana Kauh Jro Mangku Wayan Putu, mengungkapkan, memang belum ditemukan hari baik untuk menggelar piodalan di Pura Pajenengan. “Rencananya masih akan ngewacakang lima kali lagi,” ujarnya.
Selama ini Ida Bhatara di Pura Pajenengan hanya katuran ke Pura Puseh di saat Usaba Kalima. “Piodalan secara khusus di Pura Pajenengan belum ada,” tambahnya.
Tokoh Desa Pakraman Geriana Kauh I Nyoman Subrata, menuturkan, setiap Usaba Kalima di Pura Puseh, pelancah Ida Bhatara selalu ngayah berupa tarian keris, warga setempat menyebut tari daratan. Sedangkan Tari Sang Hyang Dedari dan Tari Sang Hyang Jaran Gading, memang rutin dipentaskan tiap tahun, di saat padi masih bunting, dengan harapan dikarunia anugerah hasil panen berlimpah.
Pura Pajenengan, menurut Jro Berata, diempon krama Desa Pakraman Geriana Kauh yang dihuni 168 kepala keluarga (KK) dari dua banjar adat, yakni Geriana Kauh dan Tukad Sabuh.
Uniknya setiap tahun krama Desa Pakraman Geriana Kauh mementaskan Tari Sang Hyang Dedari dan Sang Hyang Jaran Gading, yang taksunya berasal dari Pura Pajenengan. Sebelum menggelar dua tarian sakral tersebut, didahului matur piuning di Pura Pajenengan, kemudian saat nyineb juga di pura dimaksud. * k16
1
Komentar