Harga Cabai Paling 'Pedas' Berlangsung pada Juni 2022
DENPASAR, NusaBali
Cabai menjadi bahan kebutuhan pokok yang harganya paling fluktuatif dan ‘terpedas’ (tinggi) selama 8,5 bulan di 2022.
Untuk sementara rekor tertinggi harga cabai tercatat pada Juni yang tembus Rp 80.000 per kilogram. Bulan berikutnya yakni Juli menjadi Rp 56.000 per kg. Turun lagi pada Agustus menjadi Rp 39.800 per kg. Namun kembali menanjak jelang pertengahan September, yakni seharga Rp 46.500 per kg.
Kabid Produksi Tanaman Pangan dan Hortikultura Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali I Komang Suastika, mengatakan kurang stabilnya harga cabai sangat dipengaruhi tingkat kebutuhan pasar. “Cabai salah satu komoditas yang dinamis pergerakannya,” ujar Suastika, Jumat (16/9).
Contohnya di Buleleng, yang saat ini sedang panen. Produksi cabai di Buleleng, banyak lari untuk memenuhi pasokan di luar. Antara lain daerah penyangga seperti Denpasar. Bahkan sampai dikirim ke Jawa. Karena harganya lebih menarik dan lebih tinggi.
Suastika mengiyakan harga terpengaruh ketersediaan. Dan ketersediaan tergantung pada produksi yang berkaitan dengan kondisi di lapangan. Selain luas tanam, yang tak bisa diabaikan adalah faktor cuaca. “Saat ini musim kemarau basah, menjadi tantangan di tingkat petani,” ucap Suastika.
Dijelaskannya, kemarau basah yang ditandai dengan seringnya turun hujan sehingga tingkat kelembaban tinggi. Dampaknya tanaman cabai petani banyak gagal panen, karena tanaman terserang penyakit yang didominasi virus, antara lain virus kuning.
“Ini yang harus diantisipasi. Bagaimana kita mengupayakan agar tingkat produksi komoditas tanaman tetap stabil,” ujar Suastika. Selain perluasan luas tanam, salah satunya juga pengamanan kondisi dari serangan hama penyakit.
Disampaikan Suastika, kebutuhan cabai rawit di Bali setiap pekan mencapai 166 ton. Hal tersebut berdasarkan Neraca Kebutuhan Bahan Pangan Strategis. Perhitungan dilakukan setiap pekan, untuk memudahkan teknis perhitungan. “Kalau per hari terlalu cepat, sedangkan per bulan kelamaan,” jelas dia. Mengacu tahun 2021, produksi cabai rawit Bali tercatat 291.749 kuintal (29.174,9 ton). *k17
Kabid Produksi Tanaman Pangan dan Hortikultura Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali I Komang Suastika, mengatakan kurang stabilnya harga cabai sangat dipengaruhi tingkat kebutuhan pasar. “Cabai salah satu komoditas yang dinamis pergerakannya,” ujar Suastika, Jumat (16/9).
Contohnya di Buleleng, yang saat ini sedang panen. Produksi cabai di Buleleng, banyak lari untuk memenuhi pasokan di luar. Antara lain daerah penyangga seperti Denpasar. Bahkan sampai dikirim ke Jawa. Karena harganya lebih menarik dan lebih tinggi.
Suastika mengiyakan harga terpengaruh ketersediaan. Dan ketersediaan tergantung pada produksi yang berkaitan dengan kondisi di lapangan. Selain luas tanam, yang tak bisa diabaikan adalah faktor cuaca. “Saat ini musim kemarau basah, menjadi tantangan di tingkat petani,” ucap Suastika.
Dijelaskannya, kemarau basah yang ditandai dengan seringnya turun hujan sehingga tingkat kelembaban tinggi. Dampaknya tanaman cabai petani banyak gagal panen, karena tanaman terserang penyakit yang didominasi virus, antara lain virus kuning.
“Ini yang harus diantisipasi. Bagaimana kita mengupayakan agar tingkat produksi komoditas tanaman tetap stabil,” ujar Suastika. Selain perluasan luas tanam, salah satunya juga pengamanan kondisi dari serangan hama penyakit.
Disampaikan Suastika, kebutuhan cabai rawit di Bali setiap pekan mencapai 166 ton. Hal tersebut berdasarkan Neraca Kebutuhan Bahan Pangan Strategis. Perhitungan dilakukan setiap pekan, untuk memudahkan teknis perhitungan. “Kalau per hari terlalu cepat, sedangkan per bulan kelamaan,” jelas dia. Mengacu tahun 2021, produksi cabai rawit Bali tercatat 291.749 kuintal (29.174,9 ton). *k17
Komentar