Bendesa Tanjung Benoa Bantah Ada Reklamasi
Laporan Forum Peduli Mangrove (FPM) ke Polda Bali terkait dugaan pembabatan hutan mangrove dan reklamasi liar di kawasan Tahura Ngurah Rai, Kelurahan Tanjung Benoa, Kuta Selatan, Badung terus bergulir.
Dilaporkan FPM ke Polda Bali
DENPASAR, NusaBali
Kali ini Bendesa Adat Tanjung Benoa, I Made Wijaya membantah tudingan tersebut dan menyebut ada motif lain dalam laporan tersebut.
Dari hasil penyelidikan sementara yang dilakukan Unit I Subdit IV Dit Reskrimsus Polda Bali diduga ada pelanggaran pasal 12 jo psl 82 UU RI no 18 tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan pengerusakan hutan. Selain itu, diduga adanya aktivitas dalam kawasan Tahura tanpa ijin yang melanggar pasal 34 UU No 5 tahun 1990 tentang KSDAHE karena tidak memiliki ijin untuk melakukan pemanfaatan hutan Tahura Ngurah Rai.
Atas dugaan pelanggaran ini, Bendesa Tanjung Benoa, Made Wijaya yang juga anggota DPRD Badung hingga tiga kali menjalani pemeriksaan di Polda Bali. Menanggapi laporan FPM dan hasil penyelidikan sementara Polda Bali, I Made Wijaya menggelar jumpa pers di salah satu rumah makan di Denpasar pada, Senin (24/4). Dalam konferensi pers, Wijaya sebagai Bendesa Tanjung Benoa didampingi kuasa hukumnya Made ‘Ariel’ Suardana dkk.
Wijaya menjelaskan dua hal yang dituding FPM sebagai reklamasi terselubung. Pertama, penimbunan atau dumping limbah yang dilakukan hanya sebagai penataan serta menjaga kebersihan kawasan dari kumuh serta abrasi yang semakin parah. Penataan yang dilakukan dengan membuat tanggul menggunakan tumpukan kantong berisi pasir yang pasirnya diambil dari tempat itu. Tanggul berfungsi menahan pasir agar tidak tergerus ombak.
“Sekali lagi, Desa Adat tidak pernah menimbun tanah timbul (Muntig), melainkan memasang tanggul mencegah abrasi guna menghindari tenggelamnya tanah tersebut karena berada di areal suci Pura Gading Sari. Kami mencoba menciptakan wisata wahana baru termasuk konservasi penyu berbasis edukasi,” jelas Wijaya memperlihatkan bukti dari gambar google map tanah itu adalah timbul bukan diurug.
Kedua, Wijaya membantah adanya penebangan hutan mangrove. Fakta di lapangan tidak ada satupun pohon yang dibabat atau ditebang. Sebaliknya, Desa Adat melakukan pemeliharaan sekaligus merapikan pohon di akses jalan atau loloan yang selama puluhan tahun dipakai warga menuju Pura Gading Sari serta sebagai akses bagi nelayan. “Hanya dahan yang dipotong dan sama sekali tidak ada penebangan. Pohon mangrove di jalan tersebut masih lestari, berfungsi dengan baik, tidak ada satupun pohon yang mati seperti yang dituduhkan. Bisa dicek juga bahwa di lokasi tidak ada satupun alat berat untuk membuktikan bahwa tidak ada reklamasi terselubung,” tegas bendesa yang juga anggota Komisi II DPRD Badung ini.
Made Suardana menimpali, penataan serta menjaga kebersihan di kawasan seluas 2 are tersebut berdasarkan hasil paruman Desa Pakraman pada 8 September 2016 untuk melaksanakan program Panca Pesona di sekitar Pura Gading Sari dan Pulau Pudut-Pantai Barat Desa Pakraman Tanjung Benoa. Ia mengakui bahwa ada teguran dari Polisi Kehutanan dan meminta agar Desa Pakraman membongkar karung-karung berisi pasir yang dipakai tanggul. “Teguran ini hanya masalah perizinan sehingga sifatnya administratif bukan pidana,”ungkapnya. * rez
DENPASAR, NusaBali
Kali ini Bendesa Adat Tanjung Benoa, I Made Wijaya membantah tudingan tersebut dan menyebut ada motif lain dalam laporan tersebut.
Dari hasil penyelidikan sementara yang dilakukan Unit I Subdit IV Dit Reskrimsus Polda Bali diduga ada pelanggaran pasal 12 jo psl 82 UU RI no 18 tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan pengerusakan hutan. Selain itu, diduga adanya aktivitas dalam kawasan Tahura tanpa ijin yang melanggar pasal 34 UU No 5 tahun 1990 tentang KSDAHE karena tidak memiliki ijin untuk melakukan pemanfaatan hutan Tahura Ngurah Rai.
Atas dugaan pelanggaran ini, Bendesa Tanjung Benoa, Made Wijaya yang juga anggota DPRD Badung hingga tiga kali menjalani pemeriksaan di Polda Bali. Menanggapi laporan FPM dan hasil penyelidikan sementara Polda Bali, I Made Wijaya menggelar jumpa pers di salah satu rumah makan di Denpasar pada, Senin (24/4). Dalam konferensi pers, Wijaya sebagai Bendesa Tanjung Benoa didampingi kuasa hukumnya Made ‘Ariel’ Suardana dkk.
Wijaya menjelaskan dua hal yang dituding FPM sebagai reklamasi terselubung. Pertama, penimbunan atau dumping limbah yang dilakukan hanya sebagai penataan serta menjaga kebersihan kawasan dari kumuh serta abrasi yang semakin parah. Penataan yang dilakukan dengan membuat tanggul menggunakan tumpukan kantong berisi pasir yang pasirnya diambil dari tempat itu. Tanggul berfungsi menahan pasir agar tidak tergerus ombak.
“Sekali lagi, Desa Adat tidak pernah menimbun tanah timbul (Muntig), melainkan memasang tanggul mencegah abrasi guna menghindari tenggelamnya tanah tersebut karena berada di areal suci Pura Gading Sari. Kami mencoba menciptakan wisata wahana baru termasuk konservasi penyu berbasis edukasi,” jelas Wijaya memperlihatkan bukti dari gambar google map tanah itu adalah timbul bukan diurug.
Kedua, Wijaya membantah adanya penebangan hutan mangrove. Fakta di lapangan tidak ada satupun pohon yang dibabat atau ditebang. Sebaliknya, Desa Adat melakukan pemeliharaan sekaligus merapikan pohon di akses jalan atau loloan yang selama puluhan tahun dipakai warga menuju Pura Gading Sari serta sebagai akses bagi nelayan. “Hanya dahan yang dipotong dan sama sekali tidak ada penebangan. Pohon mangrove di jalan tersebut masih lestari, berfungsi dengan baik, tidak ada satupun pohon yang mati seperti yang dituduhkan. Bisa dicek juga bahwa di lokasi tidak ada satupun alat berat untuk membuktikan bahwa tidak ada reklamasi terselubung,” tegas bendesa yang juga anggota Komisi II DPRD Badung ini.
Made Suardana menimpali, penataan serta menjaga kebersihan di kawasan seluas 2 are tersebut berdasarkan hasil paruman Desa Pakraman pada 8 September 2016 untuk melaksanakan program Panca Pesona di sekitar Pura Gading Sari dan Pulau Pudut-Pantai Barat Desa Pakraman Tanjung Benoa. Ia mengakui bahwa ada teguran dari Polisi Kehutanan dan meminta agar Desa Pakraman membongkar karung-karung berisi pasir yang dipakai tanggul. “Teguran ini hanya masalah perizinan sehingga sifatnya administratif bukan pidana,”ungkapnya. * rez
1
Komentar