Berselancar di Revolusi Industri 1.0 - 5.0
Apa makna Revolusi Industri 5.0? Sebelum memahaminya, maka sejarah revolusi industri dirunut ke belakang. Menurut Jezard Adam (2018), penulis senior World Economic Forum, Revolusi Industri 1.0 diawali pada abad ke-18.
Pada dekade ini, sumber daya bersandar pada otot, air, atau angin. Contohnya, membuat es krim. Proses pembuatannya menggunakan otot, dari mengocok susu dengan garam sampai mengubahnya menjadi es. Lebih ke hulu sedikit, mesin-mesin pertanian digerakkan oleh sapi, penggilingan gabah tak terkecuali mengandalkan tenaga sapi. Dalam membuat produk yang banyak, maka dibutuhkan sumber daya manusia yang banyak dan kuat pula.
Pada sekitar akhir 1800-an, Revolusi Industri 2.0 dimulai, sumber daya otot, air, atau angin digantikan dengan mesin. Dampaknya, produktivitas meningkat pesat, ekonomi melonjak, masyarakat memproduksi tanpa butuh lahan yang luas, semua dikerjakan oleh mesin. Industri mobil bergerak cepat, proses pembuatan badan mobil, pemasangan mesin, interior, dan segala macamnya harus dilakukan di tempat yang sama. Metodenya masih konvensional, perakitan dikerjakan secara paralel, setiap pekerja menjadi generalis. Seorang pekerja harus mampu memasang mesin, merakit chasis, memasang spion, menyongkel kaca, sampai benar-benar menjadi satu mobil utuh yang bisa dikendarai.
Revolusi Industri 3.0 terjadi ketika zaman analog berubah menjadi digital, manusia tidak lagi memegang peranan penting. Industri mobil perlahan melambat karena tersisih oleh era informasi. Revolusi industri ketiga dipacu oleh komputer dan robot, teknologi komputer berkembang pesat. Penemuan semikonduktor, transistor, dan kemudian integrated chip (IC) membuat ukuran komputer semakin kecil, listrik yang dibutuhkan semakin sedikit, kemampuan berhitungnya semakin canggih. Akhirnya, komputer mulai menggantikan manusia sebagai operator dan pengendali lini produksi.
Revolusi Industri 4.0 ini menekankan pada digitalisasi, segala hal yang berkaitan dengan produksi bisa lebih efektif, pemanfaatan google drive dan temannya digunakan sebagai ‘mesin’ penyimpan data. Teknologi memanfaatkan big data, seperti yang dipakai oleh Gojek, Tokopedia, dan lainnya. Demikian pula Tesla, yang berhasil mengembangkan mobil tanpa awak, yang bisa mengantar penumpang secara otomatis, penemuan printer 3 dimensi yang membuat berbagai macam barang mengubah banyak hal di dunia industri.
Shinzo Abe, seorang politikus yang pernah menjadi Perdana Menteri Jepang, menyampaikan gagasan cemerlang bernama Society 5.0 di World Economic Forum. Dia menjelaskan bahwa jika terlalu mengedepankan teknologi tanpa memikirkan sisi manusia, maka dampaknya akan mengancam eksistensi manusia. Inti makna Revolusi Industri 5.0 adalah memanusiakan manusia dengan teknologi. Menurutnya, data akan menghubungkan semuanya, membantu kesenjangan antara yang kaya dan miskin, memperoleh bantuan atau layanan kesehatan prima, pelaksanaan operasi dari jarak jauh, dan pemerataan kesehatan untuk setiap orang. Revolusi Industri 4.0 membuat manusia menjadi lebih modern karena memiliki akses terhadap teknologi, tetapi Revolusi Industri 5.0 memanfatkan teknologi-teknologi sebagai bagian dari manusia.
Menyiapkan krama Bali dalam menyongsong Revolusi Industri 5.0. membutuhkan tiga kemampuan, yaitu, kemampuan kognitif, soft skill, dan teknologi. Kemampuan kognitif bukan nilai sekolah yang bagus atau tinggi. Tetapi, kemampuan dalam memecahkan masalah yang kompleks, berliterasi, dan berpikir kritis. Sementara soft skill merupakan kemampuan berkomunikasi, berempati, tumbuh kembang, memiliki cara pandang kreatif, bersikap kritis, dan berperilaku adaptif. Dengan sistem pendidikan sekarang, kesiapan dan kemampuan untuk menjawab tantangan Revolusi Industri 5.0 menjadi sulit.
Pergeseran cara pandang tentang anak pintar harus terjadi sekarang, pintar tidak sama dengan nilai bagus atau tinggi. Anak pintar adalah mereka yang memiliki kemampuan berpikir kritis, kreatif, dan mampu memecahkan masalah kompleks. Ini bukan berarti nilai di sekolah itu tidak penting. Pertanyaannya: apakah kemampuan berpikir kritis, kreatif, dan mampu memecahkan masalah yang kompleks bisa dilatih? Jawabannya: bisa. Ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk meningkatkan skill tersebut. Cara paling sederhana adalah dengan menumbuhkan rasa penasaran dan membuka kemungkinan bahwa kita bisa salah. Sikap demikian merupakan pondasi untuk memiliki kemampuan berpikir kritis dan kreatif. Cara lain adalah menerapkan model pembelajaran yang dapat menjawab tantangan Revolusi Industri 5.0. Semoga. *
Prof Dewa Komang Tantra MSc, PhD
1
Komentar