MUTIARA WEDA : Melihat Diri dan Kitab Suci
O Mahāmate! Gunakan waktumu melihat atma di dalam segala situasi dimana-mana, kenali dirimu sebagai atma yang bersifat non-dual dan nikmati ananda-mu sendiri.
Svameva sarvatah pasyanmanyamānah svamadvayam
Svānandamanubhunjānah kālam naya mahāmate
(Vivekachudamani, 525)
Apa yang kita hadapi di depan kita saat ini adalah realita, sementara apa yang semestinya terjadi adalah sebuah cita-cita. Seperti inilah cara berpikir yang kita warisi dari generasi ke generasi, sehingga kita telah terbiasa dengannya dan bahkan akan merasa bersalah jika tidak berpikir seperti demikian. Sejak awal kita diajarkan supaya memiliki cita-cita, semakin tinggi cita-cita itu semakin baik. Ketika mulai bersekolah, kita diajarkan untuk bersaing agar mendapatkan juara. Ketika kuliah, kita diajarkan menemukan masalah di antara ‘realita’ dan ‘ideal’, lalu menyelesaikan masalah itu menuju yang ideal. Saat kawin, kita mengikrarkan diri berdua untuk berusaha mengubah keadaan saat ini menuju kehidupan yang ideal ke depan. Demikian seterusnya.
Oleh karena itu, kita melihat segala sesuatunya di depan. Kesuksesan kita lihat di depan. Kekayaan ada di depan, juga kebahagiaan ada jauh di depan. Hal ini berbanding terbalik dengan apa yang dinyatakan oleh kitab suci. Seperti teks Vivekacudamani di atas, kita diajak untuk melihat realita saat ini. Melihat atma artinya melihat tidak ke depan tidak pula ke belakang. Melihat atma sama artinya dengan melihat diri sendiri. Teks di atas menyarankan agar senantiasa melihat diri dalam situasi apapun dan dimanapun, sehingga tidak ada ruang untuk melihat ke depan dan ke belakang. Hanya ketika kita bisa seperti ini, kita akan menikmati ananda atau kebahagiaan sejati selamanya. Bukan kemampuan melihat atma atau diri itu sendiri yang menjadikan kita bahagia, melainkan dengan melihat diri, kebahagiaan itu secara otomatis kita rasakan.
Melihat hal ini, apa yang kemudian kita kerjakan? Akhirnya kita terjebak di dalam keduanya. Pertama, kita telah tidak berdaya dengan warisan genetis masa lalu untuk selalu melihat sesuatunya di depan. Demikian juga kita harus melakukan yang kedua karena teks di atas merupakan kitab agama yang kita percayai. Agar terkesan rasional, kita mengatakan bahwa ‘cara berpikir dengan menggantungkan cita-cita di masa depan’ sebagai realita, sementara ‘bagaimana kita mampu melihat diri secara terus-menerus’ sebagai sebuah ideal kehidupan yang harus terus-menerus diperjuangkan.
Apa yang diinginkan oleh teks di atas bagi kita sebenarnya adalah agar jangan mendikotomi masa kini dan masa depan, sebab masalah senantiasa ada di antaranya. Jika kita terjebak di dalam masalah itu, kebahagiaan yang sejatinya ada di dalam diri kita lupakan. Jika kita fokus pada saat ini dengan melihat sang diri terus-menerus, masalah tidak akan pernah hadir, sebab ruang untuk masalah itu tidak pernah ada. Jika masalah tidak pernah ada artinya hanya kebahagiaan yang ada. Seperti itulah teks di atas mengajarkan kepada kita, tetapi oleh karena kepintaran kita, justru isi teks di atas menjadi masalah baru buat kita. Apa maksudnya masalah baru itu? Kita meletakkan ajaran tersebut sebagai sebuah ideal yang mesti dipercayai dan diperjuangkan.
Inilah sebenarnya diskursus yang menarik, mengapa di dalam perjalanan waktu ajaran kitab suci menjadi lebih suci ketimbang manusia. Mari kita langsung terapkan teks di atas dengan apa yang dimaksudkan oleh pernyataan ini. Manusia terbiasa menggadaikan kebahagiaannya di masa depan sehingga selama hidupnya manusia selalu merindukan kebahagiaan. Tetapi akhirnya miss, sebab kematian telah datang duluan, sementara cita-citanya untuk bahagia masih jauh di depan. Untuk itu kitab suci seperti teks di atas mengajarkan kepada manusia agar jangan meletakkan kebahagiaan itu di depan, tetapi temukan saat ini dengan cara melihat diri secara terus-menerus. Dengan melihat diri tersebut, manusia akan mampu merasakan kebahagiaannya yang sejati, sehingga kemuliaan dan keagungannya sebagai manusia juga ada bersamanya. Tetapi, kita dengan segera menyatakan ajaran itu sebagai sebuah idealisme kehidupan dan layak diperjuangkan. Oleh karena diperjuangkan, tentu ia ada di masa depan. Jadi ajaran yang bermaksud untuk memotong tabiat m
anusia untuk menggantungkan dirinya di masa depan justru dijadikan sebagai sesuatu yang ada di masa depan. Kitab suci tersebut akhirnya menjadi harapan. Oleh karena harapan di masa depan, ia menjadi suci. Oleh karena suci, ia kemudian menjadi objek kepercayaan. Itulah yang telah, sedang atau mungkin akan kita lakukan.
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
Dosen Fak. Brahma Widya, IHDN Denpasar
(Vivekachudamani, 525)
Apa yang kita hadapi di depan kita saat ini adalah realita, sementara apa yang semestinya terjadi adalah sebuah cita-cita. Seperti inilah cara berpikir yang kita warisi dari generasi ke generasi, sehingga kita telah terbiasa dengannya dan bahkan akan merasa bersalah jika tidak berpikir seperti demikian. Sejak awal kita diajarkan supaya memiliki cita-cita, semakin tinggi cita-cita itu semakin baik. Ketika mulai bersekolah, kita diajarkan untuk bersaing agar mendapatkan juara. Ketika kuliah, kita diajarkan menemukan masalah di antara ‘realita’ dan ‘ideal’, lalu menyelesaikan masalah itu menuju yang ideal. Saat kawin, kita mengikrarkan diri berdua untuk berusaha mengubah keadaan saat ini menuju kehidupan yang ideal ke depan. Demikian seterusnya.
Oleh karena itu, kita melihat segala sesuatunya di depan. Kesuksesan kita lihat di depan. Kekayaan ada di depan, juga kebahagiaan ada jauh di depan. Hal ini berbanding terbalik dengan apa yang dinyatakan oleh kitab suci. Seperti teks Vivekacudamani di atas, kita diajak untuk melihat realita saat ini. Melihat atma artinya melihat tidak ke depan tidak pula ke belakang. Melihat atma sama artinya dengan melihat diri sendiri. Teks di atas menyarankan agar senantiasa melihat diri dalam situasi apapun dan dimanapun, sehingga tidak ada ruang untuk melihat ke depan dan ke belakang. Hanya ketika kita bisa seperti ini, kita akan menikmati ananda atau kebahagiaan sejati selamanya. Bukan kemampuan melihat atma atau diri itu sendiri yang menjadikan kita bahagia, melainkan dengan melihat diri, kebahagiaan itu secara otomatis kita rasakan.
Melihat hal ini, apa yang kemudian kita kerjakan? Akhirnya kita terjebak di dalam keduanya. Pertama, kita telah tidak berdaya dengan warisan genetis masa lalu untuk selalu melihat sesuatunya di depan. Demikian juga kita harus melakukan yang kedua karena teks di atas merupakan kitab agama yang kita percayai. Agar terkesan rasional, kita mengatakan bahwa ‘cara berpikir dengan menggantungkan cita-cita di masa depan’ sebagai realita, sementara ‘bagaimana kita mampu melihat diri secara terus-menerus’ sebagai sebuah ideal kehidupan yang harus terus-menerus diperjuangkan.
Apa yang diinginkan oleh teks di atas bagi kita sebenarnya adalah agar jangan mendikotomi masa kini dan masa depan, sebab masalah senantiasa ada di antaranya. Jika kita terjebak di dalam masalah itu, kebahagiaan yang sejatinya ada di dalam diri kita lupakan. Jika kita fokus pada saat ini dengan melihat sang diri terus-menerus, masalah tidak akan pernah hadir, sebab ruang untuk masalah itu tidak pernah ada. Jika masalah tidak pernah ada artinya hanya kebahagiaan yang ada. Seperti itulah teks di atas mengajarkan kepada kita, tetapi oleh karena kepintaran kita, justru isi teks di atas menjadi masalah baru buat kita. Apa maksudnya masalah baru itu? Kita meletakkan ajaran tersebut sebagai sebuah ideal yang mesti dipercayai dan diperjuangkan.
Inilah sebenarnya diskursus yang menarik, mengapa di dalam perjalanan waktu ajaran kitab suci menjadi lebih suci ketimbang manusia. Mari kita langsung terapkan teks di atas dengan apa yang dimaksudkan oleh pernyataan ini. Manusia terbiasa menggadaikan kebahagiaannya di masa depan sehingga selama hidupnya manusia selalu merindukan kebahagiaan. Tetapi akhirnya miss, sebab kematian telah datang duluan, sementara cita-citanya untuk bahagia masih jauh di depan. Untuk itu kitab suci seperti teks di atas mengajarkan kepada manusia agar jangan meletakkan kebahagiaan itu di depan, tetapi temukan saat ini dengan cara melihat diri secara terus-menerus. Dengan melihat diri tersebut, manusia akan mampu merasakan kebahagiaannya yang sejati, sehingga kemuliaan dan keagungannya sebagai manusia juga ada bersamanya. Tetapi, kita dengan segera menyatakan ajaran itu sebagai sebuah idealisme kehidupan dan layak diperjuangkan. Oleh karena diperjuangkan, tentu ia ada di masa depan. Jadi ajaran yang bermaksud untuk memotong tabiat m
anusia untuk menggantungkan dirinya di masa depan justru dijadikan sebagai sesuatu yang ada di masa depan. Kitab suci tersebut akhirnya menjadi harapan. Oleh karena harapan di masa depan, ia menjadi suci. Oleh karena suci, ia kemudian menjadi objek kepercayaan. Itulah yang telah, sedang atau mungkin akan kita lakukan.
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
Dosen Fak. Brahma Widya, IHDN Denpasar
Komentar