Belajar dari ASF dan PMK, GUPBI Badung Minta Lebih Diperhatikan Pemda
MANGUPURA, NusaBali.com – Peristiwa African Swine Fever (ASF) serta Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) membuat para peternak babi mengalami trauma psikis sejak akhir tahun 2019. Sayangnya, selama ini pemerintah daerah baik tingkat I dan II dinilai masih kurang memerhatikan peternak babi di Bali.
Keluh kesah ini diutarakan oleh Koordinator Gabungan Usaha Peternakan Babi Indonesia (GUPBI) Badung, Kadek Jaya, ketika ditemui NusaBali.com pasca vaksinasi PMK perdana untuk populasi babi di Banjar Jabejero, Desa Jagapati, Kecamatan Abiansemal, belum lama ini.
Kasus ASF sebelumnya menyebabkan ranah peternakan babi mencekam lantaran babi yang terjangkit virus ini dipastikan mengalami kematian. Munculnya PMK membuat para peternak babi menjadi lebih gelisah karena babi menjadi salah satu hewan yang rentan.
“Tidak seperti sapi yang mendapat jaminan dari pemerintah kalau ada kasus seperti ini, babi tidak,” ungkap Kadek Jaya
Menurut Kadek Jaya, jika pemerintah pusat kurang menaruh perhatian pada peternakan babi, ia menilai hal tersebut cukup wajar. Namun, akan terlihat konyol apabila pemerintah daerah bersikap serupa karena berternak babi merupakan bagian dari budaya. Keberadaan babi sendiri sangat krusial dalam berbagai kegiatan adat di Pulau Dewata.
“Kalau memang berbicara soal program pertanian, jarang sekali petani itu tidak berternak,” cetus pria asal Desa Jagapati ini.
Kadek Jaya berharap pemerintah daerah tidak hanya membahas pertanian dalam arti sempit, sebab peternakan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pertanian itu sendiri sebagai sumber pangan.
Selama ini, kebijakan pemerintah daerah di ranah peternakan dinilai masih didominasi permasalahan sapi sedangkan untuk babi sendiri dianggap sangat minim.
Koordinator GUPBI Badung ini membeberkan bahwa sekalipun babi dari Bali mendominasi pasaran di Jakarta, kenyataannya babi yang dikirim ke luar Pulau Bali itu kebanyakan berasal dari para pemain besar. Pasar nasional, kata Kadek Jaya, hanya menerima babi berkualitas dengan genetik yang bagus.
“Sedangkan para peternak bawah, skill mereka belum sampai ke sana, ditambah lagi kesegaran genetik babi di Bali sudah menurun. Ya, pada akhirnya peternak bawah ini hanya dipermainkan oleh pasar dari segi harga,” terang Kadek Jaya.
Oleh karena itu, Kadek Jaya berharap ada kontribusi dari pemerintah daerah untuk melakukan pendampingan lebih intensif kepada para peternak babi. Yang lebih mendesak lagi, menurutnya adalah peremajaan genetik babi bagi peternakan rakyat. Peremajaan genetik dinilai akan meningkatkan kualitas produksi peternakan rakyat sehingga mampu bersaing di pasaran.
Peremajaan genetik ini dapat dilakukan melalui rekayasa genetika molekuler kepada DNA makhluk hidup, dalam hal ini hewan babi. Rekayasa ini dilakukan untuk mendapat kualitas daging yang lebih baik, daging yang lebih gemuk dan empuk, dan parameter keunggulan lainnya.
Menurut Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, Profesor Dr drh I Nyoman Suartha MSi, jika peremajaan genetik yang dimaksud bertujuan untuk meningkatkan produksi maka memang diperlukan demi mendukung kualitas hasil peternakan.
“Kalau untuk tujuan produksi memang diperlukan peremajaan genetik. Misalnya untuk menghasilkan babi dengan persentase daging lebih banyak daripada lemak, kemudian untuk mempercepat penggemukan babi, menghasilkan babi yang cocok dengan iklim tertentu, dan tahan terhadap penyakit,” jelas Prof Suartha.
Namun akademisi asal Desa Gulingan, Kecamatan Mengwi ini menjelaskan bahwa peremajaan genetik akan menghilangkan kemurnian plasma nutfah babi Bali karena telah melalui rekayasa genetik.
Di luar itu, Kadek Jaya selaku Koordinator GUPBI Badung berharap agar pemerintah daerah dapat turun ke lapangan untuk melihat fakta dan membangun koordinasi dengan tingkat akar rumput. Sehingga, program yang dihasilkan ke depan dapat lebih tepat sasaran dan tepat guna. *rat
Komentar