Komunikasi Program Kompor Listrik Tak Jelas
Pakar khawatir nambah beban PLN karena menanggung kelebihan pasokan listrik
JAKARTA, NusaBali
Pakar transisi energi Fabby Tumiwa tak kaget PT PLN (Persero) membatalkan program konversi LPG 3 kg ke kompor listrik. Pasalnya, sejak awal komunikasi terkait program tersebut tidak jelas.
"Sejak awal, komunikasi mengenai program ini tidak jelas. Koordinasi dan kendali informasi tidak ada," ujar pria yang menjabat sebagai Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) ini seperti dilansir CNNIndonesia.com, Rabu (28/9).
Fabby mengatakan ketidakjelasan tersebut membuat masyarakat mendapatkan berbagai informasi yang seakan-akan bertentangan.
Imbas hal tersebut, penolakan muncul karena rumah tangga miskin yang jadi sasaran khawatir biaya energinya naik gara-gara konversi ini. Penolakan ini pun ikut diramaikan oleh warganet di media sosial.
"Ini terjadi karena tidak ada komunikasi yang utuh dan terkoordinasi," sambung Fabby. Kendati demikian, ia menilai yang dilakukan oleh PLN terkait konversi LPG 3 kg ke kompor listrik ini bukan pembatalan, tapi penundaan.
"Saya menginterpretasikan ini bukan sebagai pembatalan tapi penundaan. Kalau diperhatikan konversi ini adalah program pemerintah, bukan PLN, walaupun implementasinya dilakukan oleh PLN," papar Fabby.
Pendapat yang tak jauh berbeda juga disampaikan oleh Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan. Ia mengatakan PLN terpaksa membatalkan rencana konversi LPG 3 kg ke kompor listrik secara masif karena timbul gejolak di masyarakat.
"Memang ada gejolak di masyarakat ini akhirnya kebijakan (kompor listrik) dibatalkan," katanya. Menurut Mamit, PLN sebenarnya sudah siap untuk mengonversi LPG 3 kg ke kompor listrik. Sebab, perusahaan pelat merah itu telah melakukan uji coba di dua kota, yakni Solo dan Denpasar.
"Kalau bicara siap, harusnya sudah siap. Program awal kan 300 ribu kompor listrik. Uji coba juga sudah dilakukan di dua kota, jadi sudah siap dari sisi teknis," ujar Mamit.
Meski begitu, Mamit khawatir pembatalan program konversi dari LPG 3 kg ke kompor listrik akan menambah beban PLN untuk menanggung kelebihan pasokan (oversupply) listrik.
"Dengan oversupply 6 GW sampai 7 GW itu jumlah yang luar biasa. Salah satu upaya menaikkan penggunaan listrik kan sebenarnya pakai kompor listrik, sehingga beban oversupply PLN tidak besar," kata Mamit.
Menurut Mamit, PLN harus menanggung Rp3 triliun untuk oversupply listrik 1 GW per tahun. Jika oversupply tembus 7 GW, berarti PLN harus menanggung beban Rp21 triliun per tahun.
"Angka itu membebani PLN, padahal dananya bisa digunakan untuk yang lain yang lebih produktif," terang Mamit. Sebelumnya, Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan pihaknya membatalkan program pengalihan kompor LPG 3 kg ke kompor listrik. Hal itu dilakukan untuk menjaga kenyamanan masyarakat dalam pemulihan ekonomi pasca pandemi covid-19.
"PLN memutuskan program pengalihan ke kompor listrik dibatalkan. PLN hadir untuk memberikan kenyamanan di tengah masyarakat melalui penyediaan listrik yang andal," terang Darmawan. *
"Sejak awal, komunikasi mengenai program ini tidak jelas. Koordinasi dan kendali informasi tidak ada," ujar pria yang menjabat sebagai Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) ini seperti dilansir CNNIndonesia.com, Rabu (28/9).
Fabby mengatakan ketidakjelasan tersebut membuat masyarakat mendapatkan berbagai informasi yang seakan-akan bertentangan.
Imbas hal tersebut, penolakan muncul karena rumah tangga miskin yang jadi sasaran khawatir biaya energinya naik gara-gara konversi ini. Penolakan ini pun ikut diramaikan oleh warganet di media sosial.
"Ini terjadi karena tidak ada komunikasi yang utuh dan terkoordinasi," sambung Fabby. Kendati demikian, ia menilai yang dilakukan oleh PLN terkait konversi LPG 3 kg ke kompor listrik ini bukan pembatalan, tapi penundaan.
"Saya menginterpretasikan ini bukan sebagai pembatalan tapi penundaan. Kalau diperhatikan konversi ini adalah program pemerintah, bukan PLN, walaupun implementasinya dilakukan oleh PLN," papar Fabby.
Pendapat yang tak jauh berbeda juga disampaikan oleh Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan. Ia mengatakan PLN terpaksa membatalkan rencana konversi LPG 3 kg ke kompor listrik secara masif karena timbul gejolak di masyarakat.
"Memang ada gejolak di masyarakat ini akhirnya kebijakan (kompor listrik) dibatalkan," katanya. Menurut Mamit, PLN sebenarnya sudah siap untuk mengonversi LPG 3 kg ke kompor listrik. Sebab, perusahaan pelat merah itu telah melakukan uji coba di dua kota, yakni Solo dan Denpasar.
"Kalau bicara siap, harusnya sudah siap. Program awal kan 300 ribu kompor listrik. Uji coba juga sudah dilakukan di dua kota, jadi sudah siap dari sisi teknis," ujar Mamit.
Meski begitu, Mamit khawatir pembatalan program konversi dari LPG 3 kg ke kompor listrik akan menambah beban PLN untuk menanggung kelebihan pasokan (oversupply) listrik.
"Dengan oversupply 6 GW sampai 7 GW itu jumlah yang luar biasa. Salah satu upaya menaikkan penggunaan listrik kan sebenarnya pakai kompor listrik, sehingga beban oversupply PLN tidak besar," kata Mamit.
Menurut Mamit, PLN harus menanggung Rp3 triliun untuk oversupply listrik 1 GW per tahun. Jika oversupply tembus 7 GW, berarti PLN harus menanggung beban Rp21 triliun per tahun.
"Angka itu membebani PLN, padahal dananya bisa digunakan untuk yang lain yang lebih produktif," terang Mamit. Sebelumnya, Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan pihaknya membatalkan program pengalihan kompor LPG 3 kg ke kompor listrik. Hal itu dilakukan untuk menjaga kenyamanan masyarakat dalam pemulihan ekonomi pasca pandemi covid-19.
"PLN memutuskan program pengalihan ke kompor listrik dibatalkan. PLN hadir untuk memberikan kenyamanan di tengah masyarakat melalui penyediaan listrik yang andal," terang Darmawan. *
Komentar