Mengenal Sosok Bramana Ajasmara Putra, Arsitek Muda Berprestasi dari Tabanan
Arsitek
Arsitektur
Reog Ponorogo
Yowana Bali
Monumen
Tanareka Architect
Bramana Ajasmara Putra
UNUD
ITB
Teknik Sipil
Sayembara
IAI
Prestasi
DENPASAR, NusaBali.com – Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) 4,00 ditorehkan oleh Bramana Ajasmara Putra saat menyelesaikan studi di Fakultas Arsitektur Universitas Udayana (Unud) pada tahun 2018. Kini bagaimana keberadaan sosok yang mencatatkan nilai sempurna tersebut?
Tak beranjak dari studi yang dipelajarinya. Arsitek berusia 26 tahun penerima beasiswa LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan) S2 di ITB (Institut Teknologi Bandung) ini mendirikan Studio Tanareka Architect untuk menyalurkan talentanya.
“Visi Tanareka Architect adalah studio yang mendesain suatu lahan dengan menaruh makna keselarasan dengan alam, masyarakat, dan rasa di setiap jengkal goresan karya,” kata Ajas.
Berkolaborasi bersama sejumlah rekannya, pemuda asal Desa Adat Belayu, Desa Dinas Batannyuh, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan ini sudah dipercaya mengerjakan berbagai proyek pengusaha hingga proyek jumbo korporasi dan pemerintah.
Bahkan penghargaan prestisius sudah diraih Ajas. Terbaru, bersama dua rekan arsiteknya yakni Putu Dharma Putra, 22 dan Kadek Yuda Pramana, 22, serta dibantu dua rekan ahli strukturnya I Made Aryatirta Predana, 26 dan Freddy, 24, plus Putu Yudik Juniarta yang menggarap visualisasi 3D.
Berkolaborasi bersama sejumlah rekannya, pemuda asal Desa Adat Belayu, Desa Dinas Batannyuh, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan ini sudah dipercaya mengerjakan berbagai proyek pengusaha hingga proyek jumbo korporasi dan pemerintah.
Bahkan penghargaan prestisius sudah diraih Ajas. Terbaru, bersama dua rekan arsiteknya yakni Putu Dharma Putra, 22 dan Kadek Yuda Pramana, 22, serta dibantu dua rekan ahli strukturnya I Made Aryatirta Predana, 26 dan Freddy, 24, plus Putu Yudik Juniarta yang menggarap visualisasi 3D.
Tim Taman Ragam Selaran ini berhasil memenangkan sayembara Kawasan Monumen Reog di Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur pada Sabtu (24/9/2022).
Kawasan dengan patung Reog setinggi 126 meter itu digadang-gadang jadi patung tertinggi di Indonesia, mengalahkan Garuda Wisnu Kencana (GWK) di Jimbaran Bali yang memiliki ketinggian 121 meter.
Pencapaian Ajas tidak datang begitu saja. Sejak lulus dari bangku sekolah menengah atas di SMAN 1 Denpasar, Ajas sempat dihadapkan pada tiga pilihan antara menjadi arsitek, masuk jurusan Teknik Sipil, atau menjadi seorang dokter.
“Dulu waktu SMA, saya sempat bimbang antara arsitektur, teknik sipil, dan kedokteran,” ungkap Ajas, Senin (10/10/2022).
Meski demikian, alumni SD Saraswati 1 Denpasar ini tidak pernah dituntut apa-apa oleh orangtuanya yang memiliki latar belakang pendidikan yang spesifik. Sang ayah, I Made Nada, merupakan seorang dosen Teknik Sipil dan sang ibu, Iswara Rini, adalah seorang dokter hewan.
“Karena saya tidak suka hitung-hitungan dan nilai biologi saya kecil waktu di SMA, akhirnya saya pilih arsitektur walaupun saya tidak kuat di bidang menggambar,” ujar pemuda yang sempat mengenyam pendidikan menengah pertama di SMPN 1 Denpasar ini.
Pada tahun 2014, Ajas memutuskan melanjutkan pendidikan di bidang arsitektur dan berhasil lolos di Fakultas Teknik Universitas Udayana. Semenjak masuk ke dunia seni perancangan bangunan ini, pemuda yang menetap di Penatih, Denpasar ini berkomitmen dan menyeriusi keputusannya.
Pada awal pendidikannya, hasil di permukaan yang dilihat oleh kebanyakan orang saat ini tidak serta merta didapatkan. Ajas bahkan pernah menjadi di antara mahasiswa yang mendapatkan nilai terendah pada kelas estetika bentuk.
Pencapaian Ajas tidak datang begitu saja. Sejak lulus dari bangku sekolah menengah atas di SMAN 1 Denpasar, Ajas sempat dihadapkan pada tiga pilihan antara menjadi arsitek, masuk jurusan Teknik Sipil, atau menjadi seorang dokter.
“Dulu waktu SMA, saya sempat bimbang antara arsitektur, teknik sipil, dan kedokteran,” ungkap Ajas, Senin (10/10/2022).
Meski demikian, alumni SD Saraswati 1 Denpasar ini tidak pernah dituntut apa-apa oleh orangtuanya yang memiliki latar belakang pendidikan yang spesifik. Sang ayah, I Made Nada, merupakan seorang dosen Teknik Sipil dan sang ibu, Iswara Rini, adalah seorang dokter hewan.
“Karena saya tidak suka hitung-hitungan dan nilai biologi saya kecil waktu di SMA, akhirnya saya pilih arsitektur walaupun saya tidak kuat di bidang menggambar,” ujar pemuda yang sempat mengenyam pendidikan menengah pertama di SMPN 1 Denpasar ini.
Pada tahun 2014, Ajas memutuskan melanjutkan pendidikan di bidang arsitektur dan berhasil lolos di Fakultas Teknik Universitas Udayana. Semenjak masuk ke dunia seni perancangan bangunan ini, pemuda yang menetap di Penatih, Denpasar ini berkomitmen dan menyeriusi keputusannya.
Pada awal pendidikannya, hasil di permukaan yang dilihat oleh kebanyakan orang saat ini tidak serta merta didapatkan. Ajas bahkan pernah menjadi di antara mahasiswa yang mendapatkan nilai terendah pada kelas estetika bentuk.
Kata Ajas, saat itu mahasiswa ditugaskan untuk membuat grafiti dan ia hanya memperoleh nilai 65, menjadi yang terendah di kelas tersebut bersama satu lagi temannya.
“Ingat sekali, waktu itu di semester pertama, saya disuruh buat grafiti dan dapat nilai terendah sama satu lagi teman. Dapat nilai 65, kecil sekali,” kilas pemuda yang gemar magambel ini.
Meskipun tidak begitu menonjol secara akademis di awal pendidikan, Ajas aktif dalam keorganisasian terutama sebagai koordinator tingkat (korti) bagi rombongan kelasnya.
Berkat keaktifannya ini, ia menjadi dekat dengan beberapa dosen dan akhirnya diajak mengikuti sayembara untuk pertama kalinya pada tahun 2015.
Sayembara profesional tersebut untuk mendesain Balai Budaya Kota Denpasar atau kini dikenal sebagai Dharma Negara Alaya. Saat itu, Ajas masih berposisi sebagai asisten atau anggota tim sang dosen dan satu-satunya mahasiswa di tim yang berhasil masuk lima besar tersebut.
“Setelah itu mulai ikut sayembara lagi, bukan sebagai profesional tetapi sebagai mahasiswa. Lebih banyak kalahnya sih, tetapi tetap ikut sayembara. Akhirnya menang pertama kali di sayembara yang diadakan pemerintah. Saat itu, sebagai mahasiswa bersama satu teman saya,” tutur pemuda kelahiran 17 September 1996.
Setelah lulus S1 pada tahun 2018, Ajas berhasil menerima beasiswa LPDP S2 di Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan Institut Teknologi Bandung (ITB) setahun kemudian.
Selama berada di Badung inilah, ia merintis studio arsiteknya dengan menyewa sebuah ruko untuk dijadikan studio walaupun pada akhirnya tidak terpakai akibat pandemi Covid-19.
“Waktu lulus S1 itu saya awalnya buat studio namanya BICONS, maunya arsitektur sama konstruksi jadi satu. Setelah ke Bandung, saya lihat perkembangannya dan sepertinya kurang mungkin diambil bagian konstruksinya,” terang Ajas.
Atas pertimbangan itu, Ajas memutuskan untuk berfokus pada bagian arsitekturnya saja dan terlahirlah Tanareka Architect pada tahun 2020. Selain Ajas, studio ini juga dimotori oleh tiga orang rekan lainnya namun saat ini masih tersisa tiga orang saja termasuk Ajas dan dua alumni jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik dan Perencanaan Warmadewa yakni Putu Dharma Putra dan Kadek Yuda Pramana.
Sampai saat ini sedikitnya ada 14 kompetisi desain arsitektur, 9 proyek unggulan mulai dari Labuan Bajo Landmark, Culture and Tourism Center hingga Rumah Bojongkoneng di Bandung, Jawa Barat, dan 21 proyek-proyek desain di seperti vila, perumahan, dan perkantoran.
Menurut Ajas, proyek sayembara yang berkesan baginya selama ini adalah proyek RSUD Prambanan. Mendesain rumah sakit tersebut membuat timnya sampai kurang tidur lantaran baru pertama kali mengerjakan desain ruang medis yang sarat aturan.
Kata Ajas, selain orangtua dan tim yang selalu suportif menjadi teman perjalanannya, sang kekasih, Ni Luh Ayu Indrayani merupakan sosok teman, penyemangat, dan kritikus bagi Ajas. Indrayani dan Ajas sama-sama mendapat beasiswa LPDP S2 di ITB dan saling menemani di sepanjang perjalanan.
“Wah supportnya dia luar biasa, kalau tidak ada dia yang kasih masukan dan kritik, saya tidak bakal sampai ke titik sekarang ini,” kata Ajas memuji kekasihnya.
Ajas berharap dapat konsisten ke depan baik mengikuti sayembara maupun mengerjakan proyek yang selalu mengedepankan eksplorasi mendalam. *rat
“Ingat sekali, waktu itu di semester pertama, saya disuruh buat grafiti dan dapat nilai terendah sama satu lagi teman. Dapat nilai 65, kecil sekali,” kilas pemuda yang gemar magambel ini.
Meskipun tidak begitu menonjol secara akademis di awal pendidikan, Ajas aktif dalam keorganisasian terutama sebagai koordinator tingkat (korti) bagi rombongan kelasnya.
Berkat keaktifannya ini, ia menjadi dekat dengan beberapa dosen dan akhirnya diajak mengikuti sayembara untuk pertama kalinya pada tahun 2015.
Sayembara profesional tersebut untuk mendesain Balai Budaya Kota Denpasar atau kini dikenal sebagai Dharma Negara Alaya. Saat itu, Ajas masih berposisi sebagai asisten atau anggota tim sang dosen dan satu-satunya mahasiswa di tim yang berhasil masuk lima besar tersebut.
“Setelah itu mulai ikut sayembara lagi, bukan sebagai profesional tetapi sebagai mahasiswa. Lebih banyak kalahnya sih, tetapi tetap ikut sayembara. Akhirnya menang pertama kali di sayembara yang diadakan pemerintah. Saat itu, sebagai mahasiswa bersama satu teman saya,” tutur pemuda kelahiran 17 September 1996.
Setelah lulus S1 pada tahun 2018, Ajas berhasil menerima beasiswa LPDP S2 di Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan Institut Teknologi Bandung (ITB) setahun kemudian.
Selama berada di Badung inilah, ia merintis studio arsiteknya dengan menyewa sebuah ruko untuk dijadikan studio walaupun pada akhirnya tidak terpakai akibat pandemi Covid-19.
“Waktu lulus S1 itu saya awalnya buat studio namanya BICONS, maunya arsitektur sama konstruksi jadi satu. Setelah ke Bandung, saya lihat perkembangannya dan sepertinya kurang mungkin diambil bagian konstruksinya,” terang Ajas.
Atas pertimbangan itu, Ajas memutuskan untuk berfokus pada bagian arsitekturnya saja dan terlahirlah Tanareka Architect pada tahun 2020. Selain Ajas, studio ini juga dimotori oleh tiga orang rekan lainnya namun saat ini masih tersisa tiga orang saja termasuk Ajas dan dua alumni jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik dan Perencanaan Warmadewa yakni Putu Dharma Putra dan Kadek Yuda Pramana.
Sampai saat ini sedikitnya ada 14 kompetisi desain arsitektur, 9 proyek unggulan mulai dari Labuan Bajo Landmark, Culture and Tourism Center hingga Rumah Bojongkoneng di Bandung, Jawa Barat, dan 21 proyek-proyek desain di seperti vila, perumahan, dan perkantoran.
Menurut Ajas, proyek sayembara yang berkesan baginya selama ini adalah proyek RSUD Prambanan. Mendesain rumah sakit tersebut membuat timnya sampai kurang tidur lantaran baru pertama kali mengerjakan desain ruang medis yang sarat aturan.
Kata Ajas, selain orangtua dan tim yang selalu suportif menjadi teman perjalanannya, sang kekasih, Ni Luh Ayu Indrayani merupakan sosok teman, penyemangat, dan kritikus bagi Ajas. Indrayani dan Ajas sama-sama mendapat beasiswa LPDP S2 di ITB dan saling menemani di sepanjang perjalanan.
“Wah supportnya dia luar biasa, kalau tidak ada dia yang kasih masukan dan kritik, saya tidak bakal sampai ke titik sekarang ini,” kata Ajas memuji kekasihnya.
Ajas berharap dapat konsisten ke depan baik mengikuti sayembara maupun mengerjakan proyek yang selalu mengedepankan eksplorasi mendalam. *rat
1
Komentar