Krama Dituntut Adaptif untuk Proteksi Sradha Bhakti
MANGUPURA, NusaBali.com – Krama Hindu di Bali dituntut untuk menjadi pribadi yang adaptif dalam menghadapi perkembangan zaman. Ini perlu dilakukan untuk melindungi sradha dan bhakti di tengah gempuran budaya luar.
Peringatan agar krama luwes menghadapi era globalisasi adalah pelecehan simbol suci Hindu yang sudah terjadi berulang-ulang. Kejadian yang paling sering adalah wisatawan menduduki palinggih.
Peristiwa ini sudah terlalu berulang terjadi dan tingkat kehebohan atau reaksi krama terhadap kasus seperti ini semakin menurun dari waktu ke waktu. Menjadi sangat menakutkan apabila hal semacam ini di masa depan dianggap sebagai sesuatu yang normal terjadi karena dilakukan wisatawan nakal.
“Memang kita harus berpikir Atita, Wartamana, Nagata. Berpikir era dulu, berpikir era sekarang, dan berpikir era yang akan datang,” cetus Ketua Pengurus Harian Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Kabupaten Badung, Dr Drs I Gede Rudia Adiputra MAg, ketika dimintai pendapat mengenai kasus baru-baru ini, Rabu (5/10/2022).
Jika berbicara pada era dulu, masyarakat Bali itu homogen beragama Hindu sehingga wajar proteksi terhadap simbol suci agama tidak terlalu kuat. Sedangkan pada era sekarang, krama Hindu Bali hidup di zaman globalisasi di mana masyarakat Bali sangat heterogen baik dari segi agama maupun kebudayaan.
“Oleh karena itu, krama Hindu perlu memproteksi, mengawasi, kemudian membingkai keyakinan kita dengan sradha bhakti untuk diri sendiri (pawongan). Kalau parahyangan harus dipagari, diberikan batas, bila perlu dikunci,” tegas Rudia Adiputra.
Menurut penyandang Doktor Kajian Budaya dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana ini, sradha bhakti seharusnya tidak semata-mata ditunjukkan dalam bentuk persembahyangan. Bentuk lain seperti merawat kesucian, keamanan, dan keresikan simbol suci Hindu, dalam hal ini pura, pun merupakan sradha bhakti.
“Kita kan sering salah kaprah, enam bulan sekali saat ngodalin baru kita ke pura sedangkan di luar masa itu tidak diperhatikan,” ujar Rudia Adiputra.
Sradha bhakti yang sebenarnya semestinya ditunjukkan setiap hari dengan menjaga keamanan pura. Rudia menjelaskan bahwa layaknya sradha bhakti kepada orangtua yang harus dilakukan setiap saat bukan hanya saat mereka tua dan renta.
“Kejadian-kejadian berulang itu karena di era sebelumnya terasa aman-aman saja kemudian menjadi kecolongan,” ucap Rudia Adiputra.
Selaku Ketua Pengurus Harian PHDI Kabupaten Badung, Rudia juga menyarankan pemerintah untuk berperan aktif dalam pencegahan kasus serupa. Dinas Pariwisata diminta untuk memberikan edukasi baik tertulis maupun lisan kepada insan pariwisata mengenai upaya menjaga keajegan sradha bhakti krama Hindu di Bali.
“Jangan hanya mendatangkan dan mengantarkan turis, kemudian tidak pernah menginformasikan (boleh dan tidak boleh dilakukan di pura) atau informasi yang sepotong-sepotong,” kata Rudia Adiputra.
Menurut Rudia, edukasi lebih lanjut ini sangat perlu dilakukan lantaran orang-orang yang bergerak di bidang pariwisata di Bali tidak semuanya krama Bali dan beragama Hindu. Sedangkan insan pariwisata yang bukan krama Hindu bukan berarti mereka bermaksud melecehkan, hanya saja ketidaktahuan mereka dapat memberikan informasi yang salah kepada turis.
“Misalnya, ‘Palinggih itu di sanalah dewa-dewa duduk saat diberikan upacara,’ sekarang bagaimana, oh tidak ada upacara berarti boleh tidak saya duduk di sana?” tutur Rudia Adiputra menceritakan kemungkinan percakapan menyimpang antara turis dan pramuwisata bukan krama Hindu yang kurang mendalami informasi.
“Bagaimana orang yang bukan agama Hindu akan menjawab pertanyaan seperti ini dengan benar sesuai nilai kesusastraan?” ungkap mantan Wakil Rektor II IHDN Denpasar ini.
Oleh karena itu perlu ada peran pemerintah dan inisiatif pangempon pura untuk senantiasa menjaga pura baik dalam bentuk penjagaan, ronda, dan lain-lain. Menjadi krama Hindu yang adaptif menyikapi zaman dengan berpegang pada Atita, Wartamana, dan Nagata merupakan langkah awal demi mencegah kasus berulang terjadi lagi. *rat
Komentar