Sekolahkan Anak-anak Berprestasi dari Keluarga Miskin
Selama 10 tahun pertama sejak 2001 hingga 2011, Made Meja mengurus dan membiayai sendiri Panti Asuhan Hindu Sunya Giri di Padangsambian Kaja, tanpa ada uluran tangan dari pihak mana pun
Made Meja, Mantan Dewan yang Pendiri Panti Asuhan Hindu Sunya Giri
DENPASAR, NusaBali
Nama Drs Made Meja, 82, cukup familiar bagi dunia politik dan kalangan tidak mampu di Denpasar dan sekitarnya. Maklum, tokoh berusia 82 tahun ini adalah mantan wakil rakyat di DPRD Denpasar yang banyak menyekolahkan anak-anak dari keluarga miskin.
Made Meja adalah mantan wakil rakyat di DPRD Denpasar dalam dua zaman berbeda. Pertama, menjadi aggota DPRD Denpasar 1967-1971 dari PNI (partai bentukan Bung Karno). Kedua, Made Meja kembali menjadi anggota Fraksi PDIP DPRD Denpasar 1999-2004 (periode pertama era reformasi).
Sebelum kembali menjadi wakil rakyat di DPRD Denpasar 1999-2004, Made Meja banyak berkecimpung di dunia pendidikan, spiritual, dan kegiatan sosial. Setelah menjadi anggota Dewan, dia mendirikan Panti Asuhan Hindu Sunya Giri yang berlokasi di Jalan Tunjungsari Nomor 23 Banjar Tegeh Sari, Desa Padangsambian Kaja, Kecamatan Denpasar Barat tahun 2001. Dia terpanggil mendirikan panti asuhan, karena rasa iba melihat anak-anak berprestasi yang tak bisa melanjutkan sekolah karena alasan ekonomi.
Jauh sebelum mendirikan Panti Asuhan Hindu Sunya Giri di kampung halamannya, Made Meja telah banyak membantu menyekolahkan anak-anak krama Bali (umat Hindu) yang tidak mampu. Hal iti dilandasi keinginan Made Meja untuk mengajegkan Bali dengan langkah nyata, yakni meningkatkan sumber daya manusia (SDM) anak-anak Hindu.
Bukan hanya anak-anak Hindu di Bali yang jadi perhatian Made Meja, tapi dia juga banyak membantu anak-anak Hindu dari luar Pulau Dewata seperti Blitar (Jawa Timur), Banyuwangi (Jawa Timur), Kaharingan (Kalimantan Tengah), Toraja (Sulawesi Selatan), dan Ambon (Maluku). Anak-anak pintar dari keluarga kurang mampu itu ditemui dalam perjalannya sebagai penceramah agama Hindu di sejumlah tempat di luar Bali.
“Saya pernah ceramah di kaki Gunung Kawi. Dari 11 KK umat Hindu yang ada di sana, hanya satu yang punya ijazah SMA. Saya merasa kasihan dengan umat Hindu di sana, sehingga saya ajak mereka ke Bali untuk sekolah,” kenang Made Meja saat ditemui NusaBali di kediamannya, beberapa waktu lalu
Menurut Made Meja, kasus serupa juga ditemukan di Kaharingan. Dari 400 KK umat Hindu Kaharingan, hanya tiga orang di antaranya tamat SMA dan cuma satu sandang gelar sarjana. “Itulah yang mendorong saya membangun Panti Asuhan Hindu Sunya Giri,” lanjut ayah 6 anak dari pernikahannya dengan Luh Kapur ini.
Niatnya untuk mendirikan sebuah panti asuhan juga diperkuat dengan profesinya sebagai tenaga pendidik (guru) sebelum pensiun tahun 1992 dan juga menjadi anggota DPRD Denpasar. Selain itu, tekadnya untuk mendirikan panti asuhan juga karena dirinya merasa kesepian. Meskipun memiliki 6 anak kandung, Made Meja beserta istri selalu merasa kesepian karena semua anaknya merantau demi pendidikan dan karier.
“Enam anak saya setelah tamat kuliah jarang pulang ke rumah. Ada satu yang di Bali, tapi 15 tahun dinas di Karangasem. Saya di rumah hanya sama ibu (istri), sehingga selalu merasa sepi,” ungkap alumnus IHD Denpasar (kini Unhi) tahun 1985 yang selutuh 6 anaknya sandang gelar sarjana ini.
Namun, kata Made Meja, niatnya mendirikan panti asuhan sempat mendapat cibiran ketika dia menjadi Ketua Komisi E DPRD Denpasar 1999-2004 (Komisi E kala itu membidangi masalah pendidikan, sosial, dan kesehatan, Red). “Katanya, untuk apa buat panti asuhan? Mending nikmati masa tua bersama cucu-cucu. Sesekali terbang ke Surabaya atau ke Samarinda. Saya kira akan didukung teman-teman Dewan, eh ternyata tidak,” tutur kakek yang sudah dikaruniai 16 cucu ini.
Meski demikian, Made Meja tak berkecil hati. Karena keinginannya untuk mendirikan panti asuhan didasari semangat meningkatkan SDM anak-anak berprestasi yang terancam putus sekolah, dia pun mewujudkan impiannya. “Demene melenan (kesenangan setiap orang itu berbeda, Red). Ketika teman saya lebih suka nabung banyak uang di bank, kesenangan saya adalah ketika melihat senyum anak-anak berangkat ke sekolah. Rasanya melebihi kepuasan nabung jutaan rupiah di bank,” terangnya.
Begitulah, Made Meja akhirnya memutuskan untuk mengurus sendiri pendirian panti asuhan itu. Dia mengawali permohonan ke Kementerian Hukum dan HAM di Jakarta. Setelah mendapatkan SK Menteri, dia mengajukan permohonan izin kepada Gubernur Bali. Nah, berbekal 2 SK dari Menteri dan Gubernur itu, Made Meja berangkat untuk mengurus izin operasional dari Walikota Denpasar.
“Setelah dapat izin operasional, barulah ke akta notaris. Lanjut menyusun pengurus, rencana kerja, AD/ART, daftar nama anak untuk dilaporkan ke Dinas Sosial Provinsi Bali. Akhirnya, tepat 1 Juni 2001, panti asuhan ini sah keberadaaannya. Di awal berdirinya, sebanyak 10 anak-anak saya asuh di Panti Asuhan Hindu Sunya Giri ini,” papar Made Meja.
Selama 10 tahun sejak 2001 hingga 2011, Made Meja mengurus segalanya sendirian di panti asuhan tersebut. Kebutuhan anak-anak panti asuhan dipenuhinya dari penghasilannya sebagai anggota Dewan. Tak tanggung-tanggung, kala itu Rp 140 juta dihabiskan untuk membiayai anak-anak putus sekolah yang jumlahnya mencapai 35 orang.
Menurut Made Meja, sejak awal dirinya rela, berapa pun biaya untuk pendidikan anak-anak panti asuhan, sehingga dia tidak sedih kehilangan uang sedemikian banyak untuk biaya uang gedung, seragam sekolah, dan SPP. “Memang saya sudah janji akan rela untuk anak-anak. Apalagi, 6 anak kandung saya sudah jadi ‘orang’, buat apa uang banyak,” katanya.
Made Meja mengisahkan, sesibukannya sebagai aggota DPRD Denpasar 1999-2004 tidak menyurutkan semangatnya untuk berbuat lebih banyak. Waktu luangnya dia gunakan untuk beternak ayam petelor, sapi, dan berbagai usaha lainnya yang dikerjakan bersama anak-anak panti.
Namun, karenakan bertambahnya usia, Made Meja mulai terkena penyakit pengapuran tulang yang membatasi gerak fisiknya, sampai akhirnya dia memutuskan untuk memperkenalkan keberadaan Panti Asuhan Hindu Sunya Giri ini ke publik tahun 2011. “Saya bikin acara ulang tahun, undang Walikota dan media televisi. Sejak itulah, kami mulai dikenal, ada sumbangan dan sambung menyambung hingga saat ini. Hotel, perusahaan, dan sekolah sering bantu.”
Saat ini, terdapat 35 anak panti yang dibantu Made Meja. Namun, hanya 15 orang dari mereka yang tingga; menetap di Panti Asuhan Hindu Sunya Giri. Selebihnya, mereka tinggal bersama orangtua maupun keluarga terdekat. Sebab, sebagian anak kurang mampu yang sia bantu, bukanlah yatim piatu. “Kebanyakan dari mereka masih memiliki orangtua, hanya saja kondisi ekonominya lemah. Sehingga dari sini dibantu biaya sekolah, ayah ibunya tetap membesarkanya di rumah,” beber Made Meja.
Dari total 35 anak kurang mampu itu, dominan yaknsi sebanyak 29 orang dibantu untuk menempuh pendidikan jenjang SMA/SMK. Hanya 3 anak masih duduk di bangku SMP dan 3 anak menempuh pendidikan SMP. “Untuk bisa langsung kerja, dominan anak-anak memilih sekolah SMK di sekitar lokasi panti asuhan. Mereka sekolah dengan jalan kaki,” katanya.
Menurut Made Meja, beberapa anak Panti Asuhan Hindu Sunya Giri sudah melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi. Sebagian dari mereka juga sudah bekerja. Seingat Made Meja, sekitar 6 orang sudah sarjana, karena mereka punya semangat tinggi. Setamat SMK, mereka kerja pagi, kuliah sore.
“Akhirnya bisa sarjana. Ada juga yang kerja di kapal pesiar, bahkan ada yang diangkat jadi PNS di Badung, sebagai guru Bahasa Bali,” papar Made Meja, yang juga ngayah sebagai Pamangku Penembahan Barong Landung di Banjar Tegeh Sari, Desa Padangsambian Kaja, selain pernah menjadi dalang (seniman wayang kulit). * nvi
DENPASAR, NusaBali
Nama Drs Made Meja, 82, cukup familiar bagi dunia politik dan kalangan tidak mampu di Denpasar dan sekitarnya. Maklum, tokoh berusia 82 tahun ini adalah mantan wakil rakyat di DPRD Denpasar yang banyak menyekolahkan anak-anak dari keluarga miskin.
Made Meja adalah mantan wakil rakyat di DPRD Denpasar dalam dua zaman berbeda. Pertama, menjadi aggota DPRD Denpasar 1967-1971 dari PNI (partai bentukan Bung Karno). Kedua, Made Meja kembali menjadi anggota Fraksi PDIP DPRD Denpasar 1999-2004 (periode pertama era reformasi).
Sebelum kembali menjadi wakil rakyat di DPRD Denpasar 1999-2004, Made Meja banyak berkecimpung di dunia pendidikan, spiritual, dan kegiatan sosial. Setelah menjadi anggota Dewan, dia mendirikan Panti Asuhan Hindu Sunya Giri yang berlokasi di Jalan Tunjungsari Nomor 23 Banjar Tegeh Sari, Desa Padangsambian Kaja, Kecamatan Denpasar Barat tahun 2001. Dia terpanggil mendirikan panti asuhan, karena rasa iba melihat anak-anak berprestasi yang tak bisa melanjutkan sekolah karena alasan ekonomi.
Jauh sebelum mendirikan Panti Asuhan Hindu Sunya Giri di kampung halamannya, Made Meja telah banyak membantu menyekolahkan anak-anak krama Bali (umat Hindu) yang tidak mampu. Hal iti dilandasi keinginan Made Meja untuk mengajegkan Bali dengan langkah nyata, yakni meningkatkan sumber daya manusia (SDM) anak-anak Hindu.
Bukan hanya anak-anak Hindu di Bali yang jadi perhatian Made Meja, tapi dia juga banyak membantu anak-anak Hindu dari luar Pulau Dewata seperti Blitar (Jawa Timur), Banyuwangi (Jawa Timur), Kaharingan (Kalimantan Tengah), Toraja (Sulawesi Selatan), dan Ambon (Maluku). Anak-anak pintar dari keluarga kurang mampu itu ditemui dalam perjalannya sebagai penceramah agama Hindu di sejumlah tempat di luar Bali.
“Saya pernah ceramah di kaki Gunung Kawi. Dari 11 KK umat Hindu yang ada di sana, hanya satu yang punya ijazah SMA. Saya merasa kasihan dengan umat Hindu di sana, sehingga saya ajak mereka ke Bali untuk sekolah,” kenang Made Meja saat ditemui NusaBali di kediamannya, beberapa waktu lalu
Menurut Made Meja, kasus serupa juga ditemukan di Kaharingan. Dari 400 KK umat Hindu Kaharingan, hanya tiga orang di antaranya tamat SMA dan cuma satu sandang gelar sarjana. “Itulah yang mendorong saya membangun Panti Asuhan Hindu Sunya Giri,” lanjut ayah 6 anak dari pernikahannya dengan Luh Kapur ini.
Niatnya untuk mendirikan sebuah panti asuhan juga diperkuat dengan profesinya sebagai tenaga pendidik (guru) sebelum pensiun tahun 1992 dan juga menjadi anggota DPRD Denpasar. Selain itu, tekadnya untuk mendirikan panti asuhan juga karena dirinya merasa kesepian. Meskipun memiliki 6 anak kandung, Made Meja beserta istri selalu merasa kesepian karena semua anaknya merantau demi pendidikan dan karier.
“Enam anak saya setelah tamat kuliah jarang pulang ke rumah. Ada satu yang di Bali, tapi 15 tahun dinas di Karangasem. Saya di rumah hanya sama ibu (istri), sehingga selalu merasa sepi,” ungkap alumnus IHD Denpasar (kini Unhi) tahun 1985 yang selutuh 6 anaknya sandang gelar sarjana ini.
Namun, kata Made Meja, niatnya mendirikan panti asuhan sempat mendapat cibiran ketika dia menjadi Ketua Komisi E DPRD Denpasar 1999-2004 (Komisi E kala itu membidangi masalah pendidikan, sosial, dan kesehatan, Red). “Katanya, untuk apa buat panti asuhan? Mending nikmati masa tua bersama cucu-cucu. Sesekali terbang ke Surabaya atau ke Samarinda. Saya kira akan didukung teman-teman Dewan, eh ternyata tidak,” tutur kakek yang sudah dikaruniai 16 cucu ini.
Meski demikian, Made Meja tak berkecil hati. Karena keinginannya untuk mendirikan panti asuhan didasari semangat meningkatkan SDM anak-anak berprestasi yang terancam putus sekolah, dia pun mewujudkan impiannya. “Demene melenan (kesenangan setiap orang itu berbeda, Red). Ketika teman saya lebih suka nabung banyak uang di bank, kesenangan saya adalah ketika melihat senyum anak-anak berangkat ke sekolah. Rasanya melebihi kepuasan nabung jutaan rupiah di bank,” terangnya.
Begitulah, Made Meja akhirnya memutuskan untuk mengurus sendiri pendirian panti asuhan itu. Dia mengawali permohonan ke Kementerian Hukum dan HAM di Jakarta. Setelah mendapatkan SK Menteri, dia mengajukan permohonan izin kepada Gubernur Bali. Nah, berbekal 2 SK dari Menteri dan Gubernur itu, Made Meja berangkat untuk mengurus izin operasional dari Walikota Denpasar.
“Setelah dapat izin operasional, barulah ke akta notaris. Lanjut menyusun pengurus, rencana kerja, AD/ART, daftar nama anak untuk dilaporkan ke Dinas Sosial Provinsi Bali. Akhirnya, tepat 1 Juni 2001, panti asuhan ini sah keberadaaannya. Di awal berdirinya, sebanyak 10 anak-anak saya asuh di Panti Asuhan Hindu Sunya Giri ini,” papar Made Meja.
Selama 10 tahun sejak 2001 hingga 2011, Made Meja mengurus segalanya sendirian di panti asuhan tersebut. Kebutuhan anak-anak panti asuhan dipenuhinya dari penghasilannya sebagai anggota Dewan. Tak tanggung-tanggung, kala itu Rp 140 juta dihabiskan untuk membiayai anak-anak putus sekolah yang jumlahnya mencapai 35 orang.
Menurut Made Meja, sejak awal dirinya rela, berapa pun biaya untuk pendidikan anak-anak panti asuhan, sehingga dia tidak sedih kehilangan uang sedemikian banyak untuk biaya uang gedung, seragam sekolah, dan SPP. “Memang saya sudah janji akan rela untuk anak-anak. Apalagi, 6 anak kandung saya sudah jadi ‘orang’, buat apa uang banyak,” katanya.
Made Meja mengisahkan, sesibukannya sebagai aggota DPRD Denpasar 1999-2004 tidak menyurutkan semangatnya untuk berbuat lebih banyak. Waktu luangnya dia gunakan untuk beternak ayam petelor, sapi, dan berbagai usaha lainnya yang dikerjakan bersama anak-anak panti.
Namun, karenakan bertambahnya usia, Made Meja mulai terkena penyakit pengapuran tulang yang membatasi gerak fisiknya, sampai akhirnya dia memutuskan untuk memperkenalkan keberadaan Panti Asuhan Hindu Sunya Giri ini ke publik tahun 2011. “Saya bikin acara ulang tahun, undang Walikota dan media televisi. Sejak itulah, kami mulai dikenal, ada sumbangan dan sambung menyambung hingga saat ini. Hotel, perusahaan, dan sekolah sering bantu.”
Saat ini, terdapat 35 anak panti yang dibantu Made Meja. Namun, hanya 15 orang dari mereka yang tingga; menetap di Panti Asuhan Hindu Sunya Giri. Selebihnya, mereka tinggal bersama orangtua maupun keluarga terdekat. Sebab, sebagian anak kurang mampu yang sia bantu, bukanlah yatim piatu. “Kebanyakan dari mereka masih memiliki orangtua, hanya saja kondisi ekonominya lemah. Sehingga dari sini dibantu biaya sekolah, ayah ibunya tetap membesarkanya di rumah,” beber Made Meja.
Dari total 35 anak kurang mampu itu, dominan yaknsi sebanyak 29 orang dibantu untuk menempuh pendidikan jenjang SMA/SMK. Hanya 3 anak masih duduk di bangku SMP dan 3 anak menempuh pendidikan SMP. “Untuk bisa langsung kerja, dominan anak-anak memilih sekolah SMK di sekitar lokasi panti asuhan. Mereka sekolah dengan jalan kaki,” katanya.
Menurut Made Meja, beberapa anak Panti Asuhan Hindu Sunya Giri sudah melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi. Sebagian dari mereka juga sudah bekerja. Seingat Made Meja, sekitar 6 orang sudah sarjana, karena mereka punya semangat tinggi. Setamat SMK, mereka kerja pagi, kuliah sore.
“Akhirnya bisa sarjana. Ada juga yang kerja di kapal pesiar, bahkan ada yang diangkat jadi PNS di Badung, sebagai guru Bahasa Bali,” papar Made Meja, yang juga ngayah sebagai Pamangku Penembahan Barong Landung di Banjar Tegeh Sari, Desa Padangsambian Kaja, selain pernah menjadi dalang (seniman wayang kulit). * nvi
Komentar