Antara Makna Lestari dan Pembiaran
Nasib Sejumlah Jembatan Peninggalan Belanda
Secara teknis dan fisik mungkin tidak berfungsi lagi. Tetapi, jembatan ini merupakan aset bersejarah bagi Bali. (Putu Rumawan Salain).
DENPASAR,NusaBali
Sebagai salah satu wilayah yang pernah dikuasai kolonial, Bali kini mewarisi sejumlah bangunan tua. Di antaranya, sejumlah jembatan tua, sebagai bagian dari pembangunan jalan rintisan masa penjajahan. Sebagian jembatan tersebut berwajah ganda, antara lestari karena tak tersentuh kebijakan, ataukah terbiarkan hingga rusak termakan usia.
Jembatan peninggalan Belanda itu memang tidak berfungsi lagi. Ada beberapa jembatan dengan kondisi semakin rapuh. Sebagai bagian dari jejak sejarah, ada harapan jembatan- jembatan tua yang masih tersisa bisa diselamatkan. Walaupun kini, sudah tidak dimanfaatkan lagi, sebagaimana ketika usai dibangun pada masanya.
“Secara teknis dan fisik mungkin tidak berfungsi lagi. Tetapi, jembatan ini merupakan aset bersejarah bagi Bali,” ujar praktisi tata ruang dan arsitektur Putu Rumawan Salain, Sabtu (17/9).
Akademisi asal Bangli ini menyebut beberapa jembatan lama yang masih tersisa saat ini. Di antaranya, Jembatan Tukad Petanu perbatasan antara Blahbatuh - Sukawati, yang membentang dekat Wihara Amurva Bhumi, Blahbatuh. Jembatan lama Tukad Cengcengan, ujung selatan Desa Sukawati ke arah.Denpasar. Jembatan di atas Tukad Wos, Campuhan Ubud.
Rumawan Salain mengaku tidak tahu bagaimana persis riwayat dari jembatan- jembatan lama tersebut. Walau demikian, dia meyakini jembatan- jembatan kuna yang dibuat masa penjajahan. Tidak hanya untuk kelancaran akses ekonomi, namun juga menjadi paket jalan dan arus lalulintas pertahanan.
Bentuk fisiknya yang nyata sudah kuna dan teknologinya (jembatan gantung), kata Rumawan, menjadikan keberadaan jembatan- jembatan kuna itu menarik perhatian.
Bukan saja struktur infrakstruktur sarana transfortasu bersejarah, jembatan- jembatan kuna tersebut jelas merupakan bagian dari khazanah atau pembendaharaan kekayaan arsitektur. ’’Memang fungsinya sebagai civil enggenering. Namun, bisa juga diteliti dari sisi ilmu arsitektur,” jelas Rumawan Salain. Karena itulah, mengapa jembatan- jembatan kuna itu menurut Rumawan Salain, merupakan bagian dari arsitektur. Setidaknya dari kedua alasan itulah jembatan- jembatan lama itu pantas diselamatkan.
Dikatakan Rumawan, salah satu cara agar jembatan- jembatan kuna itu lestasi adalah dengan menstatuskannya sebagai benda cagar budaya. Undang-undang tentang cagar budaya terbuka untuk itu. Sesuai undang-undang cagar budaya, usia minimal bangunan atau tinggalan yang bisa diusulkan sebagai benda cagar budaya, minimal berusia 50 tahun.” Atau belum usia 50 tahun, namun dipandang memiliki outstanding value atau nilai-nilai kekhususan,” terang Rumawan Salain. Untuk jembatan-jembatan dari masa kololnial tersebut, Rumawan Salain yakin sudah berusia lebih dari 50 tahun. Sehingga dari ketentuan ‘usia’, sangat memenuhi syarat.
Secara teknis pelestarian jembatan kuna itu, dikatakan Rumawan Salain bisa dengan ‘me-refungsikan’ kembali. Tentu tidak sebagaimana fungsi awal, namun bisa secara inovatif dikreasikan dengan kondisi saat ini dan bisa dikaitkan dengan keberadaan Bali atau kawasan sekitar jembatan sebagai daya tarik wisata (DTW).
Contohnya, penerapan konsep water front menjadikan alur bentang air tukad/sungai sebagai beranda depan kawasan (permukiman), dimana jembatan- jembatan tua berada. Dengan menjadikan sungai sebagai beranda depan, tentunya secara otomatis lingkungan sekitar, termasuk jembatan diharapkan bisa terawat.
Atau dalam kaitan dengan daya tarik wisata, jembatan kuna bisa menjadi daya tarik wisata. Misalnya di kawasan sekitar didirikan kedai-kedai kopi atau bangunan lain untuk memajangg produk -produk UMKM. Atau bisa digunakan sebagai pedesterian atau tempat pejalan kaki alternatif , di tengah kepadatan arus lalin.
Dalam pandangan Rumawan Salain, pemerintah mulai dari Pemkab/Pemkot, Provinsi dan Pusat, secara berjenjang dapat bersinergi untuk mengusulkan jembatan- jembatan kuna sebagai benda cagar budaya. Hal ini bertujuan dalam konteks perlindungan dan perawatan jembatan tersebut. “Tanpa memandang kewenangan terhadap status keberadaan jembatan, saya pikir usulan itu bisa mulai dari kabupaten/kota ke provinsi dari provinsi usulkan ke Pusat,” jelas Rumawan Salain.
Dalam konteks ini revitalisasi jembatan Tukad Buleleng di bekas Pelabuhan Buleleng bisa menjadi referensi. Revitalisasi jembatan Tukad Buleleng tersebut termasuk dalam revitalisasi kawasan ex Pelabuhan Buleleng. Kawasan tersebut kini menjadi salah satu daya tarik dan tujuan destinasi di Bali Utara.
Sebagai situs bersejarah, jembatan di eks Pelabuhan Buleleng, tetap bertahan dan lestari hingga sekarang. “Itu bagian dari saksi peninggalan sejarah dan perjuangan bangsa,” ucap Rumawan Salain, yang bareng menjadi anggota tim pelaksana revitalisasi sekitar tahun 1998. Menurut Rumawan Salain, revitalisasi mendapat bantuan dari Bank Dunia.
Dia juga pun berkisah tentang peran sejarah dari eks Pelabuhan Buleleng, termasuk jembatan kuna yang ada di sana. “ Di sanalah kapal Belanda mendarat, kemudian turun dengan kapal kecil masuk ke kota Singaraja,” terangnya. Kemudian ke Jagaraga sampai Kintamani (Bangli). Di Kintamani, KPM (Koninklijke Paketvaart Maatschapij (Perusahan Pelayaran Kerajaan) pertama kali membangun pesanggrahan di Bali. “Sampai sekarang masih ada bekasnya,” terang dia.
I Gusti Made Warsika, seorang penggiat sejarah dari Kota Semarapura Klungkung, menuturkan jembatan- jembatan kuna itu dibangun pada zaman penjajahan Belanda. Termasuk di Klungkung, diantaranya jembatan Tukad Unda. Pembangunan jembatan – jembatan tersebut bagian dari pembangunan untuk mendukung kelancaran transportasi di Bali. “Pembangunan mulai tahun 1914,” terangnya.
Menurut Gusti Made Warsika, ekonomi dan rintisan pariwisata menjadi salah satu latar belakang pembangunan jembatan dan jalan dimaksud. “Keindahan alam dan keunikan adat dan budaya Bali mulai diperkenalkan Belanda, kepada dunia luar,” jelas Gusti Made Warsika. Dijelaskan Gusti Made Warsika, pemerintah kololnial diperkirakan menyadari keberadaan Bali. Dimana dibanding dengan daerah lain, Bali tidak memiliki kekayaan alam seperti pertambangan misalnya. Namun Bali memiliki kelebihan, pemandangan alam yang indah dan penduduk dengan keunikan tradisi, adat-istiadat dan budaya yang unik.
‘Kelebihan’ Bali inilah dikatakan Gusti Made Warsika, dimanfaatkan Bali dengan merintis pariwisata, untuk semakin memperkenalkan Bali sebagai daya tarik. Untuk itu perlu kemudahan akses, kelancaran sarana transfortasi. Sehingga dibuatlah jalan-jalan untuk memperlancar perhubungan tersebut. Jalan- jalan tersebut dari Karangasem ke Gilimanuk, dari Klungkung ke Bangli, Buleleng dan lainnnya.
Termasuk pembangunan jembatan- jembatan penghubung. Di antaranya, dulu adalah jembatan tua Tukad Unda. Dikatatan jembatan tua Tukad Unda tinggalan Belanda tersebut masih kokoh, sebelum hancur diterjang banjir lahar saat Gunung Agung meletus tahun 1963. Tidak saja untuk rencana akses rintisan ekonomi dan pariwisata di Bali, Gusti Made Warsika menyatakan jalan dan juga jembatan tersebut untuk kepentingan pertahanan. *k17
Jembatan peninggalan Belanda itu memang tidak berfungsi lagi. Ada beberapa jembatan dengan kondisi semakin rapuh. Sebagai bagian dari jejak sejarah, ada harapan jembatan- jembatan tua yang masih tersisa bisa diselamatkan. Walaupun kini, sudah tidak dimanfaatkan lagi, sebagaimana ketika usai dibangun pada masanya.
“Secara teknis dan fisik mungkin tidak berfungsi lagi. Tetapi, jembatan ini merupakan aset bersejarah bagi Bali,” ujar praktisi tata ruang dan arsitektur Putu Rumawan Salain, Sabtu (17/9).
Akademisi asal Bangli ini menyebut beberapa jembatan lama yang masih tersisa saat ini. Di antaranya, Jembatan Tukad Petanu perbatasan antara Blahbatuh - Sukawati, yang membentang dekat Wihara Amurva Bhumi, Blahbatuh. Jembatan lama Tukad Cengcengan, ujung selatan Desa Sukawati ke arah.Denpasar. Jembatan di atas Tukad Wos, Campuhan Ubud.
Rumawan Salain mengaku tidak tahu bagaimana persis riwayat dari jembatan- jembatan lama tersebut. Walau demikian, dia meyakini jembatan- jembatan kuna yang dibuat masa penjajahan. Tidak hanya untuk kelancaran akses ekonomi, namun juga menjadi paket jalan dan arus lalulintas pertahanan.
Bentuk fisiknya yang nyata sudah kuna dan teknologinya (jembatan gantung), kata Rumawan, menjadikan keberadaan jembatan- jembatan kuna itu menarik perhatian.
Bukan saja struktur infrakstruktur sarana transfortasu bersejarah, jembatan- jembatan kuna tersebut jelas merupakan bagian dari khazanah atau pembendaharaan kekayaan arsitektur. ’’Memang fungsinya sebagai civil enggenering. Namun, bisa juga diteliti dari sisi ilmu arsitektur,” jelas Rumawan Salain. Karena itulah, mengapa jembatan- jembatan kuna itu menurut Rumawan Salain, merupakan bagian dari arsitektur. Setidaknya dari kedua alasan itulah jembatan- jembatan lama itu pantas diselamatkan.
Dikatakan Rumawan, salah satu cara agar jembatan- jembatan kuna itu lestasi adalah dengan menstatuskannya sebagai benda cagar budaya. Undang-undang tentang cagar budaya terbuka untuk itu. Sesuai undang-undang cagar budaya, usia minimal bangunan atau tinggalan yang bisa diusulkan sebagai benda cagar budaya, minimal berusia 50 tahun.” Atau belum usia 50 tahun, namun dipandang memiliki outstanding value atau nilai-nilai kekhususan,” terang Rumawan Salain. Untuk jembatan-jembatan dari masa kololnial tersebut, Rumawan Salain yakin sudah berusia lebih dari 50 tahun. Sehingga dari ketentuan ‘usia’, sangat memenuhi syarat.
Secara teknis pelestarian jembatan kuna itu, dikatakan Rumawan Salain bisa dengan ‘me-refungsikan’ kembali. Tentu tidak sebagaimana fungsi awal, namun bisa secara inovatif dikreasikan dengan kondisi saat ini dan bisa dikaitkan dengan keberadaan Bali atau kawasan sekitar jembatan sebagai daya tarik wisata (DTW).
Contohnya, penerapan konsep water front menjadikan alur bentang air tukad/sungai sebagai beranda depan kawasan (permukiman), dimana jembatan- jembatan tua berada. Dengan menjadikan sungai sebagai beranda depan, tentunya secara otomatis lingkungan sekitar, termasuk jembatan diharapkan bisa terawat.
Atau dalam kaitan dengan daya tarik wisata, jembatan kuna bisa menjadi daya tarik wisata. Misalnya di kawasan sekitar didirikan kedai-kedai kopi atau bangunan lain untuk memajangg produk -produk UMKM. Atau bisa digunakan sebagai pedesterian atau tempat pejalan kaki alternatif , di tengah kepadatan arus lalin.
Dalam pandangan Rumawan Salain, pemerintah mulai dari Pemkab/Pemkot, Provinsi dan Pusat, secara berjenjang dapat bersinergi untuk mengusulkan jembatan- jembatan kuna sebagai benda cagar budaya. Hal ini bertujuan dalam konteks perlindungan dan perawatan jembatan tersebut. “Tanpa memandang kewenangan terhadap status keberadaan jembatan, saya pikir usulan itu bisa mulai dari kabupaten/kota ke provinsi dari provinsi usulkan ke Pusat,” jelas Rumawan Salain.
Dalam konteks ini revitalisasi jembatan Tukad Buleleng di bekas Pelabuhan Buleleng bisa menjadi referensi. Revitalisasi jembatan Tukad Buleleng tersebut termasuk dalam revitalisasi kawasan ex Pelabuhan Buleleng. Kawasan tersebut kini menjadi salah satu daya tarik dan tujuan destinasi di Bali Utara.
Sebagai situs bersejarah, jembatan di eks Pelabuhan Buleleng, tetap bertahan dan lestari hingga sekarang. “Itu bagian dari saksi peninggalan sejarah dan perjuangan bangsa,” ucap Rumawan Salain, yang bareng menjadi anggota tim pelaksana revitalisasi sekitar tahun 1998. Menurut Rumawan Salain, revitalisasi mendapat bantuan dari Bank Dunia.
Dia juga pun berkisah tentang peran sejarah dari eks Pelabuhan Buleleng, termasuk jembatan kuna yang ada di sana. “ Di sanalah kapal Belanda mendarat, kemudian turun dengan kapal kecil masuk ke kota Singaraja,” terangnya. Kemudian ke Jagaraga sampai Kintamani (Bangli). Di Kintamani, KPM (Koninklijke Paketvaart Maatschapij (Perusahan Pelayaran Kerajaan) pertama kali membangun pesanggrahan di Bali. “Sampai sekarang masih ada bekasnya,” terang dia.
I Gusti Made Warsika, seorang penggiat sejarah dari Kota Semarapura Klungkung, menuturkan jembatan- jembatan kuna itu dibangun pada zaman penjajahan Belanda. Termasuk di Klungkung, diantaranya jembatan Tukad Unda. Pembangunan jembatan – jembatan tersebut bagian dari pembangunan untuk mendukung kelancaran transportasi di Bali. “Pembangunan mulai tahun 1914,” terangnya.
Menurut Gusti Made Warsika, ekonomi dan rintisan pariwisata menjadi salah satu latar belakang pembangunan jembatan dan jalan dimaksud. “Keindahan alam dan keunikan adat dan budaya Bali mulai diperkenalkan Belanda, kepada dunia luar,” jelas Gusti Made Warsika. Dijelaskan Gusti Made Warsika, pemerintah kololnial diperkirakan menyadari keberadaan Bali. Dimana dibanding dengan daerah lain, Bali tidak memiliki kekayaan alam seperti pertambangan misalnya. Namun Bali memiliki kelebihan, pemandangan alam yang indah dan penduduk dengan keunikan tradisi, adat-istiadat dan budaya yang unik.
‘Kelebihan’ Bali inilah dikatakan Gusti Made Warsika, dimanfaatkan Bali dengan merintis pariwisata, untuk semakin memperkenalkan Bali sebagai daya tarik. Untuk itu perlu kemudahan akses, kelancaran sarana transfortasi. Sehingga dibuatlah jalan-jalan untuk memperlancar perhubungan tersebut. Jalan- jalan tersebut dari Karangasem ke Gilimanuk, dari Klungkung ke Bangli, Buleleng dan lainnnya.
Termasuk pembangunan jembatan- jembatan penghubung. Di antaranya, dulu adalah jembatan tua Tukad Unda. Dikatatan jembatan tua Tukad Unda tinggalan Belanda tersebut masih kokoh, sebelum hancur diterjang banjir lahar saat Gunung Agung meletus tahun 1963. Tidak saja untuk rencana akses rintisan ekonomi dan pariwisata di Bali, Gusti Made Warsika menyatakan jalan dan juga jembatan tersebut untuk kepentingan pertahanan. *k17
Komentar