Tari Rejang Tipat Baris Bantal, Penyatuan Purusa dan Pradana Menciptakan Kesuburan
MANGUPURA, NusaBali.com – Tari Rejang Tipat Baris Bantal diturunkan langsung dari Lontar Aci Tabuh Rah Pangangon. Dipercayai konsep tari ini sudah ada sejak dahulu kala, namun baru dimunculkan untuk pertama kali dalam bentuk garapan seni tari.
Pemunculan garapan seni tari ini dilakukan pada pelaksanaan tradisi Aci Tabuh Rah Pangangon ke-683 pada Purnama Kapat, Soma Wage Dukut, Senin (10/10/2022) pukul 15.00 Wita di Madya Mandala Pura Desa lan Puseh Desa Adat Kapal, Banjar Muncan.
Garapan yang dikembangkan dari Tari Rejang dan Baris Gede ini dapat dikatakan sebagai penerjemahan esensi kesakralan tradisi Aci Tabuh Rah Pangangon atau masyarakat awam lebih mengenalnya sebagai siat tipat bantal.
Sebab, tradisi yang bermula dari samedi Mahapatih Kerajaan Bali Kebo Iwa di Kahyangan Jagat Pura Purusadha dalam menghadapi zaman paceklik ini merupakan upacara memohon kesuburan jagat.
Dari samedi tersebut, Kebo Iwa kemudian mendapat pawisik (petunjuk) untuk mengadakan ritual Aci Tabuh Rah Pangangon sehingga rakyatnya dapat keluar dari musibah dan kembali memeroleh kesuburan jagat untuk memeroleh hasil pertanian yang baik.
Menurut Bendesa Adat Kapal I Ketut Sudarsana, tipat dan bantal pada tradisi ini masing-masing melambangkan Pradana (perempuan) dan Purusa (laki-laki). Ketika kedua elemen ini menyatu maka menghasilkan sesuatu yang baru, dalam hal ini kesuburan.
“Ini bagian dari ajaran Samkhya Yoga, di mana ketika dua hal saling bertemu akan menghasilkan sesuatu hal yang baru,” terang Bendesa Sudarsana usai memimpin pelaksanaan tradisi yang sudah dilakukan sejak tahun 1339 tersebut.
Nilai pertemuan Purusa dan Pradana yang menjadi roh tradisi Aci Tabuh Rah Pangangon inilah yang kemudian diejawantahkan ke dalam Tari Rejang Tipat Baris Bantal. Rejang Tipat merepresentasikan kekuatan Pradana sedangkan Baris Bantal menyimbolkan energi Purusa.
Menurut Koordinator Penggarapan Tari Rejang Tipat Baris Bantal, AA Gede Agung Rahma Putra, simbolisasi dari kekuatan ini dapat dilihat dari busana penari. Di mana, 10 penari Rejang Tipat terdapat ketupat yang menempel pada dulang cane dan hiasan kepala mereka sedangkan 10 penari Baris Bantal lainnya terpasang ketupat bantal pada tombak dan juga hiasan kepala.
“Tari ini digarap bersama-sama dengan seluruh seniman di Desa Adat Kapal pada tahun 2022 ini dan kostumnya dibuat sendiri oleh teruna teruni,” ujar pria yang akrab disapa Gung Rama.
Kata Gung Rama, tari ini disiapkan dalam waktu hanya seminggu saja dimulai pada hari Senin (3/10/2022) lalu. Lima hari untuk latihan menari dan tiga hari untuk mempersiapkan busana 20 penari yang berasal dari elemen sekaa teruna di Desa Adat Kapal ini.
Meskipun dipersiapkan dalam waktu singkat, 20 penari yang tidak semua memiliki dasar menari ini berhasil ngayah dengan baik dan menarikan tarian yang diiringi tabuh Selonding ini dengan maksimal. Busana yang dibuat dalam waktu singkat hingga terjaga semalaman suntuk tersebut pun terlihat unik.
Busana tersebut memang terlihat biasa dari segi kain yang digunakan, di mana baik laki-laki maupun perempuan memakai atasan putih dengan kamben gelap. Namun, hiasan yang dipergunakan mampu mencuri perhatian khalayak.
Penari perempuan memakai hiasan kepala terbuat dari janur yang menyerupai sampian. Sedangkan penari laki-laki menggunakan hiasan badan berupa lamak dan hiasan kepala atau gelungan menyerupai gelungan jauk, yang juga terbuat dari janur.
“Kami memakai janur karena di Desa Adat Kapal ini identik dengan perajin janur. Kami memanfaatkan segala potensi yang ada dalam waktu yang serba terbatas,” tegas Gung Rama.
Selain itu, dari segi gerakan pun tari ini menerjemahkan nilai dari Aci Tabuh Rah Pangangon. Pada awal alur tarian, Rejang Tipat mengambil posisi di arah utara membentuk satu baris sedangkan Baris Bantal berada di selatan dengan formasi yang sama.
Setelah memasuki lapangan Madya Mandala Pura Desa lan Puseh Desa Adat Kapal, kedua formasi memecah barisan menjadi dua. Ini melambangkan dua elemen Purusa dan Pradana yang berada di semesta.
Selanjutnya, formasi berubah membentuk lingkaran dan berputar-putar secara terpisah. Gerakan ini merepresentasikan dua elemen yang sedang membangun kekuatan yakni kekuatan Purusa dan Pradana. Kemudian kekuatan kedua elemen tersebut saling ‘bertabrakan’ yang ditandai dengan formasi menyilang dan berpasangan.
“Tarian ini adalah doa. Mudah-mudahan dari doa ini bisa mengantarkan ke Sang Pencipta untuk kesejahteraan rakyat dan dunia,” tutur koordinator penggarapan tari, Gung Rama.
Menurut Gung Rama yang juga lulusan Jalur Penciptaan Tari, Fakultas Seni Pertunjukan ISI Denpasar ini, ke depan tari ini akan dikembangkan dan dipakemkan dengan lebih sempurna sembari mengundang sesepuh Desa Adat Kapal untuk memberikan masukan.
Selain itu, kata Gung Rama, tari ini juga akan disakralkan dan dibuatkan busana permanen berdasarkan petunjuk Bupati Badung I Nyoman Giri Prasta yang turut hadir dalam pelaksanaan ritual tersebut dan Bendesa Adat Kapal I Ketut Sudarsana.
“Harapan kami ke depan, semua banjar dapat ngayah dengan mengirim pasangan perwakilan. Di Desa Adat Kapal ada 18 banjar dan kami harap nanti bisa semua mewakili. Mungkin akan ada 36 penari di masa mendatang,” ucap jebolan Magister Penciptaan Tari ISI Yogyakarta ini.
Selain masalah penyakralan dan jumlah penari, kata Doktor Penciptaan Tari ISI Surakarta ini, nama dari Tari Rejang Tipat dan Baris Bantal pun juga akan dimatangkan untuk memberi kesan yang lebih mendalam ke dalam tari yang nantinya sudah dalam wujud sakral. *rat
Komentar