Mengenang Dua Dasawarsa Tragedi Bom Bali I, Lantunan Doa Lintas Agama dari Kuta
Yenny Wahid menyatakan peringatan 20 tahun Bom Bali jadi momentum memperingati kehidupan, mengingatkan dan menguatkan komitmen memerangi terorisme.
MANGUPURA, NusaBali
Lantunan doa berkumandang di Tugu Peringatan Bom Bali atau biasa disebut Ground Zero di Jalan Raya Legian, Kelurahan/Kecamatan Kuta, Badung, Rabu (12/10) sore sejak pukul 17.00 Wita. Ratusan orang dari berbagai negara tampak khusyuk mengenang Tragedi Bom Bali yang terjadi pada 12 Oktober 2002 silam atau kini genap dua dasa warsa (20 tahun). Sebuah tarian berjudul 'Santhi Maha Paripurna' pun dipersembahkan yang diharapkan bisa menggaungkan perdamaian ke seluruh dunia.
Ketua Lembaga Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Kuta, I Putu Adnyana mengungkapkan kegiatan tersebut diinisiasi pihaknya bersama Kelurahan Kuta dan Yayasan Istri Suami Anak (Isana) Dewata. Menurutnya, doa bersama lintas agama dan juga tarian perdamaian ini dilakukan untuk mengenang tragedi memilukan yang pernah mengguncang wilayah Kuta pada 12 Oktober 2002 silam dan menyebabkan 202 orang dari berbagai negara meninggal dunia.
"Doa dan tarian yang kita laksanakan dengan tema 'Doa dari Bali untuk Dunia'. Intinya dalam doa lintas agama ini untuk menanamkan benih perdamaian dan menjaga persatuan dan kesatuan di negeri ini," kata Adnyana.
Dijelaskannya, untuk rangkaian kegiatan yang digelar oleh LPM Kuta bersama Kelurahan dan Yayasan Isana Dewata ini diawali dengan doa bersama yang dihadiri oleh 6 pemuka agama (Hindu, Islam, Kristen, Katolik, Budha dan Konghucu). Para pemuka agama ini menghaturkan doa sesuai keyakinan masing-masing untuk perdamaian seluruh dunia. Selain itu, doa tersebut juga untuk memupuk persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Adnyana mengakui kalau doa lintas agama ini baru pertamakali dilakukan saat mengenang peringatan tragedi kemanusiaan tersebut. "Kalau sebelumnya memang hanya doa bersama. Tapi, kali ini sesuai dengan tema 'Doa dari Bali untuk Dunia', maka kita gelar doa dari seluruh agama. Setelah itu akan dilanjutkan dengan peletakan karangan bunga dan pemasangan lilin," jelas Adnyana.
Di samping adanya doa lintas agama ini, pihaknya juga menampilkan tarian yang digarap Sanggar Seni Kuta Kumara Agung. Tari 'Santhi Maha Paripurna' yang digarap sejak satu bulan lalu ini memiliki pesan tentang pentingnya kerukunan dan toleransi sebagai wahana mencapai kedamaian. Sehingga pesan tersebut tertuang dalam gerakan para penari. "Tarian perdamaian ini sebagai pesan yang kita berikan dari Kuta untuk dunia. Jadi, meskipun tidak bersuara, namun hanya ditampilkan dengan gerakan, tentu ini memiliki pesan tersirat di sana. Inilah, cara kita mengenang tragedi memilukan, sekaligus pesan perdamaian untuk dunia," tegas Adnyana.
"Hari ini kita menggaungkan perdamaian sehingga bisa saling menghargai satu sama lain dan kita semua dijauhkan dari tragedi kemanusiaan. Pada tahun ini juga kami mengajak para seniman untuk mengemas acara menjadi suatu doa perdamaian," ujarnya.
Selain kepada penyintas dan keluarga korban, doa juga dipanjatkan untuk pemerintah dan negara-negara yang sedang mengalami perang di seluruh dunia, juga demi kesuksesan pertemuan G20 di Pulau Dewata. Di sela kegiatan doa bersama juga dilakukan peletakan bunga, menyalakan 20 lilin, dan tabur bunga di depan Monumen Ground Zero melambangkan 20 tahun Bom Bali 1. Kegiatan doa lintas agama ini dihadiri oleh unsur pemerintah, Konsul dari negera sahabat, dan ribuan masyarakat umum, termasuk wisatawan mancanegara (Wisman).
Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror bersama sejumlah tokoh nasional juga menggelar serangkaian kegiatan untuk mengenang Tragedi Bom Bali I, yakni melepasliarkan 100 ekor tukik dan 100 ekor burung merpati di Merusaka Beach, Nusa Dua, Kelurahan Benoa, Kecamatan Kuta Selatan, Badung. Makan bersama para pelaku sejarah (korban, investigator, petugas keamanan, petugas evakuasi, dan lainnya) di Hotel Merusaka di kawasan ITDC, Nusa Dua. Doa perdamaian dari Bali untuk Indonesia dan dunia di Monumen Perdamaian Ground Zero, Kelurahan/Kecamatan Kuta, Badung dan malam hari pukul 23.05 peringatan detik-detik Bom Bali 1 juga digelar Monumen Ground Zero.
Saat kegiatan pelepasliaran tukik dan burung merpati di Merusaka Beach kemarin pagi dipimpin langsung Kepala Densus 88 Antiteror Irjen Pol Marthinus Hukom juga dihadiri Wakapolda Bali Brigjen Pol I Ketut Suardana dan para pejabat Polri. Juga hadir sejumlah tokoh nasional, seperti anggota pendiri Global Council for Tolerance and Peace Zannuba Ariffah Chafsoh Rahman Wahid (Yenny Wahid), Habib Kribo, serta para korban bersama keluarga.
Irjen Marthinus mengatakan pelepasliaran tukik dan burung merpati kemarin pagi itu dimaknai tiga hal. Pertama, tentang kehidupan. Kegiatan pelepasan tukik dan burung merpati menunjukkan sedang merawat kehidupan. Dikatakannya, kedua hewan yang dilepasliarkan itu melambangkan kehidupan. Setiap orang punya hak untuk hidup, seperti hak untuk makan, sekolah, dan hak untuk apa saja.
"Ketika berbicara hak, yang muncul adalah pengakuan atau orang ingin diakui. Tidak ada manusia lain mempunyai hak untuk mengambil kehidupan orang lain. Tindakan terorisme salah satu penyebab terjadinya karena pengakuan martabat diri sendiri melampaui martabat orang lain," ungkap jenderal bintang dua di pundak ini.
Kedua, tentang kebebasan. Dikatakannya, setiap orang punya hak untuk hidup bebas. Ketika orang menuntut kebebasan harus tahu di mana batas kebebasan itu. Batas kebebasan seseorang ungkap jenderal lulusan Akpol 1991 itu berada di ujung batas kebebasan orang lain. "Itu yang harus kita jaga keseimbangannya. Keseimbangan antara martabat dan kebebasan. Kita berbicara tentang terorisme, intoleransi, dan gesekan yang berujung kekerasan, maka yang terbaik adalah menghormati hak hidup dan martabat. Untuk itu bisa terjadi kita harus hidup berdampingan," ungkapnya.
Ketiga, pelepasliaran tukik dan burung merpati itu juga dimaknai tentang keseimbangan lingkungan. "Ketiga nilai ini berhubungan dengan apa yang kita peringati hari ini, yaitu peringatan 20 tahun Bom Bali I yang merupakan tragedi kemanusiaan merampas hak-hak hidup orang lain atas pengakuan martabat diri sendiri," tandasnya.
Yenny Wahid saat diwawancarai usai mengikuti acara pelepasan tukik, penyu dan burung merpati kemarin menyatakan peringatan 20 tahun bom Bali 1 merupakan momentum untuk memperingati kehidupan, mengingatkan dan menguatkan komitmen memerangi terorisme di Indonesia.
Yenny Wahid yang datang sebagai anggota Global Council for Tolerance and Peace dalam pesan perdamaiannya menyampaikan sebagai suatu bangsa, masyarakat Indonesia mesti memandang toleransi dan kebhinekaan sebagai roh yang melandasi kehidupan keagamaan agar tidak ada lagi tragedi kemanusiaan yang mengatasnamakan agama. "Kita melihat bahwa tragedi Bom Bali menggambarkan bahwa ada pihak-pihak yang mengatasnamakan Tuhan dan melakukan terorisme, melukai orang lain, melukai makhluk ciptaan Tuhan," kata dia di hadapan ratusan kerabat dan saksi tragedi bom Bali 1, serta jajaran Densus 88 Anti Teror Polri yang bertajuk’harmony in diversity’ ini.
Yenny Wahid menyatakan bahwa ungkapan yang pernah digaungkan oleh Gus Dur mestinya juga menginspirasi kehidupan beragama yakni Tuhan tak perlu dibela karena Tuhan dapat membela dirinya sendiri tanpa bantuan manusia apalagi dengan cara-cara kekerasan yang mengatasnamakan Tuhan. Untuk itu, kata Yenny, acara peringatan dua dekade bom Bali 1 menegaskan bahwa cara untuk memuliakan Tuhan adalah dengan melindungi makhluk-Nya.
Yenny yang juga Ketua The Wahid Institute menyebutkan ada banyak faktor yang mendorong orang melakukan tindakan radikalisme salah satunya adalah rasa putus asa. "Gelisah, cemas lalu pesimis menatap masa depan ada perasaan ketidakadilan yang dirasakan dalam masyarakat maupun ketidakadilan yang dilakukannya sendiri. Ini semua faktor yang membuat orang mudah diradikalisasi apalagi bertemu dengan mentor-mentor yang menggunakan bahasa-bahasa yang langsung masuk ke dalam sisi emosinya," kata dia.
Biasanya, kata dia, bahasa yang marak dipakai oleh mentor-mentor radikal adalah bahasa agama dan bahasa politik. Kelompok-kelompok tersebut menggunakan kecemasan orang untuk dipengaruhi dengan ideologi yang radikal yang mengarah kepada tindakan terorisme. "Jadi, begitu orang gelisah, orang cemas kemudian bertemu dengan mentor yang menggunakan bahasa agama maka gampang untuk diradikalisasi. Nah kegelisahan ini mesti kita atasi, apalagi persoalan ketidakadilan," kata dia. Yenny Wahid menambahkan tragedi bom Bali merupakan tragedi kemanusiaan yang sangat mengerikan bagi masyarakat dunia, bangsa Indonesia khususnya masyarakat Bali. *dar, pol, ant
Ketua Lembaga Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Kuta, I Putu Adnyana mengungkapkan kegiatan tersebut diinisiasi pihaknya bersama Kelurahan Kuta dan Yayasan Istri Suami Anak (Isana) Dewata. Menurutnya, doa bersama lintas agama dan juga tarian perdamaian ini dilakukan untuk mengenang tragedi memilukan yang pernah mengguncang wilayah Kuta pada 12 Oktober 2002 silam dan menyebabkan 202 orang dari berbagai negara meninggal dunia.
"Doa dan tarian yang kita laksanakan dengan tema 'Doa dari Bali untuk Dunia'. Intinya dalam doa lintas agama ini untuk menanamkan benih perdamaian dan menjaga persatuan dan kesatuan di negeri ini," kata Adnyana.
Dijelaskannya, untuk rangkaian kegiatan yang digelar oleh LPM Kuta bersama Kelurahan dan Yayasan Isana Dewata ini diawali dengan doa bersama yang dihadiri oleh 6 pemuka agama (Hindu, Islam, Kristen, Katolik, Budha dan Konghucu). Para pemuka agama ini menghaturkan doa sesuai keyakinan masing-masing untuk perdamaian seluruh dunia. Selain itu, doa tersebut juga untuk memupuk persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Adnyana mengakui kalau doa lintas agama ini baru pertamakali dilakukan saat mengenang peringatan tragedi kemanusiaan tersebut. "Kalau sebelumnya memang hanya doa bersama. Tapi, kali ini sesuai dengan tema 'Doa dari Bali untuk Dunia', maka kita gelar doa dari seluruh agama. Setelah itu akan dilanjutkan dengan peletakan karangan bunga dan pemasangan lilin," jelas Adnyana.
Di samping adanya doa lintas agama ini, pihaknya juga menampilkan tarian yang digarap Sanggar Seni Kuta Kumara Agung. Tari 'Santhi Maha Paripurna' yang digarap sejak satu bulan lalu ini memiliki pesan tentang pentingnya kerukunan dan toleransi sebagai wahana mencapai kedamaian. Sehingga pesan tersebut tertuang dalam gerakan para penari. "Tarian perdamaian ini sebagai pesan yang kita berikan dari Kuta untuk dunia. Jadi, meskipun tidak bersuara, namun hanya ditampilkan dengan gerakan, tentu ini memiliki pesan tersirat di sana. Inilah, cara kita mengenang tragedi memilukan, sekaligus pesan perdamaian untuk dunia," tegas Adnyana.
"Hari ini kita menggaungkan perdamaian sehingga bisa saling menghargai satu sama lain dan kita semua dijauhkan dari tragedi kemanusiaan. Pada tahun ini juga kami mengajak para seniman untuk mengemas acara menjadi suatu doa perdamaian," ujarnya.
Selain kepada penyintas dan keluarga korban, doa juga dipanjatkan untuk pemerintah dan negara-negara yang sedang mengalami perang di seluruh dunia, juga demi kesuksesan pertemuan G20 di Pulau Dewata. Di sela kegiatan doa bersama juga dilakukan peletakan bunga, menyalakan 20 lilin, dan tabur bunga di depan Monumen Ground Zero melambangkan 20 tahun Bom Bali 1. Kegiatan doa lintas agama ini dihadiri oleh unsur pemerintah, Konsul dari negera sahabat, dan ribuan masyarakat umum, termasuk wisatawan mancanegara (Wisman).
Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror bersama sejumlah tokoh nasional juga menggelar serangkaian kegiatan untuk mengenang Tragedi Bom Bali I, yakni melepasliarkan 100 ekor tukik dan 100 ekor burung merpati di Merusaka Beach, Nusa Dua, Kelurahan Benoa, Kecamatan Kuta Selatan, Badung. Makan bersama para pelaku sejarah (korban, investigator, petugas keamanan, petugas evakuasi, dan lainnya) di Hotel Merusaka di kawasan ITDC, Nusa Dua. Doa perdamaian dari Bali untuk Indonesia dan dunia di Monumen Perdamaian Ground Zero, Kelurahan/Kecamatan Kuta, Badung dan malam hari pukul 23.05 peringatan detik-detik Bom Bali 1 juga digelar Monumen Ground Zero.
Saat kegiatan pelepasliaran tukik dan burung merpati di Merusaka Beach kemarin pagi dipimpin langsung Kepala Densus 88 Antiteror Irjen Pol Marthinus Hukom juga dihadiri Wakapolda Bali Brigjen Pol I Ketut Suardana dan para pejabat Polri. Juga hadir sejumlah tokoh nasional, seperti anggota pendiri Global Council for Tolerance and Peace Zannuba Ariffah Chafsoh Rahman Wahid (Yenny Wahid), Habib Kribo, serta para korban bersama keluarga.
Irjen Marthinus mengatakan pelepasliaran tukik dan burung merpati kemarin pagi itu dimaknai tiga hal. Pertama, tentang kehidupan. Kegiatan pelepasan tukik dan burung merpati menunjukkan sedang merawat kehidupan. Dikatakannya, kedua hewan yang dilepasliarkan itu melambangkan kehidupan. Setiap orang punya hak untuk hidup, seperti hak untuk makan, sekolah, dan hak untuk apa saja.
"Ketika berbicara hak, yang muncul adalah pengakuan atau orang ingin diakui. Tidak ada manusia lain mempunyai hak untuk mengambil kehidupan orang lain. Tindakan terorisme salah satu penyebab terjadinya karena pengakuan martabat diri sendiri melampaui martabat orang lain," ungkap jenderal bintang dua di pundak ini.
Kedua, tentang kebebasan. Dikatakannya, setiap orang punya hak untuk hidup bebas. Ketika orang menuntut kebebasan harus tahu di mana batas kebebasan itu. Batas kebebasan seseorang ungkap jenderal lulusan Akpol 1991 itu berada di ujung batas kebebasan orang lain. "Itu yang harus kita jaga keseimbangannya. Keseimbangan antara martabat dan kebebasan. Kita berbicara tentang terorisme, intoleransi, dan gesekan yang berujung kekerasan, maka yang terbaik adalah menghormati hak hidup dan martabat. Untuk itu bisa terjadi kita harus hidup berdampingan," ungkapnya.
Ketiga, pelepasliaran tukik dan burung merpati itu juga dimaknai tentang keseimbangan lingkungan. "Ketiga nilai ini berhubungan dengan apa yang kita peringati hari ini, yaitu peringatan 20 tahun Bom Bali I yang merupakan tragedi kemanusiaan merampas hak-hak hidup orang lain atas pengakuan martabat diri sendiri," tandasnya.
Yenny Wahid saat diwawancarai usai mengikuti acara pelepasan tukik, penyu dan burung merpati kemarin menyatakan peringatan 20 tahun bom Bali 1 merupakan momentum untuk memperingati kehidupan, mengingatkan dan menguatkan komitmen memerangi terorisme di Indonesia.
Yenny Wahid yang datang sebagai anggota Global Council for Tolerance and Peace dalam pesan perdamaiannya menyampaikan sebagai suatu bangsa, masyarakat Indonesia mesti memandang toleransi dan kebhinekaan sebagai roh yang melandasi kehidupan keagamaan agar tidak ada lagi tragedi kemanusiaan yang mengatasnamakan agama. "Kita melihat bahwa tragedi Bom Bali menggambarkan bahwa ada pihak-pihak yang mengatasnamakan Tuhan dan melakukan terorisme, melukai orang lain, melukai makhluk ciptaan Tuhan," kata dia di hadapan ratusan kerabat dan saksi tragedi bom Bali 1, serta jajaran Densus 88 Anti Teror Polri yang bertajuk’harmony in diversity’ ini.
Yenny Wahid menyatakan bahwa ungkapan yang pernah digaungkan oleh Gus Dur mestinya juga menginspirasi kehidupan beragama yakni Tuhan tak perlu dibela karena Tuhan dapat membela dirinya sendiri tanpa bantuan manusia apalagi dengan cara-cara kekerasan yang mengatasnamakan Tuhan. Untuk itu, kata Yenny, acara peringatan dua dekade bom Bali 1 menegaskan bahwa cara untuk memuliakan Tuhan adalah dengan melindungi makhluk-Nya.
Yenny yang juga Ketua The Wahid Institute menyebutkan ada banyak faktor yang mendorong orang melakukan tindakan radikalisme salah satunya adalah rasa putus asa. "Gelisah, cemas lalu pesimis menatap masa depan ada perasaan ketidakadilan yang dirasakan dalam masyarakat maupun ketidakadilan yang dilakukannya sendiri. Ini semua faktor yang membuat orang mudah diradikalisasi apalagi bertemu dengan mentor-mentor yang menggunakan bahasa-bahasa yang langsung masuk ke dalam sisi emosinya," kata dia.
Biasanya, kata dia, bahasa yang marak dipakai oleh mentor-mentor radikal adalah bahasa agama dan bahasa politik. Kelompok-kelompok tersebut menggunakan kecemasan orang untuk dipengaruhi dengan ideologi yang radikal yang mengarah kepada tindakan terorisme. "Jadi, begitu orang gelisah, orang cemas kemudian bertemu dengan mentor yang menggunakan bahasa agama maka gampang untuk diradikalisasi. Nah kegelisahan ini mesti kita atasi, apalagi persoalan ketidakadilan," kata dia. Yenny Wahid menambahkan tragedi bom Bali merupakan tragedi kemanusiaan yang sangat mengerikan bagi masyarakat dunia, bangsa Indonesia khususnya masyarakat Bali. *dar, pol, ant
Komentar