Joging Trek Sudamala Sukawati
Banyak desa sedang getol mengembangkan diri untuk tampil memikat, biar orang-orang datang, piknik, dan selfie.
Ada yang sengaja membangunnya khusus buat kaum plesir, ada pula desa yang memang alamnya memikat untuk dikunjungi, tidak diapakan pun sudah indah. Hamparan sawah meneduhkan, memanjakan mata, menenangkan batin dan pikiran.
Kepala Desa Sukawati, Dewa Gede Dwi Putra, acap mengunjungi sawah-sawah di desa yang dipimpinnya. Tentu ia terpesona oleh keindahan sawah-sawah itu, tapi juga terenyuh jika menyaksikan para petani harus tertatih menggotong pupuk dan hasil panen jauh dari jalan utama melewati pematang. Betapa berat beban kaum tani itu.
Tahun 2018 Dwi Putra memulai pembangunan jalan setapak di antara petak-petak sawah, mengeraskannya dengan paving. Jalan selebar kurang dua meter itu pun menjadi jalan usaha tani, melintasi tiga subak: Laud, Senguan, dan Abasan. Petani bisa memanfaatkan sepeda motor untuk mengangkut pupuk dan hasil panen.
Lambat laun, tidak cuma para petani memanfaatkan jalan usaha tani itu, juga warga yang suka berolahraga. Jalan paving berkelok-kelok itu pun kemudian dimanfaatkan warga untuk joging. “Jika Sabtu dan Minggu, jalan usaha tani ini menjadi joging trek, sangat ramai,” ujar Dwi Putra. Joging trek itu pun kemudian berkembang menjadi trek wisata, diberi nama joging trek Sudamala. Dekat sungai dibangun rumah pohon, gubuk-gubuk kuliner bermunculan.
Di tengah persawahan itu bukan cuma petani yang hadir, juga orang-orang yang melepas penat, berolahraga, bercengkerama bertemu teman-teman dan kerabat. Di tengah sawah di Sukawati pun mudah kita menemui petani berbaur dengan pegawai negeri, pedagang, guru, atau pemandu wisata. Mereka asyik berbincang. Si petani berpakaian kumal, bercapil anyaman bolong-bolong, sementara yang asyik joging mengenakan pakaian olahraga necis, berkelakar dengan teman.
Peluh petani asem, keringat para pejalan kaki bercampur parfum menebar harum. Jika ada yang hendak menyaksikan bagaimana yang alami dan buatan bercampur di antara petak sawah, pantas tamasya ke joging trek Sudamala.
Banyak petani berpeluh menandur bibit, pada saat sama tubuh-tubuh langsing terayun-ayun dan pinggul padat bergoyang-goyang di pematang sawah. Lelaki berbadan kekar, wajah cantik dan rupawan, berseliweran di antara kaum petani yang mengenakan kaos oblong kumal, namun para pejalan kaki itu mengenakan kaos dan topi bermerk. Mereka yang senang menyaksikan perpaduan atas-bawah, halus-kasar, kerja keras dan santai, cocok datang ke joging trek Sudamala di Sukawati. Bisa kita saksikan kelas rakyat berbaur dengan kelas menengah dan atas.
Tapi, kuliner yang hadir di joging trek itu semuanya kelas rakyat. Selain murah, juga lezat. Banyak pengunjung bilang, di sini kulinernya sesuai selera. Ada bakso, tipat santok, gurami, tahu goreng, pelecing, ikan bakar. Ini menu biasa, tapi jadi nikmat disantap di tengah sawah. Mereka yang menikmati hidangan di warung Temuku Gede misalnya, dimanjakan dengan minuman hangat teh jamur bercampur sereh, kunyit dan jeruk nipis. “Tipat tahu sukawati dan minuman herbal memang favorit di warung ini,” ujar Kadek Nuriani, pengelola Temuku Gede.
Pelanggan warung ini banyak datang menjelang petang dan betah duduk-duduk hingga malam. Mereka mengaku merasakan ketenangan, bisa menyaksikan langit terang berbintang, dan menikmati musik air dari sungai yang mengalir deras dekat warung. Jika siang angin semilir, pandang bisa dilepas menerawang jauh ke selatan, ke hamparan sawah, hingga menatap sayup-sayup laut selat yang memisahkan Nusa Penida dan Bali.
Alam Bali, sawah-sawahnya, memang aduhai memikat. Pemandangannya gampang dijual, mudah mendatangkan uang. Ini bisa menjadi keberuntungan yang menerbitkan kesedihan kalau pemilik tak kuat menahan diri dari bujuk rayu orang berkantong tebal. Sawah-sawah itu gampang beralih tuan, kemudian beralih fungsi.
Semoga sawah-sawah yang dilintasi joging trek Sudamala terhindar dari hal-hal demikian. “Kami cuma membuat joging trek selebar dua meter,” ujar Dwi Putra. “Sehingga cuma roda dua yang bisa melintas. Begitu cara kami menekan alih fungsi lahan.” Tapi, siapa tahu? *
Aryantha Soethama
Kepala Desa Sukawati, Dewa Gede Dwi Putra, acap mengunjungi sawah-sawah di desa yang dipimpinnya. Tentu ia terpesona oleh keindahan sawah-sawah itu, tapi juga terenyuh jika menyaksikan para petani harus tertatih menggotong pupuk dan hasil panen jauh dari jalan utama melewati pematang. Betapa berat beban kaum tani itu.
Tahun 2018 Dwi Putra memulai pembangunan jalan setapak di antara petak-petak sawah, mengeraskannya dengan paving. Jalan selebar kurang dua meter itu pun menjadi jalan usaha tani, melintasi tiga subak: Laud, Senguan, dan Abasan. Petani bisa memanfaatkan sepeda motor untuk mengangkut pupuk dan hasil panen.
Lambat laun, tidak cuma para petani memanfaatkan jalan usaha tani itu, juga warga yang suka berolahraga. Jalan paving berkelok-kelok itu pun kemudian dimanfaatkan warga untuk joging. “Jika Sabtu dan Minggu, jalan usaha tani ini menjadi joging trek, sangat ramai,” ujar Dwi Putra. Joging trek itu pun kemudian berkembang menjadi trek wisata, diberi nama joging trek Sudamala. Dekat sungai dibangun rumah pohon, gubuk-gubuk kuliner bermunculan.
Di tengah persawahan itu bukan cuma petani yang hadir, juga orang-orang yang melepas penat, berolahraga, bercengkerama bertemu teman-teman dan kerabat. Di tengah sawah di Sukawati pun mudah kita menemui petani berbaur dengan pegawai negeri, pedagang, guru, atau pemandu wisata. Mereka asyik berbincang. Si petani berpakaian kumal, bercapil anyaman bolong-bolong, sementara yang asyik joging mengenakan pakaian olahraga necis, berkelakar dengan teman.
Peluh petani asem, keringat para pejalan kaki bercampur parfum menebar harum. Jika ada yang hendak menyaksikan bagaimana yang alami dan buatan bercampur di antara petak sawah, pantas tamasya ke joging trek Sudamala.
Banyak petani berpeluh menandur bibit, pada saat sama tubuh-tubuh langsing terayun-ayun dan pinggul padat bergoyang-goyang di pematang sawah. Lelaki berbadan kekar, wajah cantik dan rupawan, berseliweran di antara kaum petani yang mengenakan kaos oblong kumal, namun para pejalan kaki itu mengenakan kaos dan topi bermerk. Mereka yang senang menyaksikan perpaduan atas-bawah, halus-kasar, kerja keras dan santai, cocok datang ke joging trek Sudamala di Sukawati. Bisa kita saksikan kelas rakyat berbaur dengan kelas menengah dan atas.
Tapi, kuliner yang hadir di joging trek itu semuanya kelas rakyat. Selain murah, juga lezat. Banyak pengunjung bilang, di sini kulinernya sesuai selera. Ada bakso, tipat santok, gurami, tahu goreng, pelecing, ikan bakar. Ini menu biasa, tapi jadi nikmat disantap di tengah sawah. Mereka yang menikmati hidangan di warung Temuku Gede misalnya, dimanjakan dengan minuman hangat teh jamur bercampur sereh, kunyit dan jeruk nipis. “Tipat tahu sukawati dan minuman herbal memang favorit di warung ini,” ujar Kadek Nuriani, pengelola Temuku Gede.
Pelanggan warung ini banyak datang menjelang petang dan betah duduk-duduk hingga malam. Mereka mengaku merasakan ketenangan, bisa menyaksikan langit terang berbintang, dan menikmati musik air dari sungai yang mengalir deras dekat warung. Jika siang angin semilir, pandang bisa dilepas menerawang jauh ke selatan, ke hamparan sawah, hingga menatap sayup-sayup laut selat yang memisahkan Nusa Penida dan Bali.
Alam Bali, sawah-sawahnya, memang aduhai memikat. Pemandangannya gampang dijual, mudah mendatangkan uang. Ini bisa menjadi keberuntungan yang menerbitkan kesedihan kalau pemilik tak kuat menahan diri dari bujuk rayu orang berkantong tebal. Sawah-sawah itu gampang beralih tuan, kemudian beralih fungsi.
Semoga sawah-sawah yang dilintasi joging trek Sudamala terhindar dari hal-hal demikian. “Kami cuma membuat joging trek selebar dua meter,” ujar Dwi Putra. “Sehingga cuma roda dua yang bisa melintas. Begitu cara kami menekan alih fungsi lahan.” Tapi, siapa tahu? *
Aryantha Soethama
1
Komentar