Tarik Minat Remaja Bali Tekuni Tari Tradisi, Siapkan Dulu Pasarnya
DENPASAR, NusaBali.com – Tidak dapat dipungkiri, dewasa ini minat para remaja untuk menekuni tari tradisional mulai menurun. Salah satu sebabnya adalah kuatnya penetrasi budaya luar terutama Korean Wave.
Kekuatan pengaruh budaya Korea dengan K-Pop dan K-Industry mengalihkan dunia para remaja khususnya dalam bidang seni olah gerak tubuh mengikuti tren budaya Korea. Selain itu, menekuni tari modern versi Korea ini pun memiliki peminat yang banyak sehingga dapat menjamin karier mereka apabila memutuskan menyeriusi hal tersebut.
Namun, sebenarnya para remaja ini pun dikatakan masih peduli dengan tari tradisi, hanya saja mereka akan berpikir ulang ketika mengetahui bahwa pasar tari tradisional tidak cukup mampu menjamin karier mereka di masa mendatang.
Pandangan ini dikemukakan oleh seorang produser seni independen Restu Imansari Kusumaningrum ketika menjadi salah satu pembicara dalam kegiatan Timbang Rasa (Sarasehan) Festival Seni Bali Jani (FSBJ) IV bertempat di Gedung Citta Kalangen, ISI Denpasar, Minggu (16/10/2022) pagi.
Diskusi yang dilakukan secara luring dan daring ini mengangkat tema ‘Kreativitas Tari Bali dari Tradisi ke Modern: Upaya Penciptaan Baru’ dan diikuti lebih dari 100 peserta.
Menurut Restu Imansari, budaya Negeri Ginseng itu sudah signifikan memengaruhi generasi remaja selama tiga tahun belakangan ini. Ia pun merasa tidak heran apabila generasi kiwari akhirnya lebih condong ke arah tren yang diciptakan di Korea.
“Jelas tidak ada yang mau menekuni itu (tari tradisional). Kalaupun ada mereka pasti berpikir ulang, karena pasarnya di mana?” terang wanita yang pernah berlatih tari Bali di Sanggar Tirtasari Peliatan, Kecamatan Ubud, Gianyar ini melalui siaran daring.
Ketidakmampuan dalam menentukan dan menciptakan pasar bagi ruang ekspresi tari tradisional ini menjadi salah satu faktor akselerasi penurunan minat generasi remaja menekuninya.
Produser seni pertunjukan tari yang sudah pernah bekerja sama dengan seniman Korea Selatan untuk menggarap fenomena Bissu dalam masyarakat Bugis ini mencontohkan bahwa Korean Wave yang ada saat ini bukanlah suatu kebetulan.
Kata Restu Imansari, Korean Wave sudah direncanakan dengan matang selama bertahun-tahun oleh suatu badan industri kreatif di Korea Selatan. Hasilnya dapat dilihat seperti sekarang ini, di mana Korean Wave memberikan sumbangsih besar terhadap pendapatan dari ekonomi kreatif mereka.
“Nah, kita bisa tidak menyiapkan pasar untuk tari tradisi ini sehingga yang mau menekuni tari itu berminat masuk ke tari tradisi?” kata Restu Imansari.
Menurut Restu, Indonesia khususnya Bali sendiri memiliki potensi untuk melakukan hal yang sama lantaran modalnya sudah ada yakni aset budaya yang dimiliki selama ini. Tentu, kata Restu Imansari, formatnya harus dibedakan karena aset ini berkaitan dengan nilai tradisi yang melekat dan harus dijaga dalam setiap bentuk aset budaya tersebut.
Restu juga menyarankan agar para sekaa gong dan tari yang ada di banjar-banjar di Bali diberikan subsidi baik dari CSR swasta maupun program pemerintah. Hal ini dilakukan untuk menghidupkan kembali banjar yang dahulu sempat menjadi pusat kegiatan seni.
Dengan ini, pasar bagi tari tradisional pun akan terbentuk karena wadah untuk berekspresi dan keberlangsungannya menjadi sedikit lebih terjamin. Selanjutnya bagaimana para remaja ini diarahkan sebagai pelopor pelestarian tari tradisional dan aset budaya bangsa lainnya. *rat
Komentar