Akhir Abad 19 Teater Modern Sudah Hadir di Bali
Dari Sarasehan Tinjauan Historis Teater Modern di Bali, Festival Seni Bali Jani 2022
Surat kabar Makassar Koran dan Bintang Barat pada tahun 1895 melaporkan adanya grup Sri Stambul yang singgah di Buleleng, Bali melakukan pementasan.
DENPASAR, NusaBali
Kesenian teater modern ternyata bukan datang dalam hitungan tahun ataupun puluhan tahun di Pulau Dewata, namun sudah ratusan tahun lamanya. Stambul, pertunjukan modern perpaduan timur dan barat dianggap berasal dari Turki, sudah hadir di Bali pada akhir abad ke 19, sekitar tahun 1895.
Demikian diungkap Guru Besar Sastra Indonesia Universitas Udayana (Unud) Prof Nyoman Darma Putra MLitt PhD, ketika berlaku sebagai narasumber pada timbang rasa (sarasehan) bertajuk 'Tinjauan Historis Teater Modern di Bali' serangkaian Festival Seni Bali Jani (FSBJ) IV Tahun 2022 di Gedung Citta Kelangen ISI Denpasar, Sabtu (15/10).
"Seni (teater) modern sudah ada cukup lama tidak kalah lamanya dengan seni (teater) tradisional," ungkap Prof Darma Putra. Prof Darma Putra mengatakan surat kabar Makassar Koran dan Bintang Barat pada tahun 1895 melaporkan adanya grup Sri Stambul yang singgah di Buleleng, Bali melakukan pementasan. Itu merupakan bukti tertua yang ditemukan saat ini mencatat keberadaan teater modern di Pulau Bali.
Lebih lanjut diceritakan pada 1903 di Singaraja juga sudah ada semacam drama modern yang disebut Komedi Cina yang dipentaskan satu bulan lamanya di halaman seorang saudagar Cina di Buleleng. Sementara itu Stambul tampaknya sudah mulai dilakoni pemuda Bali yang saat itu melanjutkan pendidikan tinggi di Pulau Jawa. Ketika libur kuliah pulang ke Bali mereka melakukan pementasan stambul untuk mencari donasi biaya kuliah. Pelajar-pelajar luar itu membuat organisasi bernama Stambul HUDVO.
Surat kabar Suryakanta yang terbit 1925-1927 ternyata juga pernah memuat naskah drama (tonil) judulnya Kesetiaan Perempuan. Menunjukkan adanya jejak-jejak teater modern pada masa kolonial tersebut.
Stambul pelan-pelan juga merasuki drama tradisional Bali seperti misalnya Janger. Menurut Prof Darma Putra, seniman asal Jerman Walter Spies yang lama menetap di Bali sekitar 1930, dalam bukunya mengatakan seniman janger Bali dalam pementasannya ada yang sudah mengenakan pakaian ala eropa. "Pemainnya menggunakan stoking, mengenakan celana sepakbola jauh sekali dari pakaian tradisional Bali," papar Prof Darma Putra.
Merasuknya teater modern pada masa kolonial juga sudah terlihat pada pementasan Arja Bali pada tahun 1930. Arja Bali merupakan seni drama (opera) tradisional yang biasanya menggunakan lakon Kahuripan, Kediri, Daha, atau cerita panji lainnya. Akan tetapi pada saat itu sudah ada yang menggunakan lakon di luar pakem seperti lakon Nyai Dasima.
"Di Bali yang sebelumnya kita kenal kaya akan seni tradisi gamelan, legong, seni lukis, ternyata memendam sejarah teater yang tidak kalah serunya," kata Prof Darma Putra. *cr78
Demikian diungkap Guru Besar Sastra Indonesia Universitas Udayana (Unud) Prof Nyoman Darma Putra MLitt PhD, ketika berlaku sebagai narasumber pada timbang rasa (sarasehan) bertajuk 'Tinjauan Historis Teater Modern di Bali' serangkaian Festival Seni Bali Jani (FSBJ) IV Tahun 2022 di Gedung Citta Kelangen ISI Denpasar, Sabtu (15/10).
"Seni (teater) modern sudah ada cukup lama tidak kalah lamanya dengan seni (teater) tradisional," ungkap Prof Darma Putra. Prof Darma Putra mengatakan surat kabar Makassar Koran dan Bintang Barat pada tahun 1895 melaporkan adanya grup Sri Stambul yang singgah di Buleleng, Bali melakukan pementasan. Itu merupakan bukti tertua yang ditemukan saat ini mencatat keberadaan teater modern di Pulau Bali.
Lebih lanjut diceritakan pada 1903 di Singaraja juga sudah ada semacam drama modern yang disebut Komedi Cina yang dipentaskan satu bulan lamanya di halaman seorang saudagar Cina di Buleleng. Sementara itu Stambul tampaknya sudah mulai dilakoni pemuda Bali yang saat itu melanjutkan pendidikan tinggi di Pulau Jawa. Ketika libur kuliah pulang ke Bali mereka melakukan pementasan stambul untuk mencari donasi biaya kuliah. Pelajar-pelajar luar itu membuat organisasi bernama Stambul HUDVO.
Surat kabar Suryakanta yang terbit 1925-1927 ternyata juga pernah memuat naskah drama (tonil) judulnya Kesetiaan Perempuan. Menunjukkan adanya jejak-jejak teater modern pada masa kolonial tersebut.
Stambul pelan-pelan juga merasuki drama tradisional Bali seperti misalnya Janger. Menurut Prof Darma Putra, seniman asal Jerman Walter Spies yang lama menetap di Bali sekitar 1930, dalam bukunya mengatakan seniman janger Bali dalam pementasannya ada yang sudah mengenakan pakaian ala eropa. "Pemainnya menggunakan stoking, mengenakan celana sepakbola jauh sekali dari pakaian tradisional Bali," papar Prof Darma Putra.
Merasuknya teater modern pada masa kolonial juga sudah terlihat pada pementasan Arja Bali pada tahun 1930. Arja Bali merupakan seni drama (opera) tradisional yang biasanya menggunakan lakon Kahuripan, Kediri, Daha, atau cerita panji lainnya. Akan tetapi pada saat itu sudah ada yang menggunakan lakon di luar pakem seperti lakon Nyai Dasima.
"Di Bali yang sebelumnya kita kenal kaya akan seni tradisi gamelan, legong, seni lukis, ternyata memendam sejarah teater yang tidak kalah serunya," kata Prof Darma Putra. *cr78
1
Komentar