Ramai-Ramai PHK Massal, Pabrik Sampai Hotel Pangkas Karyawan
JAKARTA, NusaBali
Ternyata, bisnis hotel di dalam negeri belum mengalami pemulihan sejak terpukul akibat pandemi Covid-19.
Di saat bersamaan, sektor ini pun terancam bakal terkena dampak efek domino resesi global di tahun 2023. Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran mengatakan, industri pariwisata termasuk bisnis hotel di Tanah Air saat ini masih rentan.
Karena itu, dia berharap, pemerintah fokus memberlakukan kebijakan yang bisa mencegah kembali ambruknya bisnis pariwisata dan hotel di dalam negeri.
Apalagi, lanjut dia, hingga saat ini, belum semua tenaga kerja yang sempat di-PHK akibat pandemi, kembali bekerja. Bahkan, kata dia, efisiensi masih terus berlanjut.
"Di hotel itu, serapan tenaga kerja saat ini masih sekitar 40%," kata Yusran seperti dilansir CNBC Indonesia, Selasa (18/10).
Dia menjelaskan, jumlah tenaga kerja di hotel saat ini berkurang setengah. Hal itu, kata dia, akibat efisiensi.
"Sampai tahun 2020, rasio tenaga kerja di hotel itu 1 banding 0,7. Lalu sejak tahun 2020 sampai sekarang, turun jadi 1 banding 0,3. Jadi kalau kamar 100, jumlah karyawannya itu berarti 70 orang dengan rasio 1:0,7. Sekarang dengan rasio 1:0,3. Jumlah karyawannya hanya 30 orang," kata Yusran.
Akibat pengurangan itu, ujarnya, karyawan hotel saat ini 'wajib' memiliki keahlian 'multitasking'. Artinya, harus mengerjakan dan bisa melakukan berbagai bidang pekerjaan.
"Tadinya 1 kamar itu dikerjakan beberapa staf, kini hanya 1-2 orang," ujarnya. "Ini menunjukkan, bisnis ini masih rentan. Sektor pariwisata kita itu masih fragile. Memang, traffic naik jika dibandingkan tahun 2021. Tapi, kondisi keuangan mereka belum pulih," tambah dia.
Untuk itu, Maulana meminta, kebijakan anggaran pemerintah tahun 2023, fokus mendukung penciptaan pasar di dalam negeri. Apalagi, saat ini, kata dia, ada ancaman resesi global, sehingga penguatan pariwisata domestik harus dilakukan.
Seperti diketahui, efisiensi tenaga kerja kini tengah menjadi 'tren'. Sekjen Asosiasi Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengungkapkan, industri tekstil dan produk tekstil (TPT) saat ini tengah menghadapi 'pukulan' serupa ketika pandemi Covid-19 merebak.
"Sekarang banyak cancel order (pembatalan pembelian). Kalau melihat kondisi dunia saat ini, sepertinya tidak ada tanda-tanda ekspor akan membaik dalam 1-2 bulan ini," kata Redma kepada CNBC Indonesia dikutip Selasa (18/10).
Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) DKI Jakarta Nurjaman mengungkapkan, mengatakan, selama 2 tahun, sektor usaha harus tiarap akibat pandemi Covid-19.
Kegiatan produksi terhenti, sementara beban biaya tetap harus dibayarkan. Akibatnya, kata dia, efisiensi termasuk merumahkan hingga memangkas (PHK) karyawan jadi langkah yang ditempuh perusahaan.
"BBM naik, harga jual naik. Mau nggak mau ini akan mempengaruhi daya beli masyarakat. Yang akan mengurangi pembelian. Akibatnya, stok barang akan tinggi," kata dia.
Jika stok barang masih banyak, akan menahan laju produksi perusahaan. "Akibatnya, mau nggak mau terjadi efisiensi, pengurangan karyawan. Siklusnya seperti itu," kata Nurjaman.
Karena itu, dia berharap, pemerintah fokus memberlakukan kebijakan yang bisa mencegah kembali ambruknya bisnis pariwisata dan hotel di dalam negeri.
Apalagi, lanjut dia, hingga saat ini, belum semua tenaga kerja yang sempat di-PHK akibat pandemi, kembali bekerja. Bahkan, kata dia, efisiensi masih terus berlanjut.
"Di hotel itu, serapan tenaga kerja saat ini masih sekitar 40%," kata Yusran seperti dilansir CNBC Indonesia, Selasa (18/10).
Dia menjelaskan, jumlah tenaga kerja di hotel saat ini berkurang setengah. Hal itu, kata dia, akibat efisiensi.
"Sampai tahun 2020, rasio tenaga kerja di hotel itu 1 banding 0,7. Lalu sejak tahun 2020 sampai sekarang, turun jadi 1 banding 0,3. Jadi kalau kamar 100, jumlah karyawannya itu berarti 70 orang dengan rasio 1:0,7. Sekarang dengan rasio 1:0,3. Jumlah karyawannya hanya 30 orang," kata Yusran.
Akibat pengurangan itu, ujarnya, karyawan hotel saat ini 'wajib' memiliki keahlian 'multitasking'. Artinya, harus mengerjakan dan bisa melakukan berbagai bidang pekerjaan.
"Tadinya 1 kamar itu dikerjakan beberapa staf, kini hanya 1-2 orang," ujarnya. "Ini menunjukkan, bisnis ini masih rentan. Sektor pariwisata kita itu masih fragile. Memang, traffic naik jika dibandingkan tahun 2021. Tapi, kondisi keuangan mereka belum pulih," tambah dia.
Untuk itu, Maulana meminta, kebijakan anggaran pemerintah tahun 2023, fokus mendukung penciptaan pasar di dalam negeri. Apalagi, saat ini, kata dia, ada ancaman resesi global, sehingga penguatan pariwisata domestik harus dilakukan.
Seperti diketahui, efisiensi tenaga kerja kini tengah menjadi 'tren'. Sekjen Asosiasi Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengungkapkan, industri tekstil dan produk tekstil (TPT) saat ini tengah menghadapi 'pukulan' serupa ketika pandemi Covid-19 merebak.
"Sekarang banyak cancel order (pembatalan pembelian). Kalau melihat kondisi dunia saat ini, sepertinya tidak ada tanda-tanda ekspor akan membaik dalam 1-2 bulan ini," kata Redma kepada CNBC Indonesia dikutip Selasa (18/10).
Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) DKI Jakarta Nurjaman mengungkapkan, mengatakan, selama 2 tahun, sektor usaha harus tiarap akibat pandemi Covid-19.
Kegiatan produksi terhenti, sementara beban biaya tetap harus dibayarkan. Akibatnya, kata dia, efisiensi termasuk merumahkan hingga memangkas (PHK) karyawan jadi langkah yang ditempuh perusahaan.
"BBM naik, harga jual naik. Mau nggak mau ini akan mempengaruhi daya beli masyarakat. Yang akan mengurangi pembelian. Akibatnya, stok barang akan tinggi," kata dia.
Jika stok barang masih banyak, akan menahan laju produksi perusahaan. "Akibatnya, mau nggak mau terjadi efisiensi, pengurangan karyawan. Siklusnya seperti itu," kata Nurjaman.
Komentar