MUTIARA WEDA : Multi Tafsir
Wanita sebenarnya adalah seorang sarjana dan pengajar
Stri hi brahma babhuvitha
(Rgveda, 33.19)
Membaca dan memahami mantra di atas terkadang memerlukan interpretasi dan spekulasi, sehingga tidak tertutup kemungkinan adanya ragam paham dan pengertian. Meskipun mantra Veda adalah wahyu Tuhan yang tidak bisa dibantah kebenarannya, namun ketika dibaca, setiap orang akan menerima tampilan yang berbeda. Ini tidak bisa dipungkiri terjadi sehingga terkadang kita sering berdebat dan bahkan saling serang beradu argumen dan pendapat untuk menyatakan bahwa pemahaman kita adalah sesuai dengan aslinya sementara yang lainnya melenceng dari yang sebenarnya. Tetapi, apakah teks itu yang memiliki banyak wajah sehingga dipersepsi berbeda-beda atau kita yang membawa kacamata yang berbeda? Jika kita lihat lebih dalam, jawaban yang lebih jujur mengatakan bahwa teks itu eksis apa adanya, tetapi oleh karena kacamata kita, perbedaan pandangan terhadap teks yang sama bisa muncul.
Seumpama kita ingin mengiterpretasi teks di atas, beberapa kemungkinan pemahaman bisa muncul. Seperti misalnya, pertama, atas dasar teks itu, wanita sebenarnya sejajar dengan laki-laki. Wanita memiliki hak untuk pendapatkan pendidikan yang layak dan dapat pula mengajarkan pengetahuan kepada muridnya. Sisi etika yang didapat adalah: hendaknya kita jangan mendiskreditkan perempuan khususnya dalam hal pendidikan. Jika teks mengatakan demikian, maka kita hendaknya jangan pernah melanggarnya. Apapun yang dikatakan teks adalah mutlak benar dan harus dilaksanakan oleh kita karena teks tersebut merupakan wahyu langsung dari Tuhan.
Kedua, bisa saja kita berpikir bahwa masyarakat cenderung mengkotak-kotakkan dirinya berdasarkan gender dimana perempuan dianggap kelas dua yang tidak layak memperoleh pengetahuan yang mapan. Untuk membalikkan keadaan tersebut, Tuhan mlalui wahyunya berpesan bahwa wanita sesungguhnya memiliki kapasitas yang sama dengan laki-laki dalam hal pendidikan. Di sini pesan moralnya adalah hendaknya kita kembalikan nilai-nilai egaliter sesama manusia, tidak ada perbedaan antara laki dan perempuan dalam hal memperoleh pengetahuan yang layak. Pemahaman yang kedua ini mengindikasikan bahwa masyarakat, sebelum teks ini ada, hidupnya selalu mengesampingkan wanita dan mengutamakan laki-laki dalam hal memperoleh pengetahuan. Sedikit berbeda dengan pemahaman pertama yang mengindikasikan agar setiap orang harus menghormati perempuan kapanpun dan dimanapun.
Ketiga, ada juga yang memiliki pandangan bahwa mantra di atas sebenarnya meneguhkan kekuasaan laki-laki atas perempuan. Betapa tidak, jika seandainya masyarakat sejal awal telah setara, maka mantra seperti itu tidak ada gunanya. Untuk apa menyatakan seperti itu jika masyarakatnya sejak awal tidak ada diskriminasi terhadap pendidikan? Agar penguasaan itu tampak elegan dan seolah-olah bijaksana, maka diperlukan uraian dengan mengatakan bahwa wanita sebenarnya adalah seorang sarjana dan memiliki kemampuan untuk mengajarkan ilmu pengetahuan. Kata ‘sebenarnya’ mengindikasikan bahwa masyarakat pada waktu itu telah mendiskreditkan perempuan dan dalam kehidupan nantinya pun akan tetap demikian. Di sini laki-laki sebenarnya tetap ingin mempertahankan penguasaannya dengan wanita namun dengan bahasa yang sangat halus dan santun. Bahkan kesantunan ini sebenarnya mengindikasikan bahwa penguasaannya terhadap perempuan lebih legitimate.
Pemahaman jenis ketika ini sungguh bersifat politis. Penguasaan tidak mesti harus dilakukan dengan kekerasan, melainkan bisa juga dilakukan dengan cara-cara sopan. Cara-cara inilah yang kerap dipakai oleh sebagian besar orang di dalam upaya memperoleh kekuasaannya. Manusia yang pada intinya memiliki libido berkuasa lebih jarang mengambil cara-cara kekerasan atau pemaksaan baik secara fisik, mental maupun institusional. Mereka menggunakan cara-cara yang manis menghanyutkan, seperti sanjungan, bantuan, penghormatan, perhatian, rayuan dan yang sejensinya. Agar kekuasaannya bertambah kuat dan mantap, mereka semakin mengintenskan tindakan-tindakan tersebut kepada siapapun. Apakah mantra di atas juga memiliki makna politis seperti itu? Apakah mantra di atas juga ingin menguatkan hegemoni laki-laki kepada perempuan? Tentu hal ini memerlukan diskusi yang panjang dan berkelanjutan, sebab melalui diskusi kita akan memiliki referensi yang kaya atas interpretasi teks di atas sehingga nantinya tidak melahirkan generasi yang kaku, kejam, bengis dan mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan atas nama bendera pemahaman yang kering dan anti referensi.
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
Membaca dan memahami mantra di atas terkadang memerlukan interpretasi dan spekulasi, sehingga tidak tertutup kemungkinan adanya ragam paham dan pengertian. Meskipun mantra Veda adalah wahyu Tuhan yang tidak bisa dibantah kebenarannya, namun ketika dibaca, setiap orang akan menerima tampilan yang berbeda. Ini tidak bisa dipungkiri terjadi sehingga terkadang kita sering berdebat dan bahkan saling serang beradu argumen dan pendapat untuk menyatakan bahwa pemahaman kita adalah sesuai dengan aslinya sementara yang lainnya melenceng dari yang sebenarnya. Tetapi, apakah teks itu yang memiliki banyak wajah sehingga dipersepsi berbeda-beda atau kita yang membawa kacamata yang berbeda? Jika kita lihat lebih dalam, jawaban yang lebih jujur mengatakan bahwa teks itu eksis apa adanya, tetapi oleh karena kacamata kita, perbedaan pandangan terhadap teks yang sama bisa muncul.
Seumpama kita ingin mengiterpretasi teks di atas, beberapa kemungkinan pemahaman bisa muncul. Seperti misalnya, pertama, atas dasar teks itu, wanita sebenarnya sejajar dengan laki-laki. Wanita memiliki hak untuk pendapatkan pendidikan yang layak dan dapat pula mengajarkan pengetahuan kepada muridnya. Sisi etika yang didapat adalah: hendaknya kita jangan mendiskreditkan perempuan khususnya dalam hal pendidikan. Jika teks mengatakan demikian, maka kita hendaknya jangan pernah melanggarnya. Apapun yang dikatakan teks adalah mutlak benar dan harus dilaksanakan oleh kita karena teks tersebut merupakan wahyu langsung dari Tuhan.
Kedua, bisa saja kita berpikir bahwa masyarakat cenderung mengkotak-kotakkan dirinya berdasarkan gender dimana perempuan dianggap kelas dua yang tidak layak memperoleh pengetahuan yang mapan. Untuk membalikkan keadaan tersebut, Tuhan mlalui wahyunya berpesan bahwa wanita sesungguhnya memiliki kapasitas yang sama dengan laki-laki dalam hal pendidikan. Di sini pesan moralnya adalah hendaknya kita kembalikan nilai-nilai egaliter sesama manusia, tidak ada perbedaan antara laki dan perempuan dalam hal memperoleh pengetahuan yang layak. Pemahaman yang kedua ini mengindikasikan bahwa masyarakat, sebelum teks ini ada, hidupnya selalu mengesampingkan wanita dan mengutamakan laki-laki dalam hal memperoleh pengetahuan. Sedikit berbeda dengan pemahaman pertama yang mengindikasikan agar setiap orang harus menghormati perempuan kapanpun dan dimanapun.
Ketiga, ada juga yang memiliki pandangan bahwa mantra di atas sebenarnya meneguhkan kekuasaan laki-laki atas perempuan. Betapa tidak, jika seandainya masyarakat sejal awal telah setara, maka mantra seperti itu tidak ada gunanya. Untuk apa menyatakan seperti itu jika masyarakatnya sejak awal tidak ada diskriminasi terhadap pendidikan? Agar penguasaan itu tampak elegan dan seolah-olah bijaksana, maka diperlukan uraian dengan mengatakan bahwa wanita sebenarnya adalah seorang sarjana dan memiliki kemampuan untuk mengajarkan ilmu pengetahuan. Kata ‘sebenarnya’ mengindikasikan bahwa masyarakat pada waktu itu telah mendiskreditkan perempuan dan dalam kehidupan nantinya pun akan tetap demikian. Di sini laki-laki sebenarnya tetap ingin mempertahankan penguasaannya dengan wanita namun dengan bahasa yang sangat halus dan santun. Bahkan kesantunan ini sebenarnya mengindikasikan bahwa penguasaannya terhadap perempuan lebih legitimate.
Pemahaman jenis ketika ini sungguh bersifat politis. Penguasaan tidak mesti harus dilakukan dengan kekerasan, melainkan bisa juga dilakukan dengan cara-cara sopan. Cara-cara inilah yang kerap dipakai oleh sebagian besar orang di dalam upaya memperoleh kekuasaannya. Manusia yang pada intinya memiliki libido berkuasa lebih jarang mengambil cara-cara kekerasan atau pemaksaan baik secara fisik, mental maupun institusional. Mereka menggunakan cara-cara yang manis menghanyutkan, seperti sanjungan, bantuan, penghormatan, perhatian, rayuan dan yang sejensinya. Agar kekuasaannya bertambah kuat dan mantap, mereka semakin mengintenskan tindakan-tindakan tersebut kepada siapapun. Apakah mantra di atas juga memiliki makna politis seperti itu? Apakah mantra di atas juga ingin menguatkan hegemoni laki-laki kepada perempuan? Tentu hal ini memerlukan diskusi yang panjang dan berkelanjutan, sebab melalui diskusi kita akan memiliki referensi yang kaya atas interpretasi teks di atas sehingga nantinya tidak melahirkan generasi yang kaku, kejam, bengis dan mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan atas nama bendera pemahaman yang kering dan anti referensi.
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
Komentar