Timbang Rasa 'Warna Lokal Film Indonesia di Mata Dunia' Festival Seni Bali Jani 2022
Keanekaragaman Alam dan Budaya Jadi Modal Para Sineas Lokal
Film bisa memelihara persatuan dan kesatuan bangsa, melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai budaya, dan memperkenalkan budaya Indonesia ke masyarakat internasional.
DENPASAR, NusaBali
Indonesia sudah diakui sebagai negara yang tidak hanya kaya alamnya, namun juga beragam budayanya. Keanekaragaman yang diwarisi masyarakat Indonesia merupakan modal yang sangat besar bagi para sineas untuk menghasilkan karya-karya film yang otentik yang dapat mencuri perhatian pecinta film di dunia.
Akademisi film dan praktisi film dokumenter, I Gede Putu Wiranegara mengatakan Bali merupakan salah satu daya tarik, selain sebagai destinasi wisata, yang memiliki potensi menjadi tema film maupun lokasi syuting film. Beberapa sineas nasional maupun internasional sudah terbukti menjadikan Bali sebagai sumber inspirasi pembuatan film.
"Kita harus bersyukur menjadi bangsa Indonesia, di mana kita sangat kaya baik sumber daya alam dan beranekaragam budaya. Khususnya Bali sebagai destinasi wisata yang sangat dikenal juga menjadi setting film yang menarik," ujar Wiranegara pada kegiatan Timbang Rasa (Sarasehan) serangkaian Festival Seni Bali Jani (FSBJ) IV Tahun 2022 bertajuk 'Warna Lokal Film Indonesia di Mata Dunia' - Peluang, Prestasi, dan Apresiasi, bertempat di Gedung Citta Kelangen ISI Denpasar, Jumat (21/10).
Film bisa memelihara persatuan dan kesatuan bangsa, melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai budaya, dan memperkenalkan budaya Indonesia ke masyarakat internasional.
Lebih lanjut dikatakan akademisi yang banyak berkiprah di Jakarta dan Bandung ini, selanjutnya diperlukan SDM yang mumpuni menampung potensi besar yang dimiliki sineas tanah air. Ia mengamati masih minimnya lembaga pendidikan formal yang menawarkan pendidikan yang terkait produksi film secara keseluruhan. Menurutnya, untuk menghasilkan film yang baik dan sukses diperlukan kerjasama yang baik antara tujuh profesi pendukung, yakni produser, penulis skenario, sutradara, penata kamera, penata artistik, penata suara, dan editor.
Wiranegara menyebut belum banyak lembaga pendidikan yang memiliki program studi lengkap membentuk kelima pendukung film yang dimaksud.
"Belum semua sekolah yang memberikan secara sempurna pelajaran dan berbagi pengalaman di tujuh profesi itu, ada saja yang pincang. Hanya beberapa kampus yang lengkap baik secara keilmuan maupun secara praktisnya," katanya.
Di samping soal kompetensi SDM, Wiranegara juga mengharapkan kembali menjamurnya tempat-tempat menonton film (bioskop). Khusus di Bali, pria kelahiran Buleleng ini melihat bioskop hanya terpusat di perkotaan di sekitar Denpasar dan jumlahnya juga belum begitu banyak. Sementara di wilayah kabupaten di Bali ia melihat masih nihil bioskop atau tempat menonton film yang representatif.
Untuk itu ia meminta dukungan pemerintah daerah untuk mendukung komunitas-komunitas perfilman untuk menyediakan ekosistem berkarya hingga ke perdesaan. "Perbanyak akses menonton film, bioskop non mainstream yang terjangkau masyarakat," tandasnya. Senada dengan yang disampaikan Wiranegara, sutradara muda Indonesia Kamila Andini, selaku narasumber kedua melihat keindahan alam dan keanekaragaman budaya Indonesia menjadi salah satu potensi yang bisa dimanfaatkan para sineas Indonesia untuk menarik pecinta film di mancanegara.
"Saya setuju dengan pak Wira ini (Bali) adalah pulau yang luar biasa, ide nggak akan habis di tempat ini. Bahkan kami yang dari luar, datang ke Bali selalu dapat inspirasi," sebut sutradara film Sekala Niskala (2017) ini. Kamila yang mengaku baru pulang dari Festival di Busan, Korea Selatan mengatakan dalam beberapa tahun terakhir iklim perfilman Indonesia bisa dikatakan sedang beranjak naik.
Hal tersebut terbukti pada Festival Film Internasional Busan, jumlah film Indonesia yang tampil di sana terbanyak dari negara-negara Asia Tenggara lainnya. Pemandangan ini, ujarnya, berbeda pada tahun 2012 di mana pada festival yang sama jumlah film Indonesia yang tampil masih sangat minim.
Menurut Kamila yang film-filmnya banyak ditayangkan pada festival-festival film internasional, mengikuti festival film internasional merupakan salah satu jalan buat sineas film Indonesia melebarkan kiprahnya hingga ke mancanegara.
Apalagi jika berhasil tayang di lima besar festival film internasional, yaitu Canes Film Festival, Venice Film Festival, Toronto Film Festival, dan Sundance Film Festival. "Filmmaker dan orang-orang di industri film dunia pasti akan datang, jadi kalau film kita diputar di situ film kita akan ditonton oleh orang-orang yang penting di industrinya," pungkasnya. *cr78
Akademisi film dan praktisi film dokumenter, I Gede Putu Wiranegara mengatakan Bali merupakan salah satu daya tarik, selain sebagai destinasi wisata, yang memiliki potensi menjadi tema film maupun lokasi syuting film. Beberapa sineas nasional maupun internasional sudah terbukti menjadikan Bali sebagai sumber inspirasi pembuatan film.
"Kita harus bersyukur menjadi bangsa Indonesia, di mana kita sangat kaya baik sumber daya alam dan beranekaragam budaya. Khususnya Bali sebagai destinasi wisata yang sangat dikenal juga menjadi setting film yang menarik," ujar Wiranegara pada kegiatan Timbang Rasa (Sarasehan) serangkaian Festival Seni Bali Jani (FSBJ) IV Tahun 2022 bertajuk 'Warna Lokal Film Indonesia di Mata Dunia' - Peluang, Prestasi, dan Apresiasi, bertempat di Gedung Citta Kelangen ISI Denpasar, Jumat (21/10).
Film bisa memelihara persatuan dan kesatuan bangsa, melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai budaya, dan memperkenalkan budaya Indonesia ke masyarakat internasional.
Lebih lanjut dikatakan akademisi yang banyak berkiprah di Jakarta dan Bandung ini, selanjutnya diperlukan SDM yang mumpuni menampung potensi besar yang dimiliki sineas tanah air. Ia mengamati masih minimnya lembaga pendidikan formal yang menawarkan pendidikan yang terkait produksi film secara keseluruhan. Menurutnya, untuk menghasilkan film yang baik dan sukses diperlukan kerjasama yang baik antara tujuh profesi pendukung, yakni produser, penulis skenario, sutradara, penata kamera, penata artistik, penata suara, dan editor.
Wiranegara menyebut belum banyak lembaga pendidikan yang memiliki program studi lengkap membentuk kelima pendukung film yang dimaksud.
"Belum semua sekolah yang memberikan secara sempurna pelajaran dan berbagi pengalaman di tujuh profesi itu, ada saja yang pincang. Hanya beberapa kampus yang lengkap baik secara keilmuan maupun secara praktisnya," katanya.
Di samping soal kompetensi SDM, Wiranegara juga mengharapkan kembali menjamurnya tempat-tempat menonton film (bioskop). Khusus di Bali, pria kelahiran Buleleng ini melihat bioskop hanya terpusat di perkotaan di sekitar Denpasar dan jumlahnya juga belum begitu banyak. Sementara di wilayah kabupaten di Bali ia melihat masih nihil bioskop atau tempat menonton film yang representatif.
Untuk itu ia meminta dukungan pemerintah daerah untuk mendukung komunitas-komunitas perfilman untuk menyediakan ekosistem berkarya hingga ke perdesaan. "Perbanyak akses menonton film, bioskop non mainstream yang terjangkau masyarakat," tandasnya. Senada dengan yang disampaikan Wiranegara, sutradara muda Indonesia Kamila Andini, selaku narasumber kedua melihat keindahan alam dan keanekaragaman budaya Indonesia menjadi salah satu potensi yang bisa dimanfaatkan para sineas Indonesia untuk menarik pecinta film di mancanegara.
"Saya setuju dengan pak Wira ini (Bali) adalah pulau yang luar biasa, ide nggak akan habis di tempat ini. Bahkan kami yang dari luar, datang ke Bali selalu dapat inspirasi," sebut sutradara film Sekala Niskala (2017) ini. Kamila yang mengaku baru pulang dari Festival di Busan, Korea Selatan mengatakan dalam beberapa tahun terakhir iklim perfilman Indonesia bisa dikatakan sedang beranjak naik.
Hal tersebut terbukti pada Festival Film Internasional Busan, jumlah film Indonesia yang tampil di sana terbanyak dari negara-negara Asia Tenggara lainnya. Pemandangan ini, ujarnya, berbeda pada tahun 2012 di mana pada festival yang sama jumlah film Indonesia yang tampil masih sangat minim.
Menurut Kamila yang film-filmnya banyak ditayangkan pada festival-festival film internasional, mengikuti festival film internasional merupakan salah satu jalan buat sineas film Indonesia melebarkan kiprahnya hingga ke mancanegara.
Apalagi jika berhasil tayang di lima besar festival film internasional, yaitu Canes Film Festival, Venice Film Festival, Toronto Film Festival, dan Sundance Film Festival. "Filmmaker dan orang-orang di industri film dunia pasti akan datang, jadi kalau film kita diputar di situ film kita akan ditonton oleh orang-orang yang penting di industrinya," pungkasnya. *cr78
Komentar