Masalah LPD Itu Oknum, Bukan Lembaganya!
Ketua BKS LPD Provinsi Bali I Nyoman Cendikiawan
Setiap persoalan dalam tubuh LPD harus disimak secara jernih, terlebih dalam urusan uang dan kepercayaan orang banyak.
GIANYAR, NusaBali
Badan Kerja Sama Lembaga Perkreditan Desa (BKS LPD) Provinsi Bali berhasil menggelar Musda III pada Anggara Pahing Watugunung, Selasa (18/10), di Baliwoso Upadesa, Desa Adat Pengotan, Kecamatan Bangli, Bangli. Musda dibuka Gubernur Bali Wayan Koster itu, memilih kembali Drs I Nyoman Cendikiawan SH Msi menjadi Ketua BKS LPD Provinsi Bali masa bhakti 2022-2027.
Cendikiawan yang Ketua LPD Desa Adat Talepud, Desa Sebatu, Kecamatan Tegallalang, Gianyar ini dipilih sebagai Ketua BKS LPD ketiga kalinya sejak lembaga itu ada. Kini, BKS LPD menunggu pengukuhan kepengurusan baru oleh Gubernur Bali. Kepada NusaBali, Kamis (20/10), dia menyampaikan kebanggaan atas kerja keras panitia sejak kegiatan praMusda hingga Musda berakhir. Dirinya juga menyampaikan terima kasih kepada semua pihak hingga Gubernur Bali Wayan Koster sehingga Musda itu berjalan sukses.
Cendikiawan menilai kelancaran Musda tersebut sebagai petanda kuatnya pasemetonan (persaudaraan) antarpengurus LPD se Bali. Sejak praMusda kegiatan berjalan sangat demokratis, baik dalam hal pembuatan sistem dan tata tertib musda, hingga suara aklamasi untuk memilih dirinya kembali menjadi Ketua BKS LPD. ‘’Biasanya dalam musda organisasi, pembahasan tatib pasti alot. Tapi, Musda BKS LPD ini sebagai bukti ada kedalaman makna berdemokrasi. Musda pun jadi sederhana namun ngena ke tujuan pokok, antara lain mempertanggungjawabkan kinerja kepengurusan BKS LPD sebelumnya, dan memilih pengurus baru,’’ jelas ayah dari I Wayan Sastrawan SH MH, I Made Adryanatha SSn, dan Ni Nyoman Manik Swadewi ini.
Dirinya kini makin fokus untuk mengajak semua komponen, terutama di internal LPD agar lembaga keuangan milik desa adat ini, makin kuat dalam menopang dan memayungi perekonomian desa adat. Menurutnya, selama ini tidak ada LPD bermasalah. Yang ada, meskipun sebagian kecil atau satu koma sekian persen, masalahnya terletak pada oknumnya.
Oleh karena itu, setiap persoalan dalam tubuh LPD harus disimak secara jernih, terlebih dalam urusan uang dan kepercayaan orang banyak. Lebih dalam lagi, persoalan dalam LPD mesti dipahami dengan paduan multipendekatan waktu; masa lalu, masa kini, dan masa depan. Masa lalu atau secara sejarah/historis, saat LPD dicetuskan oleh Gubernur Bali Prof DR Ida Bagus Mantra, LPD dibangun untuk memberdayakan dan memperkuat perekonomian desa adat. Sejarah jadi ‘roh’ utama untuk memperkuat LPD yang didasari nilai-nilai kearifan lokal ala Bali, antara lain harmoni Tri Hita Karana, sosial kemasyarakatan, adat, budaya, dan agama Hindu. Pada masa kini, ada sejumlah LPD di Bali sedang didera masalah internal hingga masuk ke ranah hukum positif. Oleh karena itu, operasional LPD tak cukup taat administratif, namun juga harus dibentengi norma hukum yang berbasis hukum adat Bali dalam segenap formulasinya. Dalam pendekatan masa depan, LPD tak hanya bisa puas menerima perubahan. Tapi, LPD harus menyesuaikan diri dengan kondisi jaman, sekaligus membuat perubahan ke arah lebih baik untuk kemajuan bersama. Baginya, memang tidak ada yang mudah. Tapi, tidak ada yang tidak mungkin.
‘’Teknologi dan informasi, digitalisasi dalam era disrupsi kini dan ke depan, dengan segala ikutannya harus dikembangkan dalam sistem operasional LPD. Jika tidak, LPD akan ketinggalan zaman di tengah ketatnya persaingan antarlembaga keuangan,’’ ujar suami dari Ni Putu Sutrepti ini. Cendikiawan terkenang saat pertama kali tahun 1989 membuka LPD Talepud, banyak orang mengira menjual kupon SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah).
Dirinya meyakini bahwa perubahan untuk kemajuan harus dilakoni sepenuh hati. Namun demikian, setiap tatanan untuk perubahan dan kemajuan LPD, mesti didasari kajian holistik. Perubahan yang dilakoni mesti terukur dan terstruktur, baik historis, filosofis, sosiologis, ekonomis, yuridis, administratif, dan aspek lain. Misalnya, dalam hal kajian yuridis, penataan LPD wajib taat aturan, antara lain Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2017 tentang Lembaga Perkreditan Desa. Jika LPD akan berganti dengan nama Lembaga Pacingkreman Desa, konsekuensinya akan muncul persoalan hukum. Karena banyak LPD telah berikat perjanjian keuangan dengan nasabah atau pihak lain. Kondisi ini juga akan berdampak pada perubahan nomenklatur keadministrasian dengan biaya dan risiko yang tak kecil. Begitu juga dengan kajian-kajian lain, akan menimbulkan dampak yang tak ringan. ‘’Kami di BKS LPD, hanya berfokus pada kondisi empirik praktis. Jika suatu hal tak menimbulkan masalah, untuk apa diubah,’’ jelas Magister Hukum UNHI Denpasar ini.
Dia menyambut baik langkah Gubernur Bali Wayan Koster untuk membenahi LPD secara total, komprehensif, yang didukung oleh kesadaran bersama. Penegasan itu dilontarkan saat Gubernur Wayan Koster menghadiri Musda III tersebut. Gubernur melihat sumber masalah LPD masuk ke ranah hukum positif, karena ada sejumlah uang APBD atau uang negara yang menjadi penyertaan di LPD. Meskipun jumlah uang itu sedikit dibandingkan dengan uang krama di LPD.
Meskipun sejak 38 tahun mengelola LPD dan periode ketiga menjabat Ketua BKS LPD Provinsi Bali, Cendikiawan mengaku tak ingin berobsesi muluk-muluk. Sebagai praktisi LPD yang bergulat langsung di lembaga ini, tak ingin menaruh harapan terlalu tinggi. ‘’Tapi, kami harus lakoni maksimal sesuai kapasitas. Sistem dalam LPD sudah bagus. Hanya saja, masalah sering terjadi pada oknum, bukan ada lembaganya,’’ jelasnya melid (mempertegas,Red). Untuk diketahui, Bali kini memiliki 1.485 desa adat. Dari jumlah itu, 1.437 desa adat sudah punya LPD dengan 8.308 karyawan. Sejumlah desa adat belum punya LPD karena merupakan desa adat baru atau masih dalam proses pembentukan LPD.*lsa
Cendikiawan yang Ketua LPD Desa Adat Talepud, Desa Sebatu, Kecamatan Tegallalang, Gianyar ini dipilih sebagai Ketua BKS LPD ketiga kalinya sejak lembaga itu ada. Kini, BKS LPD menunggu pengukuhan kepengurusan baru oleh Gubernur Bali. Kepada NusaBali, Kamis (20/10), dia menyampaikan kebanggaan atas kerja keras panitia sejak kegiatan praMusda hingga Musda berakhir. Dirinya juga menyampaikan terima kasih kepada semua pihak hingga Gubernur Bali Wayan Koster sehingga Musda itu berjalan sukses.
Cendikiawan menilai kelancaran Musda tersebut sebagai petanda kuatnya pasemetonan (persaudaraan) antarpengurus LPD se Bali. Sejak praMusda kegiatan berjalan sangat demokratis, baik dalam hal pembuatan sistem dan tata tertib musda, hingga suara aklamasi untuk memilih dirinya kembali menjadi Ketua BKS LPD. ‘’Biasanya dalam musda organisasi, pembahasan tatib pasti alot. Tapi, Musda BKS LPD ini sebagai bukti ada kedalaman makna berdemokrasi. Musda pun jadi sederhana namun ngena ke tujuan pokok, antara lain mempertanggungjawabkan kinerja kepengurusan BKS LPD sebelumnya, dan memilih pengurus baru,’’ jelas ayah dari I Wayan Sastrawan SH MH, I Made Adryanatha SSn, dan Ni Nyoman Manik Swadewi ini.
Dirinya kini makin fokus untuk mengajak semua komponen, terutama di internal LPD agar lembaga keuangan milik desa adat ini, makin kuat dalam menopang dan memayungi perekonomian desa adat. Menurutnya, selama ini tidak ada LPD bermasalah. Yang ada, meskipun sebagian kecil atau satu koma sekian persen, masalahnya terletak pada oknumnya.
Oleh karena itu, setiap persoalan dalam tubuh LPD harus disimak secara jernih, terlebih dalam urusan uang dan kepercayaan orang banyak. Lebih dalam lagi, persoalan dalam LPD mesti dipahami dengan paduan multipendekatan waktu; masa lalu, masa kini, dan masa depan. Masa lalu atau secara sejarah/historis, saat LPD dicetuskan oleh Gubernur Bali Prof DR Ida Bagus Mantra, LPD dibangun untuk memberdayakan dan memperkuat perekonomian desa adat. Sejarah jadi ‘roh’ utama untuk memperkuat LPD yang didasari nilai-nilai kearifan lokal ala Bali, antara lain harmoni Tri Hita Karana, sosial kemasyarakatan, adat, budaya, dan agama Hindu. Pada masa kini, ada sejumlah LPD di Bali sedang didera masalah internal hingga masuk ke ranah hukum positif. Oleh karena itu, operasional LPD tak cukup taat administratif, namun juga harus dibentengi norma hukum yang berbasis hukum adat Bali dalam segenap formulasinya. Dalam pendekatan masa depan, LPD tak hanya bisa puas menerima perubahan. Tapi, LPD harus menyesuaikan diri dengan kondisi jaman, sekaligus membuat perubahan ke arah lebih baik untuk kemajuan bersama. Baginya, memang tidak ada yang mudah. Tapi, tidak ada yang tidak mungkin.
‘’Teknologi dan informasi, digitalisasi dalam era disrupsi kini dan ke depan, dengan segala ikutannya harus dikembangkan dalam sistem operasional LPD. Jika tidak, LPD akan ketinggalan zaman di tengah ketatnya persaingan antarlembaga keuangan,’’ ujar suami dari Ni Putu Sutrepti ini. Cendikiawan terkenang saat pertama kali tahun 1989 membuka LPD Talepud, banyak orang mengira menjual kupon SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah).
Dirinya meyakini bahwa perubahan untuk kemajuan harus dilakoni sepenuh hati. Namun demikian, setiap tatanan untuk perubahan dan kemajuan LPD, mesti didasari kajian holistik. Perubahan yang dilakoni mesti terukur dan terstruktur, baik historis, filosofis, sosiologis, ekonomis, yuridis, administratif, dan aspek lain. Misalnya, dalam hal kajian yuridis, penataan LPD wajib taat aturan, antara lain Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2017 tentang Lembaga Perkreditan Desa. Jika LPD akan berganti dengan nama Lembaga Pacingkreman Desa, konsekuensinya akan muncul persoalan hukum. Karena banyak LPD telah berikat perjanjian keuangan dengan nasabah atau pihak lain. Kondisi ini juga akan berdampak pada perubahan nomenklatur keadministrasian dengan biaya dan risiko yang tak kecil. Begitu juga dengan kajian-kajian lain, akan menimbulkan dampak yang tak ringan. ‘’Kami di BKS LPD, hanya berfokus pada kondisi empirik praktis. Jika suatu hal tak menimbulkan masalah, untuk apa diubah,’’ jelas Magister Hukum UNHI Denpasar ini.
Dia menyambut baik langkah Gubernur Bali Wayan Koster untuk membenahi LPD secara total, komprehensif, yang didukung oleh kesadaran bersama. Penegasan itu dilontarkan saat Gubernur Wayan Koster menghadiri Musda III tersebut. Gubernur melihat sumber masalah LPD masuk ke ranah hukum positif, karena ada sejumlah uang APBD atau uang negara yang menjadi penyertaan di LPD. Meskipun jumlah uang itu sedikit dibandingkan dengan uang krama di LPD.
Meskipun sejak 38 tahun mengelola LPD dan periode ketiga menjabat Ketua BKS LPD Provinsi Bali, Cendikiawan mengaku tak ingin berobsesi muluk-muluk. Sebagai praktisi LPD yang bergulat langsung di lembaga ini, tak ingin menaruh harapan terlalu tinggi. ‘’Tapi, kami harus lakoni maksimal sesuai kapasitas. Sistem dalam LPD sudah bagus. Hanya saja, masalah sering terjadi pada oknum, bukan ada lembaganya,’’ jelasnya melid (mempertegas,Red). Untuk diketahui, Bali kini memiliki 1.485 desa adat. Dari jumlah itu, 1.437 desa adat sudah punya LPD dengan 8.308 karyawan. Sejumlah desa adat belum punya LPD karena merupakan desa adat baru atau masih dalam proses pembentukan LPD.*lsa
Komentar