Semiotika Kebohongan
SECARA ilmiah, semiotika adalah ilmu tentang tanda! Ketika dipelintir, semiotika bisa bermakna sebagai ilmu tentang ‘dusta’, ‘bohong’ atau ‘hoaks’.
Lalu, di mana letak dusta atau bohongnya? Menurut KBBI, tanda memiliki arti: yang menyatakan sesuatu (bunyi sirene pertanda keadaan darurat), gejala (misalnya, tanda-tanda mulai menua), bukti (tanda tidak suka bekerja), pengenal (tanda yang menunjuk identitas), lambang (tanda yang melambangkan negara, atau petunjuk (tanda yang menunjukkan tindakan kriminal). Jadi, semua tanda itu dusta atau bohong. Tanda tidak selalu mewakili yang asli.
Tanda sirene tidak selalu mewakili kebenaran tentang adanya situasi darurat, seperti kematian atau sakit yang parah. Bunyi sirene menjadi sebuah kebohongan agar pengemudi tidak dihadang kemacetan dan pengendara lain wajib mendahulukannya. Jelas kebohongan yang berbalut empati tidak memiliki rasa keadilan, karena di antaranya ada juga dalam situasi darurat, tetapi ia taat aturan lalu lintas. Dengan dusta berbalut kedaruratan, maka lampu merah di jalan raya yang telah dikonvensikan bisa diterobos.
Dalam dunia periklanan, berbagai tanda digunakan untuk membujuk perokok. Misalnya iklan rokok, menggunakan sentuhan kreatif dan simbol untuk menyampaikan pesan sebagai strategi jitu membujuk masyarakat. Sepertinya, pengusaha rokok ini paham dalam menggunakan Interpersonal Deception Theory, yang diteorikan oleh Judee K Burgoon dan David B Buller (1996). Jadi, semiotika dusta seperti dalam iklan rokok dan iklan-iklan produk makanan, minuman, atau pakaian menggunakan semiotika Roland Barthes yang dikenal dengan ‘order of signification’, yang mana yang didahulukan tergantung pada signifikansinya.
Iklan-iklan yang tidak mewakili keaslian adalah sebuah dusta atau kebohongan. Kebohongan adalah manipulasi yang disengaja terhadap informasi perilaku dan citra dengan maksud mengarahkan orang lain pada kepercayaan atau kesimpulan yang salah. Ketika seseorang berbohong, maka dia membutuhkan strategi untuk berbohong agar kebohongan itu meyakinkan. Teori ini digunakan untuk menjelaskan kebohongan-kebohongan komunikasi seseorang dengan cara memancing komunikan dengan informasi yang tidak benar sehingga terbongkarlah kenyataan bohongnya.
Di dalam praktek-praktek pengambilan keputusan, seorang pemimpin tidak cukup hanya menerapkan cara dan model komunikasi. Tapi idealnya juga harus mampu menangkap tanda-tanda yang ada. Semiotika politik menekankan pada penajaman sebuah gejala dan kemudian menggunakan tanda-tanda itu ketika berkomunikasi dengan siapapun.
Misalnya, seorang calon pejabat atau pejabat publik akan lebih mudah ketika bisa menangkap apa yang terjadi dan apa yang sedang dirasakan oleh masyarakat. Himpitan dalam kehidupan, mahalnya biaya kesehatan, sulitnya memenuhi kebutuhan dasar, maraknya pengangguran, tingginya angka kemiskinan dan sebagainya sering dijadikan isu penting untuk membangun sebuah harapan dan dukungan. Setelah calon pejabat memeroleh dukungan luas dan berhasil menjadi pejabat, namun perilakunya jauh dari harapan masyarakat. Ini namanya dusta atau bohong, tidak mewakili kebenaran aslinya. Pejabat demikian tidak mampu mewujudkan janji-janji sebelumnya, ibarat kunci pintu yang tidak pas atau serumah dengan gemboknya. Artinya, emosi tersanjung oleh semiotika dusta tetapi konasinya tersandung oleh semiotika muslihat. Dalam pandangan Pierce, semiotika harus dikembangkan, tidak sebatas sebagai ilmu tentang tanda-tanda statis.
Tetapi, semiotika seyogyanya diperluas kajiannya tentang hidup dan menghidupi, yang menghadirkan proses interpretasi yang mengalir. Sebaiknya, semiotika menyajikan jalinan tanda secara sistematis yang menjelaskan esensi, ciri, dan bentuk suatu tanda dan proses signifikansi yang menyertai. Singkat kata, bersikap kritis terhadap iklan, saran, anjuran, penjelasan, aturan, informasi, dan sebagainya yang kemungkinan mengandung dusta dan kebohongan yang dapat menjerumuskan kehidupan dan kedamaian. Semoga. *
Prof Dewa Komang Tantra MSc, PhD
Prof Dewa Komang Tantra MSc, PhD
1
Komentar