Kata Gen Z, Negara Kok Ngurusin Ranjang
DENPASAR, NusaBali.com – Generation Z atau disingkat Gen Z, generasi yang lahir pada era akhir tahun 1990-an hingga tahun 2010-an, ikut mengomentari keberadaan pasal perzinahan dalam RKUHP yang ramai belakangan ini.
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) tersebut khususnya pada pasal 415-416 yang mengakomodasi pengenaan pidana terhadap ‘urusan ranjang’ rakyat, dinilai sebagai ranah privat.
Pada pasal 415 secara umum pengatur bahwa hubungan seks di luar status pernikahan dapat dikenakan pidana penjara paling lama satu tahun. Sedangkan untuk pasal 416 mengatur tentang kohabitasi atau tinggal bersama pasangan di luar status pernikahan yang dapat diancam dengan hukuman penjara selama 6 bulan.
Meskipun kedua pasal tersebut berupa delik aduan, artinya tidak akan ada tindakan hukum sebelum ada pihak yang merasa dirugikan dan melaporkan. Namun, keberadaan kedua pasal perzinaan ini masih menjadi polemik di tengah masyarakat. Pandangan terhadap perzinaan pun dinilai sebagai bagian dari norma dan terlalu privat untuk dimasukkan ke dalam ranah pidana.
Menurut Kadek NBP, 22, susah untuk mengukur tingkat kerugian dalam hal ‘urusan ranjang’ apabila sudah dilakukan atas dasar suka sama suka dan dalam kondisi sadar dan menyetujui tindakan dari keduanya. Kata alumnus Universitas Udayana ini, urusan terlalu pribadi tersebut seharusnya dapat diselesaikan secara pribadi pula.
“Seperti UU ITE, pasal ini berpotensi jadi pasal karet karena ukuran ‘merugikan’ yang sifatnya pribadi ini akan sangat sulit diukur secara pidana,” jelas Kadek, Minggu (23/10/2022) sore di Mangupura.
Senada dengan Kadek, Made DW, 23, pun menyatakan bahwa menjalin hubungan romansa atas dasar sama-sama suka merupakan bagian dari hak asasi. Sekali pun ada perilaku yang tidak sesuai dengan nilai budaya Indonesia, hal tersebut seharusnya dipandang secara norma dan merupakan urusan moral masing-masing pribadi.
“Jika negara mengatur hal yang terlalu privat seperti ini maka hal-hal privat lain akan sangat mudah diatur-atur oleh negara tanpa dasar yang konkret,” tegas Made yang juga sempat memimpin komunitas debat di masa kuliah ini, Minggu sore di Denpasar.
Di lain sisi, I Made YAP, 23, merasa bingung mengapa negara seakan-akan berusaha menjadi ‘polisi moral’ dalam kehidupan rakyatnya. Lebih lanjut I Made menjelaskan bahwa pasal perzinahan ini baginya sedikit absurd lantaran ‘urusan ranjang’ yang dilakukan secara consented atau mendapat persetujuan dari kedua belah pihak dipandang secara pidana yang mana secara hukum akan ada pihak yang dicap bersalah.
“Lantas konsep dirugikan apa yang akan dibahas secara pidana? Kalau pun memang ada orang yang dicederai karena salah satu pihak itu sudah menikah, tapi pada akhirnya isu tersebut kan sangat privat dan kurang etis untuk diikutcampurkan ranah pidana,” terang I Made, Minggu sore di Gianyar.
Terlebih lagi secara pidana, lanjut I Made, akan ada status korban dan pelaku. Kemudian jika dikaitkan dengan kisah romansa, kedua status tersebut dinilainya kurang dapat divalidasi secara konkret atas dasar apa yang terlibat tersebut bisa disebut pelaku dan korban.
“Kalau nanti pasal ini benar-benar ada, saya jadi mikir nanti bakal ada orang yang melaporkan dan orang yang ditangkap karena urusan ranjang, jadi seperti itu ya?” ungkap pemuda yang sering mengikuti kompetisi debat di masa kuliah ini secara retorik.
Dengan demikian, ketiga Gen Z ini sama-sama menegaskan bahwa ‘urusan ranjang’ merupakan ranah masing-masing pribadi yang seharusnya tidak diumbar ke ranah publik lewat proses tindak pidana. Kata mereka, urusan moral merupakan tanggung jawab masing-masing individu.
Namun, ketiga Gen Z ini sepakat mendukung apabila ada penindakan terhadap masyarakat yang menghakimi urusan privat seseorang. Mengingat, beberapa kasus menunjukkan adanya pihak-pihak yang lebih dirugikan akibat respons masyarakat terhadap kesalah moral seorang individu dibandingkan tindakan amoral yang sudah dilakukan. *rat
1
Komentar