Harga Kedelai Meroket, Pedagang Berusaha Pertahankan Harga Tempe Tahu
DENPASAR, NusaBali.com – Harga bahan baku tempe dan tahu yakni kacang kedelai semakin meroket pasca kenaikan harga BBM. Pedagang pun berusaha pertahankan harga tempe dan tahu lantaran takut ditinggal pembeli.
Berdasarkan pantauan lapangan di Pasar Badung, Kota Denpasar dan data tercatat oleh Pengelola Unit Pasar pada Selasa (25/10/2022), harga kedelai eceran menyentuh harga Rp15.000-16.000 per kilogram. Kenaikan harga kedelai impor dari Amerika Serikat ini sudah terjadi sejak pandemi dan semakin diperparah dengan kenaikan harga BBM pada bulan September lalu.
Meskipun mengalami kenaikan dari segi bahan baku, para pedagang produk turunan kacang kedelai yakni tempe dan tahu ini masih takut mengerek harga karena langganan mereka seperti pelaku usaha kuliner, angkringan, gorengan, dan lainnya bisa lebih menjerit dan kabur.
Dari sekitar sedikitnya delapan pedagang produk turunan kedelai di salah satu unit Perumda Pasar Sewakadarma ini, rata-rata harga tempe seukuran telapak tangan dijual dengan harga Rp 5.000 per empat potong. Dengan demikian satu bungkus tempe bernilai Rp 1.250.
“Satu bungkus tempe ini modalnya Rp 1.150 terus dijual Rp 5.000 per empat potong. Berapa itu jadinya cari untung? Tipis, Rp 100 saja,” kata salah seorang pedagang produk turunan kacang kedelai, Siti, 68 di sisi timur lantai satu bangunan pasar.
Pedagang asal Karangasem ini pun semakin menjerit ketika ada konsumen yang belum paham mengenai kenaikan harga bahan baku tempe dan tahu sehingga masih saja habis-habisan menawar. Ketika sudah seperti ini, ia pun dianggap pedagang yang saklek oleh konsumen yang meminta turun harga tersebut.
“Pembelinya ini apa tidak nonton berita, lihat di HP (internet), semua minta turun harga tempe sama tahu, dikira apa ini tidak ada harganya. Apa tidak kasihan ya sama pedagangnya. Begitu ayam naik, tidak ada yang protes,” kata Siti heran.
Siti yang selain pedagang juga produsen tempe ini biasanya membeli bahan baku satu ton sekali produksi. Katanya, harga satu kilogram kacang kedelai merek ‘Bola’ produksi Amerika Serikat sempat stabil di angka Rp 8.000 per kilogram. Setelah pandemi harga tersebut merangkak hingga Rp 12.000 per kilogram pada awal bulan September.
Untuk bertahan dari impitan rantai pasok kedelai yang tengah kurang stabil ini, pedagang pun terpaksa sebisa mungkin tidak menaikkan harga. Hanya saja, seiring berjalannya waktu porsi produk jadi mulai dikuruskan. Misalnya satu paket tahu Lombok dijual seharga Rp 5.000 dengan porsi awal 20 potong tahu berukuran sekitar 4 x 3 cm. Kini, dengan harga yang sama porsinya diturunkan menjadi 18 potong. Begitu juga dengan tempe yang sebelumnya berkisar 300-400 miligram kini menjadi sekitar 250 miligram.
Di lain sisi, Siti sempat mengkritisi tentang kacang kedelai yang selalu diimpor oleh pemerintah. Dia mengaku tidak pernah membeli atau menemui kedelai produksi lokal selama ia berdagang. Kalau pun ada, kata Siti, kualitasnya buruk dan sering kali kondisinya lembab dan menggumpal. Kondisi ini sangat mengurangi kuantitas dan kualitas produksi produk turunannya.
Permasalahan yang senada pun disampaikan salah satu pedagang kedelai eceran di Pasar Badung, Ketut Adi Wistiari, 50 yang berjualan di sisi barat lantai satu bangunan pasar. Menurut Wistiari, kedelai produksi nasional jarang sekali ditemui, kalau pun ada kondisinya tidak sebagus kedelai impor yang kering dan awet.
“Saya jarang melihat ada kedelai lokal atau tidak di pasaran. Kalau pun ada, kondisinya lembab dan menggumpal. Kurang awet,” terang Wistiari.
Para pedagang berharap segera ada tindakan nyata dari pemerintah untuk menyikapi harga kedelai yang terus naik. Masalahnya, pedagang kurang merasakan dampak nyata langkah-langkah pemerintah untuk menjaga rantai pasok sekaligus kestabilan harga kedelai. *rat
Komentar